Memori Ginola memutar ulang semua rezim latihan khusus yang berlangsung selama beberapa hari ke belakang. Dalam tidurnya, ia dapat mendengar suara sang pelatih, Rustam Adrianto meneriakkan perintah, instruksi, hingga yang terakhir adalah ‘alarm’ setiap delapan detik selama sparring di tepi pantai. Dahi sang kapten berkerut saat suara lantang Rustam bergema di kepalanya.
“Delapan! Rebut!”
Ginola tersentak, kemudian memijit pelan dahinya. Rustam telah menanamkan aturan delapan detik yang serupa dengan taktik dari boss Borusia Dortmund, Jurgen Klopp. Jika mengingat betapa menyebalkan sesi latih-tanding terakhir itu, ia hanya bisa menghela napas. Namun metode tersebut efektif mendisiplinkan para pemain, dan membuat setiap pergerakan lebih efektif. Ginola menatap ke luar jendela. Mereka sudah hampir memasuki salah satu daerah yang dipenuhi bangunan pertokoan dan pasar, menandakan bahwa pusat kota sudah dekat, dan berikutnya adalah halaman sekolah mereka, SMA Negeri Sam Ratulangi.
***
Di saat siswa lain berkutat dengan soal-soal di lembar kerja individual mereka, dan sebagian lainnya menahan kantuk di tengah-tengah ceramah guru yang memuakkan, tiga orang siswa bertubuh tegap berdiri di bawah terik matahari, di atas hamparan hijau lapangan sepak bola. Satu di antara mereka mengenakan sepasang sarung tangan dan bandana hitam dengan logo menyerupai huruf W di sisi kanan, dan tiga garis diagonal di bagian kiri. Penuh percaya diri, sosok itu berdiri menghadapi dua lawan latih tandingnya, memunggungi jaring gawang yang sudah compang-camping di beberapa bagian. Peluh membasahi sekujur tubuh si penjaga gawang itu, sementara lutut dan betisnya menampakkan ruam merah, serpih rumput dan beberapa lecet ringan. Bola berserakan di sisi luar gawang dan dekat mistar di kanan dan kiri. Tak satu pun masuk.
“Tembak lagi!” pekik penjaga gawang itu dengan lantang. Di lihat dari nihilnya jumlah bola di dalam gawang, penjaga gawang dengan nomor punggung 1 itu sudah pasti tak kebobolan barang sekali pun sejak tadi. Kedua algojo yang entah sudah berapa puluh kali menembakkan bola-bola itu tampak mulai kepayahan. Napas mereka satu-satu, kulit memerah, dan keringat macam disiramkan ke tubuh kekar keduanya.
Tungkai kekar salah seorang yang berambut agak ikal diayunkan sekuat tenaga, sebelum akhirnya punggung kaki berbalut Adidas biru tua itu menghantam bagian tengah bola, membuatnya memelesat macam amunisi meriam, lurus ke pojok sebelah kanan atas dekat sudut 90 derajat mistar gawang. Penjaga gawang yang posturnya serupa Peter Parker versi komik Spider-man tahun 90an itu melompat gesit sambil merentangkan lengan kirinya dengan telapak tangan terbuka lebar, berusaha menjangkau bola entah bagaimana caranya, dan ia berhasil; bola menyerempet jemarinya hingga jalur tembaknya meleset beberapa milimeter dari target, kemudian membentur mistar dan melewati garis. Satu lagi upaya gagal. Penjaga gawang itu jatuh dengan senyum puas. Nama di bagian belakang seragam abu-abu itu berkilau ditimpa sorot matahari pukul satu siang: Tagore. Dinamai macam sastrawan kebanggan India, namun memiliki passion luar biasa sebagai penjaga pintu pertahanan terakhir. Di bagian bawah nomor punggung 1 yang tersemat sebesar baton milik petugas satuan pengamanan, logo kebanggan sekolah swasta Al-Qalam berpendar tertimpa terik di tengah hari. Tagore, nama itu tak mudah dilupakan. Saat penjaga gawang itu bangkit, dua algojo di hadapannya terduduk. Kaki mereka kebas. Tak sekalipun tembakan dari berbagai sudut mampu menjebol gawang Sang Penjaga. Meski demikian, kedua algojo tersenyum.
“Untung dia bukan lawan kita di pertandingan resmi.”
***