Seingat mereka semua, ruangan di antara laboratorium komputer dan toilet rusak tak terurus itu adalah lokasi paling tidak diinginkan oleh organisasi dan klub mana pun di SMA Negeri Sam Ratulangi. Namun hari itu, tak satu pun di antara mereka mampu berkedip melihat perubahan drastis yang terjadi.
“Ini ruang klub kita?” bisik Rui Zola kepada kaptennya, Ginola. Ia kemudian melirik Ramdan, Dinah, dan seluruh pemain berganti-ganti. Semuanya terkejut, dan masih membeku macam orang melihat dinosaurus sungguhan.
“Ya. Sponsor memberikan rekomendasi untuk pembehanan fasilitas klub, termasuk ruang pertemuan,” jawab Pak Pembina sekaligus Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, Joko Santoso. Tidak ada yang merespon jawaban Pak Joko. Semuanya masih sibuk terkagum-kagum dengan semua hal tentang ruangan klub yang baru tampak bagian luarnya saja.
“Pintunya bagus,” gumam Hilman yang kemudian ditimpali dengan gumaman lain dari belasan anggota klub sepak bola.
“Luarnya shinning begini, dalamnya gimana, ya?”
“Masuk, yuk,” ajak Idrus sambil memberi isyarat kepada Ginola untuk membuka pintu. Ia merasa, sang kapten lah yang pantas untuk menyibak isi ruangan klub mereka yang baru saja dibenahi. Ginola mengangguk pelan, lalu membuka pintu kaca gelap di hadapannya hanya untuk terkejut untuk kedua kali.
“Ini, ruang ganti stadion?” Roni menyenggol siku Ginola, menyadarkan kapten tim dari kaget yang lebih hebat dari sebelumnya. Rustam yang tidak terlihat terlalu terkejut sebenarnya memendam perasaan yang sama dengan anak-anak didiknya. Ia tak menyangka sponsor mereka mau habis-habisan mendanai tim tingkat SMA. Pasti puluhan juta telah habis hanya untuk ruangan ini saja.
Rustam mengedarkan pandangan ke bagian dalam ruang ganti yang secara mengejutkan hampir sama bagusnya dengan ruang ganti stadion kandangnya dulu.
***
Balai Pertemuan Pahoman, Pusat Kota
Aula seluas tiga lapangan basket itu telah ditata sedemikian rupa untuk mengakomodir upacara pembukaan turnamen sepak bola tingkat SMA yang akan segera diselenggarakan. Sekelompok pria dengan jas, tampak seperti perwakilan dari dinas pemuda dan olahraga, berkumpul di salah satu sisi dengan dekorasi paling elegan di antara bagian lain di dalam aula. Mereka duduk mengitari meja bundar, membentuk formasi pentagon yang janggal, saling bertukar pandang seperti sedang melakukan rapat rahasia.
“Apakah perubahan skema secara mendadak ini tidak akan menimbulkan masalah? Atau setidaknya… Kekacauan?” tanya salah satu bapak berkepala botak. Raut wajah pria itu tampak gusar bercampur panik, meski demikian, ia masih memaksakan diri untuk tersenyum.
“Sejak awal, skema gugur saat seluruh peserta turnamen masih lengkap adalah ide gila yang mengundang perdebatan. Mengembalikannya ke format 8 grup berisi 4 tim di masing-masing grup, sebagaimana turnamen sepak bola pada umumnya adalah hal paling normal yang bisa kami pikirkan saat ini.” Jawaban pria berambut lurus dengan sisiran belah samping itu membungkam si botak yang kini tampak semakin gusar. Sambil mengetuk layar ponselnya berkali-kali, si botak mengusap wajahnya kemudian membetulkan kerah kemeja yang ia kenakan, yang sebenarnya tidak perlu dirapikan.
“Tapi… Kita sudah memberi tahu seluruh tim peserta, Pak.”
Beberapa terdengar bergumam setuju dengan pendapat si botak kali ini. Namun si rambut belah samping seperti tak kehabisan akal. Ia berdeham sebelum membalas argumen lawan bicaranya.
“Hampir seluruh tim peserta, kecuali SMA Negeri Amir Hamzah yang mendukung penuh, dan SMA Negeri Sam Ratulangi yang abstain, keberatan dengan skema turnamen direct knock-out ini, Pak Hardi.” Beberapa dengung suara lebih keras dari kelompok yang sama kini berpihak pada si rambut belah samping, memojokkan Hardi yang kini menggaruk kepala botaknya, yang sebenarnya tidak gatal.