Rosi tertegun dengan berbagai temuan yang ia peroleh hanya dari analisis dan juga pembahasan kritis para pakar di bidang olahraga. Ia menaruh hormat yang begitu besar kepada orang yang tepat.
“Rustam ternyata memiliki pengaruh yang begitu besar,” gumamnya. Setelah membaca berjam-jam, dan melakukan beberapa penarikan kesimpulan serta analisis, Rosi akhirnya paham bahwa Rustam seharusnya dapat menjadi role model berkat kemampuannya sebagai pemain sepak bola, juga kepribadiannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas. Menghentikan karirnya adalah salah satu cara untuk tetap menjaga kebusukan dan hal-hal bobrok dalam dunia sepak bola seperti pengaturan skor, penentuan pemenang, hingga sogok menyogok panitia serta wasit. Seketika Rosi berpikir apakah Rustam tahu soal semua ini? Jika tidak, apa reaksinya jika sampai ia tahu? Jika sudah tahu, bagaimana ia bisa berdamai dengan kenyataan tersebut?
***
Rustam sadar sepenuhnya bahwa dunia olahraga, termasuk sepak bola tidak pernah seratus persen bersih. Ia juga sangat paham bahwa dirinya adalah sosok yang mengganggu bagi sebagian oknum di masa lalu. Mendadak, ucapan Rosi beberapa hari sebelum ia dan timnya memulai latihan khusus terngiang di benaknya. Pelatih itu memandangi lapangan yang kosong di hadapannya dengan perasaan berkecamuk.
Jika memang mereka hendak memanipulasi turnamen yang diikuti anak – anak yang masih sangat muda dan polos ini, mungkin itulah alasan mengapa aku ada di sini sekarang. Rustam membiarkan pemikirannya menggema. Kertas berisi catatan skema pertandingan di genggamannya ia remas sekuat tenaga.
“Coach…” Suara itu membuyarkan kecamuk di dalam benak Rustam, menjadikan pikiran – pikiran negatifnya berubah menjadi gelombang raksasa yang mendadak seperti menyapu isi kepalanya, menggantinya dengan kekhawatiran baru.
“Ya, Nona Manajer?”
“Apakah Coach sudah melihat update yang baru saja dikirimkan oleh pihak penyelenggara?”
Rustam berbalik badan, memeriksa ponselnya. Dinah di hadapannya menampakkan raut cemas sekaligus bingung. Namun tak lama kemudian, sang pelatih justru tersenyum.
“Ini justru lebih baik, Nona Manajer. Di mana anak – anak? Mereka perlu tahu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
***
Para pemain dan tim pelatih serta manajer SMA Negeri Amir Hamzah berkumpul di ruangan klub dengan tata ruang seperti kamar ganti salah satu klub sepak bola asal Italia. Para pemain memasang raut serius, dengan peluh membasahi sekujur tubuh mereka semua. Beberapa melepas seragam latihannya, yang lain mengompres lutut dan betis dengan air dingin. Mereka semua menunggu evaluasi dari sang pelatih. Sementara itu manajer tim sibuk memeriksa pesan masuk di alamat surat elektronik klub.
“Ini meeting terakhir sebelum pembukaan besok. Kalian telah berlatih dengan baik, menjaga pola makan dengan sangat disiplin, dan mematuhi semua yang saya instruksikan demi kebaikan klub. Meski demikian, lawan kita tahun ini sepertinya sedikit lebih berat dibanding tahun lalu,” ujar Coach Sodikin dengan nada bicara tenang.
“Sam Ratulangi, Darma Budaya, Jendral Sudirman, dan beberapa sekolah lain belum jelas pola permainannya. Mereka bahkan seperti tidak punya skema dan formasi khusus.” Suara berat itu berasal dari kapten tim sepak bola Amir Hamzah FC. Beberapa pemain menoleh ke arah sumber suara, yang lain bergumam setuju dengan pernyataan sang kapten, sementara manajer klub sibuk dengan komputer tabletnya, menjelajahi folder-folder penuh data sejak 10 menit lalu.
“Malam ini akan saya analisis semuanya secara manual. Besok setidaknya kita dapat mendapat gambaran tentang skema permainan setiap tim,” ujar suara lembut yang seketika memecah keheningan sesaat yang diciptakan oleh sang kapten.
“Adakah yang menonton pertandingan uji coba Sam Ratulangi hari ini?”
“Saya mengirim Raido untuk memata-matai mereka, Coach. Dia satu-satunya yang belum pernah muncul di pertandingan resmi tim kita. Jadi keberadaannya tidak akan disadari oleh pihak Sam Ratulangi.” Manajer menyampaikan informasi yang membuat ketegangan di dalam ruangan sedikit berkurang.