Waktu masih menunjukkan pukul 5.30 pagi. Meski demikian, sudah setengah jam Rustam berdiri di sisi utara tribun stadion Pahoman. Netra tajam pelatih klub sepak bola amatir tingkat SMA itu tak lepas mengamati sekelompok atlit di lapangan yang tengah melakukan proses perenggangan sebelum latihan. Di sebelahnya sang pelatih ditemani Dinah yang sengaja ia ajak, sebagai manajer klub, untuk mendiskusikan hal yang sudah lama ia rencanakan sebagai tahapan pamungkas dari fase latihan khusus sebelum turnamen dimulai.
“Persiapan kelas pelajaran pengganti untuk anak-anak sudah selesai diurus, Manajer?”
“Sudah, Coach. Tapi bukannya saya seharusnya ikut bergabung setengah jam lagi?”
“Ya. Kita tidak akan lama di sini...,” jawab Rustam. Dinah mengangguk pelan. Sementara mata keduanya masih tertaut pada pemandangan sesi latihan yang sangat sistematis di tengah lapangan hijau.
“Menurutmu, berapa kemungkinan menang tim kita jika melawan mereka, Manajer?”
Dinah yang sedang serius mengamati proses latihan beberapa pasang pemain di atas lapangan serta-merta menoleh ke arah Rustam. Ia berpikir sejenak, mengerutkan dahi, kemudian mengalihkan pandangan kembali ke lapangan. Mendadak logo dengan gajah dan dua gapura berpayungkan Siger* memenuhi kepala Dinah yang kemudian bertumpuk dengan simbol sederhana milik klubnya sendiri: SRFC.
“10 persen…,” jawab gadis itu ragu. Rustam tersenyum, lalu tak bisa menahan hingga akhirnya terkekeh samar.
“Optimis sekali, Dinah Aisha. Tapi saya menghargai jawabanmu yang tidak menyebutkan tingkat persentase di atas 20 persen.”
Dinah kembali menatap pelatih klub yang ia kawal manajerial serta segala kebutuhan teknis dan administratifnya sejak setahun lalu itu.
“Jadi, menurut Coach, kemungkinan menang SRFC jika melawan Gajah Beringas FC adalah kurang dari 10 persen?”
“Tentu. Kemungkinan menang kita hanya lima persen atau kurang.” Jawaban Rustam tegas tanpa keraguan sedikit pun.
“Saya mengerti jika anda ingin memberikan pelajaran dan pengalaman berharga melalui pertandingan uji coba nanti. Tapi, kenapa justru begitu pesimis?”