Dinah merasakan sensasi gugup yang tidak bisa ia jelaskan saat Rustam berhadap-hadapan dengan sekelompok kecil pemain Gajah Beringas FC dan juga pelatih mereka yang berwajah ramah namun serius. Kelompok kecil itu, dan Coach Rustam saling melempar senyum, bahkan kedua pelatih sempat berpelukan. Namun gestur hangat yang tersaji di hadapannya sama sekali tidak mengurangi ketegangan remaja 16 tahun itu.
“Jadi, rumor kau melatih klub SMA itu benar adanya, Tam?” tanya sang pelatih sambil masih terus tersenyum. Peluit yang menggantung di antara dada dan perutnya tampak sesekali tertiup angin yang cukup kencang pagi itu.
“Seperti yang kau dengar. Dan hari ini, seperti yang sudah kita bicarakan melalui telepon, aku hendak meminta bantuan secara langsung kepada kalian, sebagai atlit pro, untuk membantu tim SMA ini agar mereka memperoleh pengalaman yang sudah semestinya mereka rasakan.” Rustam mengakhiri kalimatnya dengan intonasi bicara serendah dan sehalus mungkin.
“Bagaimana caranya menolak kawan lama yang meminta bantuan? Apa lagi ini untuk pengembangan generasi muda. Tentu saja kami bersedia, bahkan jajaran manajerial juga tidak keberatan, entah bagaimana kalian meluluhkan para korporat sombong itu?” balas Coach Ramli.
“Ya. Bang Rustam telah banyak berjasa untuk kami, terutama saya dan Coach Ramli semasa masih aktif bermain dulu,” timpal Murhadi yang masih mengenakan rompi tanpa lengan berwarna biru. Seketika, Dinah merasa ketegangan mencair macam balok es diterpa panas terik Bandar Lampung di bulan Agustus. Tanpa ia sadari, mulutnya mengucapkan sesuatu yang sudah sejak tadi tertahan.
“M-mohon bantuannya, Gajah Beringas.”
Rustam menoleh ke arah manajernya, melempar senyum yang menyiratkan pesan bahwa semuanya beres. Besok klub sepak bola Sam Ratulangi akan memperoleh pengalaman yang mereka butuhkan. Sepahit-pahitnya pengalaman untuk membentuk mental serta teknik mereka semua.
“Nah, Nona Manajer, tolong beritakan kabar baik ini kepada Pak Joko, agar beliau dapat meneruskannya ke sponsor kita.”
“Siap, Coach.”
***
Lokasi pertandingan Gajah Beringas FC melawan Sam Ratulangi FC
Hilmi dan Roni memutuskan untuk naik, membantu Pandu di dekat pos gelandang bertahan, tak jauh dari lengkung setengah lingkaran dekat kotak pinalti tim Sam Ratulangi. Idrus berusaha menjaga fokusnya, sementara eksekutor sepak pojok dari Gajah Beringas FC sudah siap; ancang-ancangnya tak jauh berbeda dengan Robert Pires saat membela Arsenal. Ginola menjaga area tengah, sekitar dua meter dari garis gawang yang dijaga Idrus. Tak jauh dari lokasinya, Ramdan menempel ketat Murhadi.
Peluit dibunyikan, umpan melambung dilepaskan dari tepi 90 derajat sebelah kiri lapangan. Kulit bundar menuju area yang dijaga Ginola, sementara Murhadi berkelit melepaskan diri dari Ramdan dengan feint yang sempurna, untuk kemudian mengambil ancang-ancang yang dikenali dengan baik oleh Ginola sebagai mantan striker.
Salah seorang pemain Gajah Beringas FC yang sedari tadi berdiri di dekat tiang sebelah kanan mendadak melakukan sprint pendek ke area yang dijaga Ginola, sedikit menabrakkan diri kepada kapten sekaligus bek nomor punggung 3 itu sambil membuang muka guna memberikan distraksi sekaligus membuka ruang untuk Murhadi yang dalam hitungan detik telah berada pada posisi terbalik, siap melancarkan overhead kick. Ginola tak lagi fokus. Mendadak ia kehilangan keseimbangan untuk menghalau pergerakan cepat Murhadi sementara Idrus tidak mendapat cukup ruang untuk membaca arah tendangan yang sangat dekat dan cepat. Punggung kaki Murhadi menghantam tepat di bagian tengah bola. Sepakan salto itu sempurna. Yang selanjutnya didengar para pemain di atas lapangan adalah lengking peluit wasit, disusul oleh sorak riuh penonton. Ginola melihat Murhadi tersenyum jenaka sambil bangkit dari duduknya usai melancarkan overhead kick sempurna.
“Game on, Gin,” ujar suara yang datang dari pemain nomor punggung 7 yang tadi memecah fokus Ginola. Sebuah tepuk pelan mendarat di pundak kapten klub sepak bola Sam Ratulangi. Tepuk pelan yang terasa seperti tamparan keras bagi Ginola dan 10 pemain lainnya. Di tepi lapangan, Dinah meringis, sementara Rustam tersenyum lebar.
“Ini yang mereka butuhkan,” bisik pelatih itu. Di sampingnya, Nona Manajer menatap dengan raut aneh.
***
Raido tercengang. Rangkaian permainan sampai terjadinya gol barusan menunjukkan kemampuan sekelompok pemain profesional yang levelnya jauh di atas pemain sepak bola tingkat SMA. Dari tempatnya berdiri, ia dapat menyaksikan kerumunan manusia yang sama terkejutnya dengan dirinya. Lapangan senyap selama setidaknya satu detik sebelum riuh kagum penonton pecah. Satu detik keheningan yang menurut Raido lebih mencekam daripada sebagian besar momen dalam hidupnya.