The Playmaking Defender

Fajar R
Chapter #2

Fixture 1

Cuaca panas pukul setengah 2 siang di hari Minggu tak menyurutkan semangat latihan Ginola. Terik matahari yang membuat kulit sawo matangnya kian legam bukan soal. Bau badan macam kambing dewasa terjemur di tengah sabana tak mampu menembus hidung bangirnya. Lagi pula, sejak kapan sigung pingsan akibat bau badannya sendiri?

Ginola terus berlari menggiring bola dengan gerakan kaki yang amat sulit diikuti lawan-lawannya. Dua gelandang bertahan dan satu bek sayap berhasil dilewati. Saat jarak tersisa 20 meter dari mulut gawang, ditatapnya lekat-lekat sosok yang berjaga di bawah mistar putih itu sebelum akhirnya tungkai panjang sebelah kanan berayun, menyepak si kulit bundar berwarna kelabu dengan dentum keras. Tak sampai sedetik, sang keeper melompat hanya untuk menghalau angina karena bola menukik macam tersedot oleh gravitasi sebelum akhirnya menghujam tanah di belakang garis putih pembatas. Peluit berbunyi. Sorak-sorai tim ber-rompi jingga memenuhi lapangan sepak bola yang berlokasi dekat dari jalanan kota Bandarlampung.  Dari tepi jalan, sosok pria berusia tak kurang dari 32 tahun menonton laga sparing itu dengan amat serius. Ia menenggak habis kopi instan yang dibelinya dari warung tak jauh dari sana, mengusap bibirnya yang basah seraya mengarahkan tatapannya kepada sang pencetak gol. Senyum menghiasi wajahnya yang mendadak berbinar. Tanpa ia sadari, kedua kaki pria itu berjalan menuruni jalan setapak bertanah merah menuju pinggir lapangan sepak bola.

Nice, Gin!” pekik salah seorang anak berambut ikal kepada sang pencetak gol seraya menepuk punggung kawannya itu dengan keras. Ginola yang kian bersemangat buru-buru memungut bola dari gawang lawan saat teriakan lain mengalihkan perhatian seisi lapangan.

“Oi! Cukup latihan hari ini!”

Di tepi lapangan yang jauh dari jalan raya, dekat deretan pohon trembesi besar dan bangku-bangku kayu, Dinah menyeru kepada kawan-kawannya untuk menyudahi latih tanding siang itu. Roni tampak tak senang, Pandu si rambut ikal mendadak pudar senyumnya sementara Ginola satu-satunya yang menurut seraya berjalan menepi.

“Jam berapa sih ini?”

Jawaban Dinah berupa lemparan jam tangan digital milik si penanya, yang dengan sigap ditangkap. Ginola melirik jam itu, sudah 45 menit mereka latih tanding, dan empat jam latihan sejak pagi. Anak muda itu kemudian menoleh, mendapati rekan-rekan satu timnya mengarahkan pandangan ke satu titik di sisi lain lapangan, dekat jalan besar yang dilintasi truk dan mobil-mobil besar. Ya, lokasi latihan mereka memang dekat jalan lintas Sumatra. Seorang pria bertopi tampak berjalan mendekat, dan mendadak menjadi pusat perhatian. Beberapa anak saling bisik. Ginola dapat melihat senyum tipis dari kejauhan saat pria itu mengangkat wajahnya.

“Hai, boleh pinjam bolanya?” sapa pria itu dengan ramah sekali. Bola yang berada di bawah kaki Pandu bergeming. Malah anak itu mengencangkan pijakannya seolah tak sudi menyerahkan bola tersebut kepada orang asing.

“Ah. Tak boleh ya? Baiklah. Saya rebut saja,” gumam pria itu tanpa melunturkan sedikit pun senyum dari wajahnya seraya berlari dengan cepat, lalu melancarkan sliding tackle sempurna, membuat Pandu rebah tanpa sempat berteriak. Matanya terbelalak. Ia terkejut bukan main sementara Roni ternganga dibuatnya. Gerakan barusan macam pernah ia lihat di televisi. Seolah ada Nemanja Vidic atau Thiago Silva di hadapannya. Ginola mengerutkan dahi seraya melemparkan handuk ke arah Dinah. Ia lalu berjalan masuk ke dalam lapangan.

Lihat selengkapnya