Untuk pertama kalinya sejak vonis dokter dua tahun lalu, Rustam tersenyum kembali saat melihat jersey sepak bola. Ia tengah dalam perjalanan pulang dari salah satu toko kelontong di dekat rumah susun tempatnya tinggal saat sekelompok anak berseragam klub sepak bola sibuk bergumul memperebutkan bola plastik di lapangan voli yang tak dipasangi net. Rustam bahkan berhenti sejenak untuk menonton, lupa akan rasa lapar yang memaksanya keluar membeli mie instan. Riuh rendah anak-anak SD itu terdengar jelas dari tempatnya berdiri. Salah seorang yang berkostum Lionel Messi terus-menerus minta dioper, meski tak sekalipun bola dapat masuk ke dalam gawang imajiner yang ditandai dengan kehadiran sepasang sandal berjarak satu setengah meter. Sang keeper berkaus Scooby Doo rupanya terlampau lihai untuk Messi imitasi. Pekik frustrasi kembali terdengar saat tembakan keras memelesat namun dapat dengan mudah dihalau oleh penjaga gawang yang gerakannya lincah macam Kura-kura ninja itu. Rustam terkekeh. Mendadak semangatnya muncul setelah sekian lama menyibukkan diri dari hal-hal non-sepak bola. Pertemuannya kembali dengan pertandingan sepak bola, meski hanya laga persahabatan antar bocah di lapangan voli, telah sedikit menghidupkan semangatnya. Ia sepertinya mulai bisa berdamai dengan luka masa lalu yang terus menghantuinya. Dalam lamunannya, ia melihat sosok tinggi besar bernomor punggung tiga. Rustam terkesiap, lalu menarik napas dalam-dalam begitu ia tersadar bahwa dirinya baru saja berhalusinasi. Namun demikian, senyum kembali tersimpul. Pria 30 tahun yang baru saja berdamai dengan masa lalu itu melangkah ringan menuju kamar sempit di lantai tiga rumah susun, membayangkan mie instan dan rencana yang mulai ia rangkai di dalam benak.
“Lo serius mau nyebrang ke Lampung, Tam?” Galih si tukang bubur kacang hijau yang sudah tiga tahun berkeliling di sekitar area tempat tinggal Rustam bertanya dengan nada terkejut yang dibuat-buat. Jawaban Rustam yang sibuk melahap bubur hanya angguk samar saja.
“Ada saudara di sana? Teman?”
Kali ini Rustam menggeleng. Namun gelengan kepala itu lebih mantap daripada anggukan sebelumnya. Galih mengerutkan dahi melihat tingkah pelanggan setianya itu.
“Lo mau ngapain ke sana? Murid les lo udah abis di mari?”
Perlu diketahui bahwa sejak pindah ke tempat tinggal barunya setelah gantung sepatu, Rustam terus menerus memperkenalkan dirinya sebagai guru les privat mata pelajaran. Ia bahkan sengaja menumbuhkan dan memelihara berewok semasa rehabilitasi demi mengaburkan identitasnya sebagai Rustam Adrianto, mantan center back salah satu klub divisi utama liga nasional.
“Gue mau coba daftar jadi guru di sekolah, Gal. Kalau di sini terus, gue bakalan jadi guru les seumur idup,” jawab Rustam setelah menandaskan mangkuk bubur pertama. Bukan itu jawaban sebenarnya, namun Rustam tahu bahwa jawabannya barusan diharapkan cukup untuk membuat Galih berhenti bertanya. Namun Rustam salah.
“Terus? Mau tinggal sama siape? Dimane?”
“Lah? Emang gue dimari tinggal sama siape? Sendiri juga. Ngontrak juga. Sama aja, kan?”
Galih terdiam. Benar juga pelanggannya yang paling tertib membayar itu. Selama ini, Rustam hidup sendiri dan tak pernah diketahui siapa keluarga dan dari mana asal usulnya.
“Kapan lo berangkat?”
“Ntar malem. Gue udah beli tiket DAMRI. Naik dari Gambir,” jawab Rustam dengan cepat dan lengkap.