Rustam terbangun dengan kepala pening. Dalam mimpi, ia seperti menonton masa lalunya sendiri. Jam dinding yang jarum detiknya telah minggat entah ke mana menunjukkan waktu subuh yang hampir habis. Tergopoh-gopoh pria itu bangkit dari kasur busa tanpa dipan yang setia menemaninya sejak pertama kali pindah ke Bandar Lampung. Selepas menuntaskan kewajiban, Rustam menyetel rem sepeda, memastikan gear berfungsi dengan baik, lalu kembali masuk ke dalam, bersiap untuk mandi. Senin pagi, ia telah membulatkan tekad untuk menyambangi sekolah tempat remaja-remaja menyedihkan kemarin berlatih. Ia menggeleng membayangkan anak-anak SMA Negeri Sam Ratulangi harus berlatih sepak bola jauh ke seberang Jalan Lintas Sumatra. Ada apa dengan lapangan belakang sekolah mereka? Apa mereka kena jajah oleh tetangga? Entahlah. Namun Rustam seperti mendapat secercah harap. Meski kecil kemungkinan karena tempo hari tak tampak batang hidungnya, siapa tahu Raffa telah kembali dari Bandung, dan rupanya bersekolah di SMA unggulan nomor 2 itu.
Setelah rapi macam guru sungguhan, mengenakan kemeja maroon, celana slim-fit hitam serta sepatu yang sewarna dengan celana, Rustam bergegas meringankan langkahnya menuju tepi jalan Urip Sumoharjo. Ia menyetop mikrolet pertama yang melintas, lalu mengambil posisi duduk tepat di samping supir.
“Turun di seberang Gang Bakti, Pak,” ujarnya. Supir mengacungkan jempol. Mikrolet meluncur setelah mengeluarkan suara macam pria sepuh menderita batuk kering melalui knalpot usangnya. Tak sampai 10 menit perjalanan, Rustam sudah turun dari mikrolet. Ia melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri gang yang sebetulnya terlampau lebar dan lebih pantas disebut jalan. Arloji murahan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 7.15. Rustam tersenyum kepada tukang ojek yang sepertinya terlampau girang entah apa sebabnya. Terbersit keinginan untuk nyambung naik ojek, namun urung ia lakukan. Jalan kaki di pagi hari adalah terapi. Begitu pikirnya.
Tiba di gerbang SMA Negeri Sam Ratulangi, seorang satpam berkumis lebat macam sikat yang biasa dipakai menyemir sepatu mengulas senyum ramah kepada Rustam. Dari logat bicara dan delik matanya, dapat dipastikan Pak Satpam adalah seorang native, atau penutur asli Bahasa Lampung yang belajar Bahasa Indonesia hanya untuk keperluan komunikasi saja. Pada dasarnya, ia bangga dan sudah lebih dari senang dengan bahasa ibunya.
“Cari siapa, Bang? Eh, Pak?”
Rustam tersenyum geli akibat transisi panggilan dari bang menjadi pak. Penampilannya mungkin membingungkan sehingga Pak Satpam kesulitan menentukan harus memanggilnya dengan sebutan Abang, atau Bapak. Pakaiannya rapi jail macam guru honorer masuk kerja di hari pertama. Namun berewoknya begitu lebat, ditambah rambut, yang meski telah disisir hampir setengah jam, masih tetap terlihat gondrong.
“Saya mau ketemu kepala sekolah, atau wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Pak,” jawab Rustam dengan sopan, namun tetap santai. Senyum tak luntur dari wajah sangarnya.
Mendengar jawaban Rustam, Pak Satpam yang rupanya bernama Hendri itu mengangguk takzim. Pasti abang ini tamu penting. Tampangnya macam artis Jakarta. Ia bicara dengan batinnya sendiri sebelum merespon jawaban Rustam.
“Kalau Pak Kepala, sedang pergi dinas ke luar kota, namun Pak Waka ada di ruangannya. Mari, saya antar Bapak,” ujarnya seraya memimpin jalan, sementara Rustam mengekor dengan mengimbangi kecepatan berjalan Pak Hendri yang lumayan gesit.
Tak sampai semenit, mereka tiba di ambang pintu setengah terbuka yang di atasnya terpasang papan kayu bertuliskan ‘RUANG WAKA KESISWAAN’. Pak Hendri mengetuk pintu sambil mengucap salam, yang kemudian direspon dari dalam oleh suara berat berwibawa.
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Pak Hen?”
Pak Hendri menjelaskan dengan aksen khasnya. Rustam menyimak sambil sesekali melirik ke arah dalam. Tak lama kemudian, kode berupa gerakan leher yang samar menandakan bahwa Rustam dipersilakan masuk.
“Nah, saya tinggal ya. Banyak anak-anak cabut kalau dak dijaga.” Pak Hendri undur diri. Tinggal Rustam, dan Pak Joko, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan.
“Silakan duduk, Mas. Ada yang bisa saya bantu? Wali murid kah masnya?” Tanya Pak Joko dengan logat jawa yang cukup kentara.