The Playmaking Defender

Fajar R
Chapter #5

Fixture 4

Jika Ronaldo Nazario menyaksikan dribble yang baru saja dilancarkan untuk mengelabui Mahmud si gelandang bertahan, maka ia pasti berdecak. Jika Lionel Messi tahu ada bakat macam dirinya di tanah negeri kelas tiga macam Indonesia, ia pasti rela menjadikan anak berbakat itu sebagai tandemnya di lini depan. Dan jika Edwin van Der Sar melihat bagaimana gawang Topan dibobol dengan sepakan berdaya magis macam muslihat yang menafikan  gravitasi, ia pasti senewen selama tiga hari tiga malam. Begitulah Raffanda Bima Prinanda jika berhadapan dengan lawan-lawannya di lapangan hijau. Keterampilan individualnya di atas rata-rata, begitu pula nalurinya dalam menghancurkan kepercayaan diri penjaga gawang lawan dengan cara mencetak gol-gol ajaib melalui tendangan taktisnya; seolah tak bertenaga, namun amat sulit dibaca. Saat bola bergulir menuruni jaring putih dan menyentuh tanah hingga mencapai garis batas gawang, sorak sorai pendukung tim sepak bola SMA Swasta Darma Budaya tak henti mengumandangkan nama Raffanda. Stadion yang berlokasi di pusat kecamatan Way Halim itu bergetar akibat ramainya supporter, padahal pertandingan yang tengah berlangsung hanya laga uji coba menjelang turnamen. Tampak seorang penonton yang menyandang handy-cam menggeleng sambil tetap fokus menyorot jalannya pertandingan. Saat peluit tanda usainya laga berbunyi, ia buru-buru mematikan kamera perekam video itu, lalu meraih ponsel dari ransel untuk menghubungi seseorang.

Udah gue rekam. Ah? Kita punya pelatih?” Anak muda itu tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Ia bergegas pergi dari stadion, menuju lapangan parkir untuk ngebut ke sekolah dengan Vespa andalannya.

***

Tak perlu kecerdasan setingkat Bapak Presiden Ketiga untuk paham apa yang tengah terjadi di antara dua orang pria di dalam kafe yang ciamik desain interiornya itu. Dari koper ukuran sedang yang dibawa oleh salah seorang di antara mereka, sekelompok anak SMA yang tengah menikmati akhir pekan di salah satu sudut kafe dapat mengendus bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa orang yang sensitif nalurinya karena terlampau sering menonton berita perkara korupsi akan langsung paham, kasir dan para pramusaji kafe juga tak mungkin tak peka. Mereka cuma pura-pura bodoh saja. Jelas-jelas dua oknum itu tengah melakukan tindak ilegal yang berhubungan dengan nominal uang yang tak sedikit. Namun kedua pria yang duduk berhadapan itu asyik saja menyesap minuman dingin sambil mengobrol. Sesekali keduanya terkekeh dan menunjukkan dengan jelas aura licik melalui tawa sumbang dan seringai menggelikan.

“Ingat, kekurangannya harus segera dibayar begitu trofi diangkat pada malam pertandingan final,” ujar pria berkumis tipis dengan mata sipit kepada pria bercambang lebat di hadapannya.

“Beres. Nah, terimalah uang muka ini.” Si Cambang melungsurkan koper tadi dengan cepat. Kumis Tipis Mata Sipit mengangguk. Kedua kelopak matanya mendadak melebar seiring dengan netra yang melebar. Duit adalah kelemahannya.

***

Rustam selesai memperkenalkan diri. Pertama kalinya sejak pensiun ia terang-terangan menyebut nama lengkap beserta profesi masa lalu dan juga detail ikonik yang melekat padanya: nomor punggung 3 pada seragam tim kebanggaan warga Jawa Barat. Beberapa anggota Sam Ratulangi FC terperangah saat mengetahui fakta tersebut. Hanya Ginola yang tampak tak terlalu terkejut; nalurinya benar saat pertama kali berhadapan dengan orang yang kini menjadi pelatih timnya.

“Baik, saya sudah memperkenalkan diri. Sebelum kalian bertanya macam-macam, saya perlu mengenal kalian dahulu,” ujar Rustam mengantisipasi raut berbinar para anggota tim yang sepertinya telah mempersiapkan segudang pertanyaan untuk dirinya.

“Dimulai dari kapten tim. Sebutkan nama, nomor punggung, dan posisi.”

“Ginola. 13. Penyerang tengah.” Pemuda itu berseru dengan lantang, seraya maju selangkah. Dialah sang penantang, sekaligus kapten yang dengan nekat meminta Rustam menjadi pelatih minggu lalu. Bekas bek tengah itu terdiam sesaat.

“Kamu kaptennya?”

“Ya, coach.

Rustam hendak mengatakan sesuatu lebih banyak, namun ia tak ingin merusak momen perkenalan. Tangannya memberi isyarat dengan jempol kanan teracung.

Lihat selengkapnya