Macam orang melihat jin bertampang mengerikan, Rustam membeku saat menyaksikan tayangan video yang diperoleh Hilman. Cuplikan pertandingan uji coba yang berlangsung pada Jum’at sore itu menampilkan sosok yang tak asing baginya. Kamar kontrakan di kawasan Jagabaya itu mendadak dingin dan senyap. Padahal malam hari bulan Agustus selalu pengap di gang padat penduduk itu. Rustam mengulang video di layar laptop ke beberapa detik sebelumnya, saat sosok familiar itu melakukan tendangan dengan akurasi luar biasa. Ia menyesap minuman soda yang dibelinya di mini market tanpa merasakan apa-apa. Lidahnya mati rasa. Saat soda dingin meluncur ke kerongkongan pria itu, suara seraknya seperti keluar secara otomatis.
“Raffa,” bisik serak itu bersamaan dengan sosok nomor punggung 10 yang menoleh tepat ke arah kamera secara tidak sengaja sesaat setelah gol tercipta. Raffa melempar seringai. Rustam tanpa sadar tersenyum dan mengangguk. Ia menangkap simpul di wajah mantan muridnya itu sebagai tantangan.
“Tunggulah, Raffa. Rivalmu akan segera tercipta.”
***
Sesuai janji, sore hari berikutnya Rustam kembali datang ke SMA Sam Ratulangi untuk melatih klub sepak bola. Ia telah mencatat banyak hal, mempelajari segala informasi terkait taktik, karakteristik permainan individu, hingga sejarah beberapa lawan mereka, yang diberikan oleh Ginola selaku kapten, dan Hilman yang merupakan ‘agen rahasia’ di luar lapangan, merangkap skipper di dalam lapangan. Pelatih baru itu tengah membuka-buka catatannya saat pemain pertama muncul dari balik tembok yang menjadi batas antara area SMA, dengan lapangan sepak bola di belakang sekolah.
“Mana yang lain?” tanya Rustam tanpa menoleh.
“Sedang dalam perjalanan ke sini.”
“Kenapa minggu lalu repot-repot berlatih di dekat SMA Negeri Bung Hatta?”
“Sejak kekalahan dua bulan lalu, hari minggu menjadi jatah SMA Bhakti Pratama untuk berlatih di sini.”
Rustam menggeleng sambil menahan tawa. Tak disangka lapangan latihan pun jadi bahan taruhan. Ia kemudian menutup buku catatannya, lalu menatap Ginola lekat-lekat.
“Kau mau berkembang lebih pesat, Kapten?”
Ginola bingung dengan pertanyaan pelatih barunya, namun ia mengangguk. Dari kejauhan, terdengar gumam samar sekelompok pemuda yang sesekali diiringi gelak tawa. Roni menjadi orang kedua yang datang. Wajah anak itu tampak cerah dan bersemangat, namun segera berganti menjadi ekspresi terkejut saat Rustam menjawab anggukan Ginola.