Raut puas di wajah Ginola tak berlangsung lama. Feint yang ia lakukan sebenarnya sudah cukup baik. Bagai Thiery Henry pada masa jayanya, ia berusaha mengelabui sang pelatih. Namun jika Ginola diibaratkan sebagai mantan legenda Arsenal bernomor 14 itu, maka Rustam adalah Lilian Thuram kala masih berseragam A.C. Parma; liat, tangguh, dan tak kalah gesit. Gerakan luwes bersudut 120 derajat ke arah kanan itu macam permainan anak-anak saja bagi Rustam. Tubuh bagian atas sang pelatih dicondongkan ke arah yang berlawanan dengan feint Ginola, lalu kaki kiri yang masih sangat kuat itu diayunkan dengan maneuver menakjubkan, tepat menyapu bola hingga melibas kaki sang kapten, hingga tubuh belia pemain nomor 13 itu tersungkur. Ginola tak percaya. Sedetik lalu ia sempat jumawa, kini ia menatap nanar rumput di hadapannya.
“Roni. Kau kaptennya mulai sekarang,” perintah Rustam seraya mengumpan bola kepada anak ya baru saja ia sebut namanya. Seisi lapangan tertegun. Bocah-bocah ternganga melihat aksi orang tua. Hening menyusup hingga desau angin dapat mereka dengar dengan cukup jelas. Hari itu, Ginola resmi pindah posisi.
2007
Meski kurang tidur akibat begadang menonton pertandingan final Liga Champions, Ginola senang karena idolanya menang. Ia berangkat sekolah dengan raut bahagia. Senyum tak luntur-luntur dari wajah mengantuknya sejak di teras rumah, hingga Ayah menurunkannya di depan gerbang SD Negeri Jenderal Sudirman. Segera setelah menyalami sang ayah, bocah itu berlari secepat idolanya saat melakukan selebrasi dini hari tadi. Ayah menggeleng melihat tingkah sang anak, kemudian memutar menuju jalan raya dengan sepeda motor bebek keluaran tahun 2004 miliknya.
Sepulang sekolah, euforia kegembiraan Ginola belum juga padam. Ia masih nyerocos tentang gol spektakuler pemain idolanya, dan bagaimana kapten klub kesayangannya mengangkat piala besar berwarna perak itu.
“Keren banget, kan Yah? Terus Maldini juga, walaupun dia bek, tapi hebat banget, kan?!”
Ayah mengangguk sambil menatap anaknya lekat-lekat.
“Habiskan makanmu, lalu tidur siang. Nanti sore kita pergi ke Stadion Pahoman menonton tim sepak bola lokal latihan.”
Mendengar janji ayahnya, Ginola makan dengan cepat, lalu buru-buru pergi ke kamar untuk tidur siang. Ia tak mau mengantuk dan tertidur saat di stadion nanti.
Bagai dicambuk, Ginola terlonjak saat seseorang menepuk keras punggungnya. Ia menoleh kemudian melotot, hendak marah. Namun dilihatnya Pandu berdiri tegak.
“Lo diteriakin pelatih. Segera pindah posisi katanya,” ujar Pandu sambil memberi isyarat dengan melirik sedikit ke arah samping. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, mantan penyerang tengah itu berlari menuju posisi yang diarahkan. Ia tak sadar ban kapten telah berpindah ke lengan Roni. Sepertinya ia menyerahkannya tanpa menyadari apa yang tengah terjadi.