The Plotters

Noura Publishing
Chapter #1

Keramahtamahan

Lelaki tua itu keluar ke kebun.

Reseng menajamkan fokus teropong senapannya dan mengo­kang. Peluru berdenting keras memasuki biliknya. Dia memandang ke sekeliling. Selain pohon-pohon cemara tinggi yang menjangkau langit, tak ada yang bergerak. Hutan itu senyap. Tidak ada burung terbang, tidak ada serangga mendengung. Mengingat betapa he­ningnya di luar sini, suara tembakan akan menjalar jauh. Jika ada yang mendengar dan bergegas datang? Dia menyingkirkan pikiran tersebut. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan soal itu. Suara tembakan lumrah di luar sini. Mereka akan berasumsi itu pemburu liar yang sedang berburu babi hutan. Siapa yang mau membuang waktu dengan berjalan sejauh ini ke dalam hutan hanya untuk menyelidiki satu suara tembakan? Reseng mengamati gunung di barat. Matahari tampak sejengkal di atas punggung gunung. Dia masih punya waktu.

Lelaki tua itu mulai menyirami bunga-bunga. Beberapa me­ne­rima seteguk, beberapa sepercik saja. Dia memiringkan cerek penyiram dengan sangat khidmat, seakan-akan sedang menyajikan teh kepada bunga-bunga itu. Sesekali, dia sedikit mengguncang bahu, seolah sedang menari, dan sekilas membelai kelopak bunga. Dia menunjuk salah satu bunga dan tergelak. Dia tampak seperti sedang bercakap-cakap dengannya. Kembali Reseng mengatur fo­kus senapan dan mengamati bu­nga yang sedang diajak bicara oleh lelaki tua itu. Bunga itu tampak tak asing lagi; pasti dia pernah meli­hat­nya, tetapi dia tidak bisa mengingat namanya. Dia berupaya meng­ingat bunga apa yang me­kar pada Oktober—kenikir? Zinia? Krisan?—tetapi tak satu pun dari nama-nama itu cocok de­ngan bunga yang sedang dilihatnya. Mengapa dia tidak bisa meng­ingat? Dia mengerutkan kening dan berjuang memikirkan namanya, tetapi segera menying­kirkan pikiran itu juga. Hanya bunga—apa pentingnya?

Seekor anjing hitam besar berjalan mendekat dari ujung lain kebun dan menggosokkan kepala ke paha lelaki tua itu. Mastiff, anjing ras murni. Hewan yang dibawa pulang Julius Caesar setelah menaklukkan Inggris. Anjing yang digunakan orang Romawi kuno untuk berburu singa dan menggiring kuda liar. Ketika ditepuk oleh sang lelaki tua, anjing itu mengibaskan ekor dan bergelung di kaki­nya, menghalangi ketika dia berupaya melanjutkan menyiram bu­nga. Lelaki tua itu melempar bola sepak kempes melintasi kebun, dan anjingnya mengejar bola dengan ekor mengibas, sementara dia kembali kepada bunga-bunganya. Sama seperti sebelumnya, lelaki tua itu menunjuk, menyapa, mengajak mereka bicara. Anjingnya langsung datang kembali, dengan bola sepak kempes berada di antara giginya. Kali ini, lelaki tua itu melempar bola lebih jauh, dan anjingnya kembali mengejar bola. Mastiff ganas yang pernah berburu singa itu telah merosot menjadi badut. Namun, lelaki tua itu dan anjingnya tampak sangat cocok satu sama lain. Mereka mengulangi permainan itu berkali-kali. Jauh dari kata bosan, mereka tampak seakan-akan menikmatinya.

Lelaki tua itu selesai menyiram dan berdiri tegak, mere­gangkan tubuh dan tersenyum puas. Lalu, dia berpaling dan me­mandang hingga setengah ketinggian gunung, seolah tahu Reseng ada di sana. Wajah tersenyum lelaki tua itu memasuki garis bidik senapan Reseng. Apakah dia tahu bahwa matahari kini berada kurang dari sejengkal di atas cakrawala? Apakah dia tahu bahwa dirinya akan mati sebelum matahari tenggelam di balik gunung? Itukah sebabnya dia tersenyum? Atau, mungkin sebenarnya dia tidak sedang tersenyum. Wajah lelaki tua itu seakan-akan terpatri dalam seringai permanen, seperti topeng kayu berukir Hahoe. Be­berapa orang memang memiliki wajah seperti itu. Orang dengan perasaan batin yang tidak pernah bisa ditebak, yang terus-menerus tersenyum walaupun mereka sedang sedih atau marah.

Haruskah dia menarik pelatuk sekarang? Jika dia menarik pela­tuk, maka dia bisa kembali berada di kota sebelum tengah malam. Dia akan berendam air panas, menenggak beberapa gelas bir hingga merasa nyaman dan mabuk, atau memasang piringan hitam lama The Beatles di atas pemutarnya dan memikirkan kesenangan yang akan segera didapatnya dengan uang yang sedang dalam perjalanan memasuki akun banknya. Mungkin, setelah pekerjaan terakhir ini, dia bisa mengubah hidupnya. Dia bisa membuka kedai piza di sebe­rang sebuah SMA, atau menjual gula kapas di taman. Reseng mem­bayangkan dirinya menyerahkan sekumpulan balon dan gula kapas kepada anak-anak dan terkantuk-kantuk di bawah siraman cahaya matahari. Sungguh, dia bisa menjalani kehidupan seperti itu, bukan? Mendadak, gagasan itu tampak begitu indah. Namun, dia harus menyimpan pikiran itu sampai dia menarik pelatuk. Lelaki tua itu masih hidup dan uang belum memasuki akunnya.

Bayang-bayang gunung turun dengan cepat. Jika hendak menarik pelatuk, dia harus melakukannya sekarang. Lelaki tua itu sudah selesai menyiram dan bisa kembali ke dalam rumah kapan saja. Lalu, pekerjaan itu akan menjadi jauh lebih sulit. Mengapa memperumit pekerjaan? Tarik pelatuknya. Tarik sekarang dan pergilah dari sini.

Lelaki tua itu sedang tersenyum, dan anjing hitamnya sedang berlari dengan bola sepak di dalam mulut. Wajah lelaki tua itu tampak sejelas kristal pada garis bidik senapan. Dia punya tiga kerut mendalam melintasi kening, sebuah kutil di atas alis kanan, dan bintik-bintik penuaan di pipi kiri. Reseng memandang tempat jantung lelaki tua itu berada, yang sebentar lagi akan ditembus pe­luru. Tampaknya, sweter lelaki tua itu rajutan tangan, bukan buatan pabrik, dan sebentar lagi akan bermandikan darah. Reseng hanya perlu menarik pelatuk sedikit saja, agar pin pemicu menumbuk pri­mer pada selongsong peluru kaliber 7,62 mm, menyulut serbuk me­siu di dalam selongsong kuningan itu. Ledakannya akan mendorong peluru di sepanjang ulir dalam laras senapan dan mengirimnya berputar-putar di udara, langsung menuju jantung lelaki tua itu. Dengan kecepatan tinggi dan daya perusak peluru, organ-organ rusak lelaki tua itu akan berhamburan dari luka akibat keluarnya peluru di punggung bawah. Memikirkan hal itu saja membuat bulu halus di sekujur tubuh Reseng meremang. Memegang hidup orang lain di telapak tangan selalu membuatnya bergidik.

Tarik pelatuknya.

Tarik sekarang.

Namun, entah kenapa, Reseng tidak menarik pelatuk dan malah meletakkan senapannya di tanah.

“Sekarang bukan saat yang tepat,” gumamnya.

Dia tidak yakin mengapa ini bukan saat yang tepat. Dia hanya tahu bahwa ada saat yang tepat untuk segalanya. Saat yang tepat untuk menyantap es krim. Saat yang tepat untuk menikmati cium­an. Dan, mungkin ini kedengaran konyol, tetapi juga ada saat yang tepat untuk menarik pelatuk dan saat yang tepat bagi peluru untuk menembus jantung. Kenapa tidak? Dan, jika peluru Reseng ternyata memelesat lurus menembus udara menuju jantung lelaki tua itu, persis ketika saat yang tepat secara kebetulan mengungkapkan diri kepadanya? Itu pasti luar biasa. Tentu saja dia tidak sedang me­nunggu momen terbaik. Momen mujur itu mungkin tidak pernah datang. Atau, momen itu bisa berlalu persis di depan matanya. Terpikir olehnya bahwa dia hanya belum ingin menarik pelatuk. Dia tidak tahu mengapa, dia benar-benar tidak tahu. Dia menyalakan sebatang rokok. Bayang-bayang gunung merayap melintasi pondok lelaki tua itu.

Ketika hari berubah gelap, lelaki tua itu membawa masuk anjingnya. Agaknya pondok itu tidak berlistrik karena bagian dalamnya bahkan tampak lebih gelap. Sebatang lilin berkilau di ruang duduk, tetapi Reseng tidak bisa melihat interior ruangan secara memadai lewat teropong. Bayang-bayang lelaki itu dan anjingnya menjulang tinggi di dinding bata, lalu menghilang. Kini, satu-satunya cara Reseng untuk membunuh lelaki tua itu dari posisinya saat ini adalah jika lelaki tua itu kebetulan berdiri persis di balik jendela dengan membawa lilin.

Ketika matahari tenggelam di balik punggung gunung, kege­lapan menyelimuti hutan. Tidak ada bulan; bahkan benda-benda dekat pun sulit dilihat. Hanya ada secercah cahaya lilin dari pondok lelaki tua itu. Kegelapannya begitu pekat hingga udara terasa lembap dan berat. Mengapa Reseng tidak pergi saja, mengapa dia bertahan di sana, dalam kegelapan? Dia bimbang. Menanti fajar, pikirnya me­mutuskan. Begitu matahari terbit, dia akan menembakkan sebutir peluru—tidak ada bedanya dengan menembak sasaran kayu yang menjadi latihannya selama bertahun-tahun—lalu pulang. Dia me­ma­sukkan puntung rokok ke saku dan merangkak ke dalam tenda. Karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melewatkan waktu, dia menyantap biskuit dan terlelap dalam balutan kantong tidurnya.

Reseng mendadak terbangun dua jam kemudian oleh suara langkah berat di rumput, langsung menuju tendanya. Tiga atau empat bunyi debuk tidak beraturan. Sebuah torso menerobos rumput tinggi. Dia tidak bisa memahami apa yang sedang mendatanginya. Mungkin babi hutan. Atau kucing hutan. Reseng mengokang senapan dan mengarahkannya ke kegelapan, ke arah suara yang mendekat. Dia belum bisa menarik pelatuk. Banyak tentara bayaran yang se­dang mengintai menembak ke dalam kegelapan tanpa mengecek sasarannya gara-gara takut, lalu menyadari bahwa dirinya telah menembak rusa atau anjing polisi atau, lebih buruk lagi, salah seorang rekan tentara yang tersesat di hutan ketika sedang pergi mengintai. Dia akan tersedu-sedu di samping mayat saudara seper­juangannya, yang gugur akibat salah tembak, tubuh kekar bertato itu berguncang-guncang seperti tubuh gadis kecil ketika memberi tahu komandannya: Aku tidak bermaksud membunuhnya, aku ber­sumpah. Dan, mungkin dia benar-benar tidak bermaksud begitu. Karena belum pernah menghadapi ketakutan terhadap hal-hal yang berdebum pada malam hari, seseorang yang berpikir dengan otot alih-alih otak hanya mampu mengarahkan senapan dan menembak ke dalam kegelapan. Dengan tenang, Reseng menanti apa pun yang ada di luar sana untuk menampakkan diri. Yang membuatnya terkejut adalah kemunculan dua sosok itu kemudian: sang lelaki tua dan anjingnya.

“Sedang apa kau di luar sini?” tanya lelaki tua itu.

Nah, ini menggelikan. Sama menggelikannya jika titik sasaran di lapangan tembak berjalan langsung menghampiri Reseng dan berkata, Kenapa kau belum menembakku?

“Sedang apa kau di luar sini? Aku bisa saja menembakmu,” jawab Reseng dengan suara bergetar.

“Menembakku? Kenapa jadi terbalik?” kata lelaki tua itu sambil tersenyum. “Ini tanahku. Kaulah yang tidak seharusnya berada di sini, memasuki properti orang lain.” Dia tampak santai. Situasi ini bisa dibilang tidak biasa, tetapi dia sama sekali tidak tampak terkejut. Yang terkejut malah Reseng.

“Kau mengejutkanku. Kupikir kau hewan liar.”

“Kau pemburu?” tanya lelaki tua itu, sambil memandang tajam senapan Reseng.

“Ya.”

“Itu Dragunov. Kau hanya melihat senapan seperti itu di museum. Jadi, sekarang pemburu liar berburu dengan senapan Perang Vietnam?”

“Aku tidak peduli betapa tuanya, selama senapan itu bisa merobohkan seekor babi.” Reseng berupaya kedengaran tidak acuh.

“Benar. Jika bisa menghentikan seekor babi, maka tidak penting senapan apa yang kau gunakan. Peduli setan, kalau bisa menghentikan seekor babi dengan sumpit—ataupun tusuk gigi—kau bisa melupakan senapan itu sepenuhnya.”

Lelaki tua itu tertawa. Anjingnya menunggu dengan sabar di sampingnya. Anjing itu jauh lebih besar daripada yang tampak lewat teropong. Dan, jauh lebih mengintimidasi daripada ketika sedang mengejar bola sepak kempes.

“Itu anjing bagus,” ujar Reseng.

Lelaki tua itu menunduk dan membelai kepala anjingnya. “Dia memang anjing bagus. Dialah yang mengendusmu. Tapi, sekarang dia sudah tua.”

Anjing itu tak pernah melepaskan pandangan dari Reseng, tidak menggeram atau menyeringai, tetapi tidak bisa dibilang ramah juga. Lelaki tua itu kembali menepuk kepala anjingnya.

“Karena kau bersikeras untuk bermalam, jangan sampai kena flu di luar sini. Datanglah ke rumahku.”

“Terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak mau mere­potkanmu.”

“Ini tidak merepotkan.”

Lelaki tua itu berbalik dan berjalan kembali menuruni lereng, diikuti anjingnya. Dia tidak membawa senter, tetapi tampaknya ti­dak mengalami kesulitan dalam mencari jalan menembus kege­lapan. Benak Reseng berpusar-pusar. Senapannya terisi dan siap, sedangkan sasarannya hanya berjarak lima meter. Dia mengamati lelaki tua itu menghilang dalam kegelapan. Sedetik kemudian, dia menyandang senapan dan berjalan menyusul.

Pondok itu hangat. Api berkobar di perapian bata merah. Tidak ada perabot atau hiasan, kecuali permadani usang dan meja kecil di depan perapian dan beberapa foto di rak perapian. Semuanya foto lelaki tua itu, duduk atau berdiri bersama rekan-rekannya, selalu berada di tengah kelompok, orang-orang di kedua sisinya tersenyum kaku, seakan merasa terhormat dipotret bersama lelaki tua itu. Sama sekali tidak ada foto keluarga.

“Masih agak dini untuk menyalakan perapian,” ujar Reseng.

“Semakin kau tua, semakin kau merasakan dingin. Dan, tahun ini aku merasakannya melebihi kapan pun.”

Lelaki tua itu memasukkan beberapa potong kayu kering ke perapian, api meredup sesaat akibat penambahan baru itu. Reseng melepas senapan dari bahu dan menyandarkannya di kosen pintu. Lelaki tua itu melirik senapan.

“Oktober musim terlarang untuk berburu, ‘kan?”

Ada binar di matanya. Dia menggunakan bahasa informal, seakan dia dan Reseng adalah teman lama, tetapi itu tidak meng­usik Reseng.

“Orang bisa mati kelaparan kalau berupaya mengikuti setiap peraturan.”

“Benar, tidak semua peraturan harus diikuti,” gumam lelaki tua itu. “Kau bodoh kalau mencoba melakukannya.”

Ketika dia mengaduk potongan-potongan kayu dengan batang logam, api berkobar dan menjilat sepotong kayu yang belum ter­bakar.

“Yah, aku punya minuman keras dan teh. Jadi, pilih ra­cun­mu.”

“Teh kedengaran enak.”

“Kau tidak mau sesuatu yang lebih keras? Kau pasti kedi­nginan.”

“Biasanya, aku tidak menenggak alkohol ketika sedang ber­buru. Lagi pula, berbahaya menenggak alkohol kalau kau hendak tidur di tempat terbuka.”

“Kalau begitu, manjakan dirimu malam ini,” ujar lelaki tua itu sambil tersenyum. “Kecil kemungkinannya untuk mati beku di dalam sini.”

Dia pergi ke dapur dan kembali dengan membawa dua cang­kir timah dan sebotol wiski, lalu menggunakan penjepit untuk meng­ambil ketel berisi teh hitam dari dalam perapian dengan hati-hati. Dia menuang teh ke dalam salah satu cangkir. Gerakannya lancar dan terukur. Dia menyerahkan cangkir itu kepada Reseng dan meng­isi cangkir untuk dirinya sendiri, lalu mengejutkan Reseng dengan menambahkan wiski.

“Kalau kau belum merasa hangat, sedikit wiski akan langsung menghangatkanmu. Lagi pula, kau tidak bisa pergi berburu hingga fajar.”

“Memangnya teh cocok dengan wiski?” tanya Reseng.

“Kenapa tidak? Semuanya sama setelah ditelan.”

Lelaki tua itu menyipitkan mata memandangnya. Dia berwa­jah tampan. Sepertinya, dia menerima banyak pujian semasa mu­da. Raut wajah berpahat membuatnya tampak, entah bagaimana, keras dan hangat pada saat bersamaan. Seakan tahun-tahun yang berlalu telah mengikir halus sudut-sudut kasar dan melembut­kannya. Reseng menjulurkan cangkir ketika lelaki tua itu menuang sedikit wiski ke dalamnya. Aroma alkohol menguar dari teh hangat itu. Baunya nikmat. Anjing itu berjalan mendekat dari ujung lain ruang duduk dan berbaring di sebelah Reseng.

Lihat selengkapnya