The Plotters

Noura Publishing
Chapter #2

Tumit Achilles

Reseng ditemukan di tempat sampah. Atau, siapa tahu, mungkin dia lahir di dalam tempat sampah itu.

Rakun Tua bertindak sebagai ayah angkat Reseng selama dua puluh delapan tahun terakhir. Setiap kali menenggak alkohol, dia gemar menggoda Reseng perihal asal-usulnya. “Kau ditemukan di tempat sampah di depan biara perempuan. Atau, mungkin tempat sampah itu ibumu. Sulit dikatakan. Bagaimanapun, itu sangat menyedihkan. Tapi, lihatlah sisi baiknya. Tempat sampah yang digunakan biarawati pasti tempat sampah tebersih di se­kitar sana.”

Reseng tidak terganggu oleh godaan Rakun Tua. Dia memu­tuskan bahwa dilahirkan dari tempat sampah bersih pasti lebih baik daripada lahir dari jenis orangtua yang membuang bayi mereka ke tempat sampah.

Reseng tinggal di panti asuhan yang dikelola biara itu hingga berusia empat tahun, setelah itu dia diadopsi oleh Rakun Tua dan tinggal di perpustakaan milik lelaki itu. Seandainya Reseng terus tumbuh besar di panti asuhan, tempat berkah ilahi membanjir turun bak cahaya matahari musim semi dan biarawati-biarawati baik hati membaktikan diri untuk mengasuh anak-anak yatim piatu dengan cermat, maka hidupnya mungkin akan sangat berbeda. Namun, dia tumbuh besar dalam perpustakaan yang dipenuhi pembunuh bayaran, penembak sewaan, dan pemburu hadiah. Sama seperti tanaman yang tumbuh di mana pun ia berakar, maka semua tragedi kehidupanmu berasal dari tempat mana pun kau pertama kali menjejakkan kaki. Dan, Reseng masih terlalu muda untuk meninggalkan tempatnya berakar.

Pada hari ulang tahunnya yang kesembilan, Reseng bergelung di kursi goyang rotan milik Rakun Tua, membaca The Tales of Homer. Paris, pangeran Troya yang idiot itu, sedang menarik busur untuk menancapkan anak panah ke tumit Achilles, pahlawan yang dicin­tai Reseng ketika membaca buku itu. Seperti yang diketahui semua orang, ini momen yang sangat menegangkan, maka Reseng benar-benar tidak menyadari bahwa Rakun Tua sudah berdiri di belakangnya selama beberapa saat, mengamatinya membaca. Rakun Tua tampak berang.

“Siapa yang mengajarimu membaca?”

Rakun Tua tidak pernah menyekolahkan Reseng. Setiap kali Reseng bertanya, “Kenapa aku tidak pergi ke sekolah seperti anak-anak lain?” Rakun Tua menjawab, “Karena sekolah tidak menga­jarimu sesuatu pun mengenai kehidupan.” Rakun Tua benar soal itu. Reseng tidak pernah bersekolah, tetapi sepanjang tiga puluh dua tahun hidupnya, satu kali pun hal itu tidak pernah mendatangkan masalah baginya. Masalah? Ha! Lagi pula, masalah macam apa yang dimilikinya? Jadi, Rakun Tua tampak terpukau melihat Reseng, yang tidak pernah menghabiskan satu hari pun di sekolah, membaca buku. Parahnya lagi, ekspresi di wajahnya menyatakan bahwa dia merasa dikhianati.

Ketika Reseng menatapnya tanpa menjawab, Rakun Tua beralih ke suara rendah dan berat yang digunakannya untuk mengintimidasi orang.

Lihat selengkapnya