The Plotters

Noura Publishing
Chapter #3

Krematorium Hewan Milik Beruang

“Kalau segalanya tidak membaik, aku berada dalam kesulitan besar. Bisnis begitu sepi, aku hanya melakukan kremasi anjing se­pan­jang hari.”

Beruang menjentikkan rokok ke tanah. Dia sedang berjongkok dan bokong celana panjangnya terancam robek di bawah bobot tubuhnya yang lebih dari seratus kilo. Tanpa berkata-kata, Reseng mengenakan sepasang sarung tangan kerja dari katun. Beruang bangkit berdiri, membersihkan bagian belakang tubuhnya.

“Tahukah kau, beberapa orang begitu tolol hingga mereka benar-benar membuang mayat di hutan? Pekerjaanmu tidak ber­akhir ketika sasaran tewas—kau juga harus membersihkan dirimu sendiri. Maksudku, hari dan zaman apakah ini? Membuang mayat di hutan? Kau bahkan tidak mau mengubur anjing di luar sana. Sekarang, bahkan kalau kau sekadar mengetuk gunung dengan buldoser, mayat-mayat akan bertumpahan keluar. Sumpah, tidak ada lagi orang yang menangani pekerjaan dengan serius. Tidak ada integritas! Menikam perut seseorang dan berjalan pergi? Itu preman bayaran, bukan pembunuh profesional! Lagi pula, mengubur mayat di hutan tidak bisa dibilang mudah. Segerombolan idiot dari Incheon tertangkap ketika sedang menyeret kopor besar ke atas gunung beberapa hari yang lalu.”

“Mereka ditangkap?” tanya Reseng.

“Tentu saja. Itu jelas sekali. Tiga lelaki bertubuh besar mem­bawa sekop dan menyeret kopor raksasa ke dalam hutan. Kau pikir orang yang tinggal di dekat situ melihat mereka dan berpikir, ‘Ah, mereka sedang melakukan perjalanan, pada tengah malam, ke sisi lain gunung’? Dasar tolol! Jadi, maksudku adalah, alih-alih membuang mayat di gunung, kenapa tidak melakukan kremasi di sini? Aman, bersih, dan lebih baik untuk lingkungan. Bisnis begitu sepi, aku sekarat!”

Beruang mengenakan sarung tangan kerja sambil menggerutu. Dia selalu menggerutu. Namun, lelaki penggerutu bertubuh se­ukur­an orang utan ini tampak sama tidak berbahayanya seperti Winnie-the-Pooh. Mungkin karena dia memang mirip Winnie-the-Pooh. Atau, mungkin Pooh yang mirip Beruang. Beruang menyedia­kan layanan pembuangan mayat, walaupun secara ilegal. Hewan peliharaan, tentu saja, legal. Dia punya lisensi untuk mengkremasi anjing dan kucing. Mayat manusia dikremasi secara diam-diam. Dia tampak sangat menggemaskan untuk seseorang yang mencari nafkah de­ngan membakar mayat.

“Aku bersumpah, kau tidak akan memercayai hal-hal yang pernah kusaksikan. Belum lama ini, ada pasangan yang datang membawa iguana. Hewan itu punya nama semacam Andrew atau André. Nama macam apa itu untuk iguana? Kenapa bukan sesuatu yang lebih sederhana, sesuatu yang bergulir dari lidah, seperti Iggy atau Spiny? Bagaimanapun, orang mengarang nama-nama konyol. Jadi, iguana tolol ini mati, dan pasangan muda ini terus berpelukan dan menangis dan berkata: ‘Kami benar-benar minta maaf, Andrew, seharusnya kami memberimu makan tepat waktu, semua ini kesalahan kami, Andrew.’ Aku mati malu men­dengar mereka.”

Beruang sedang bersemangat. Reseng membuka pintu gu­dang, setengah mendengarkan ocehannya.

“Gerobak yang mana?” tanyanya.

Beruang melongok ke dalam dan menunjuk sebuah gerobak sorong.

“Cukup besarkah?” tanya Reseng.

Beruang mengira-ngira dan mengangguk.

“Kau kan tidak mengangkut sapi. Kau parkir di mana?”

“Di balik gedung.”

“Kenapa begitu jauh? Menanjak pula.”

Beruang mendorong gerobak itu. Dia punya langkah ringan optimis­tis yang berlawanan dengan kegemarannya menggerutu. Reseng merasa iri. Beruang tidak punya sifat serakah sedikit pun. Dia bukan orang yang bekerja habis-habisan demi mendatangkan lebih banyak bisnis. Dia bertahan dengan apa yang diperolehnya dari krema­torium hewan kecil, bahkan membesarkan dua anak perem­puan sendirian. Kini, putri sulungnya sudah kuliah. “Aku bertahan dengan hidangan ringan,” katanya selalu. “Untuk mencukupkan biaya makanku. Aku hanya perlu bertahan selama beberapa tahun lagi, hingga kedua putriku mandiri.” Beruang gampang ketakutan. Dia tak pernah menerima apa pun yang mencurigakan, walaupun membutuhkan uangnya. Maka, dalam bisnis dengan masa hidup rata-rata yang menggelikan singkatnya itu, Beruang telah ber­tahan untuk waktu yang sangat, sangat lama.

Reseng membuka bagasi mobil. Beruang memiringkan ke­pala kebingungan melihat dua kantong mayat di dalamnya.

“Dua? Rakun Tua bilang hanya ada satu paket.”

“Satu manusia, satu anjing,” jawab Reseng.

“Itukah anjingnya?” tanya Beruang, sambil menunjuk kan­tong mayat yang lebih kecil.

“Itu manusia. Yang besar anjingnya.”

“Anjing macam apa yang lebih besar daripada manusia?”

Beruang membuka kantong mayat itu dengan tidak percaya. Di dalamnya ada Santa. Lidah panjangnya menjulur keluar dari ritsleting yang terbuka.

“Astaga! Sekarang aku sudah melihat segalanya. Kenapa anjing itu kau bunuh? Apa yang dilakukannya, menggigit kema­luanmu?”

“Kupikir anjing itu terlalu tua untuk membiasakan diri de­ngan majikan baru.”

“Yah, lihatlah dirimu, mengacaukan instruksi yang diberikan kepadamu,” kata Beruang sambil tertawa kecil. “Perhatikan lang­kahmu. Jangan sampai tersandung gara-gara mengkhawatirkan anjing.”

Reseng menutup ritsleting kantong mayat itu, lalu terdiam. Mengapa pula dia membunuh anjing itu? Ketika dia datang kembali untuk mengambil mayat lelaki tua itu, anjing itu berdiri mengamati diam-diam. Dengan memunggungi matahari, Reseng menunduk memandangi cahaya matahari yang menyebar di mata cokelat buram anjing itu. Hewan itu tidak menggeram, mungkin bertanya-tanya mengapa majikannya tidak bergerak. Reseng menatap anjing yang kini sudah terlalu tua untuk mempelajari trik baru itu. Tak ada seorang pun di hutan indah dan hening ini yang bisa memberimu makan, pikirnya. Dan, kau terlalu tua untuk berlari ke dalam hutan guna mencari makanan. Kau mengerti apa yang kukatakan? Matahari pengujung musim gugur memancarkan cahaya lemahnya ke puncak kepala anjing itu, yang mendongak, memandang dengan mata cokelat buram ketika Reseng membelai lehernya. Lalu, Reseng mengangkat senapan dan menembak kepala anjing itu.

“Cukup berat untuk ukuran orang tua,” ujar Beruang ketika dia meraih salah satu ujung kantong mayat.

“Sudah kubilang, yang ini anjingnya,” gerutu Reseng. “Yang itu lelaki tuanya.”

Beruang memandang kedua kantong mayat itu bergantian de­ngan kebingungan.

“Ah, anjing keparat ini berat.”

Setelah mengangkut kedua mayat ke atas gerobak, Beruang memandang ke sekeliling. Krematorium hewan itu sepi pada pukul dua pagi. Tentu saja. Tak seorang pun datang untuk meng­kremasi hewan peliharaan pada jam seperti itu.

Beruang membuka katup gas dan menyalakan tungku. Api ber­ko­bar, mengelupas kantong vinil hitam dari kedua mayat itu, seperti ular yang melungsung. Lelaki tua itu terbaring telentang, dengan kepala anjingnya berada di atas perut. Ketika tungku dipenuhi udara panas, saraf mereka meregang dan menciut, dan tubuh lelaki tua itu mulai menggeliat. Itu pemandangan menye­dihkan, seakan-akan dia masih menggayuti dunia orang hidup. Masih adakah sesuatu yang digayuti olehnya? Itu tak penting, semuanya sudah berakhir. Dua jam lagi dia hanya debu. Kau tidak bisa menggayuti sesuatu pun jika kau berwujud debu.

Reseng menatap tubuh mengerut itu. Pada masa kediktator­an militer Korea Selatan, lelaki tua itu seorang jenderal. Dialah sosok di balik takhta, yang menulis daftar sasaran pembunuhan dan menggunakan uang pajak rakyat untuk menyewa pembunuh bayaran dari perpustakaan Rakun Tua. Kini, namanya sendiri muncul dalam daftar itu. Begitulah cara kerjanya. Cepat atau lambat, masa menyenangkan akan berakhir dan, untuk bertahan hidup, mereka yang digulingkan harus meneliti apa yang telah mereka lakukan dan memperbaiki kesalahan. Seperti biasa, wak­tu punya cara untuk berjalan melingkar dan menggigit bokong­mu.

Pernah, ketika Reseng berusia dua belas, lelaki tua itu datang ke perpustakaan dengan berseragam. Itu seragam yang bagus. Lelaki tua itu langsung menghampiri Reseng.

“Sedang membaca apa, Nak?”

“Sophocles.”

“Ceritanya bagus?”

“Aku tidak punya ayah, jadi aku tidak terlalu paham.”

“Di mana ayahmu?”

“Di tempat sampah di depan biara perempuan.”

Jenderal itu menyeringai, dua bintang di topinya berkilau, lalu dia mengacak rambut Reseng. Itu dua puluh tahun silam. Bocah kecil itu ingat, tetapi lelaki tua itu mungkin sudah lupa.

Reseng mengeluarkan sebatang rokok. Beruang menyulut ro­kok itu untuk Reseng, mengambil sebatang untuk dirinya sendiri, dan mulai menyiulkan nyanyian burung lewat kepulan asap. Dalam perjalanan keluar, Beruang kembali mengecek sekeliling, seolah meng­harapkan kemunculan mendadak seseorang. Reseng menyak­sikan mayat lelaki tua itu dan anjingnya melebur menjadi satu dalam udara panas.

Sejumlah besar idiot secara keliru mengira bahwa mereka ha­nya bisa melakukan kejahatan yang sempurna jika mereka sen­dirilah yang melenyapkan buktinya. Mereka membawa seka­leng bensin ke ladang kosong dan berupaya membakar sendiri mayat­nya. Namun, kremasi tak pernah semudah yang dipikirkan orang. Setelah melakukan kekacauan ketika berupaya membakar mayat itu, akhirnya mereka mendapat segumpal besar daging yang berasap dan berbau busuk. Mereka sendirilah yang mempersulit situasi. Ilmu­wan forensik yang ahli bisa memandang sekilas bar­beku-yang-keliru itu dan mengetahui usia, jenis kelamin, tinggi, wajah, bentuk, dan susunan gigi si mayat. Mayat harusnya dibakar selama setidaknya dua jam, dengan suhu jauh di atas seribu tiga ratus derajat dalam oven tertutup, agar terbakar sepenuhnya. Selain krematorium, tungku pembakaran tembikar atau arang, atau tanur tinggi di pabrik peleburan, panas semacam itu sangat sulit untuk dihasilkan. Itulah sebabnya bisnis Krematorium Hewan milik Beruang bertahan. Langkah penting berikutnya adalah meng­han­curkan tulang-tulang. Ilmuwan forensik bisa menentukan usia, jenis ke­lamin, tinggi, dan penyebab kematian berdasarkan tiga fragmen tulang panggul saja. Jadi, tulang atau gigi yang tersisa harus dihan­curkan seluruhnya. Bahkan, tulang-tulang terhalus pun masih me­ngandung petunjuk, dan gigi mempertahankan bentuk asli mereka di bawah kondisi ekstrem sekalipun, termasuk api. Jadi, gigi harus dilumatkan dengan palu dan abu tulang disebarkan dengan aman. Inilah cara satu-satunya untuk melenyapkan korbanmu.

Reseng mengeluarkan sebatang rokok lagi dan menengok arloji. Pukul dua lewat sepuluh. Begitu matahari terbit, dia akan menyelesaikan pekerjaannya dan pulang. Mendadak, kelelahan me­landa leher dan bahunya. Semalam di jalanan, semalam di rumah lelaki tua itu, dan kini semalam di Krematorium Hewan milik Beruang. Sudah tiga malam dia meninggalkan apartemennya. Kucing-kucingnya mungkin sudah kehabisan makanan .... Reseng membayangkan apartemen gelapnya, dengan dua kucing Siam yang melolong kelaparan. Meja dan Kap Lampu. Yang cukup gila, kedua kucing itu mulai mengikuti nama mereka. Meja gemar mem­bungkuk menjadi bentuk kotak, seperti seiris roti, dan menatap secarik kertas di lantai tanpa bergerak, sedangkan Kap Lampu ge­mar memanjangkan leher dan menatap ke luar jendela.

Beruang membawa keluar sekeranjang kentang rebus dan mena­warkan sebutir kepada Reseng. Sial—kentang lagi. Keenam kentang yang diberikan lelaki tua itu kepadanya tadi pagi masih berada di dalam mobil. Reseng lapar, tetapi menggeleng. “Kenapa kau ti­dak makan? Tidak tahukah kau betapa lezatnya kentang Provinsi Gangwon?” Beruang tampak kebingungan: mengapa seseorang menolak sesuatu yang selezat itu? Dia menyorongkan sebutir kentang ke dalam mulut dan menenggak setengah botol soju yang dibawanya keluar juga.

“Belum lama ini aku mengkremasi Mr. Kim,” kata Beruang, sambil mengusap mulut dengan punggung tangan.

“Mr. Kim dari pasar daging?”

“Ya.”

“Siapa yang membunuhnya?”

“Kurasa Duho menyewa beberapa pemuda Vietnam. Mereka­lah yang mendapat semua pekerjaan belakangan ini. Mereka bekerja untuk uang receh. Ke mana pun kau memandang, yang ada hanya orang Vietnam. Yah, tentu saja ada beberapa orang Cina, beberapa pembelot dari pasukan khusus Korea Utara, dan bahkan beberapa orang Filipina juga. Aku bersumpah ada orang-orang yang bersedia membunuh seseorang untuk lima ratus ribu won saja. Sekarang, pembunuhan bisa dibilang tanpa biaya. Itulah sebabnya mereka semua saling cakar. Begitu namanya muncul dalam daftar, Mr. Kim tidak punya peluang.”

Reseng mengembuskan kepulan asap panjang. Beruang tidak punya alasan untuk mengeluhkan anjloknya biaya pembunuhan. Semakin banyak mayat, semakin untunglah dia, tak peduli siapa yang melakukan pembunuhan. Dia hanya menghibur Reseng. Beruang menggigit kentang dan menenggak soju lagi. Lalu, dia se­akan teringat sesuatu.

“Omong-omong, terjadi hal yang paling aneh. Setelah selesai mengkremasi Mr. Kim, aku menemukan benda-benda mengilap seperti mutiara dalam abunya. Aku memungut benda-benda itu agar bisa melihat lebih saksama dan, tahukah kau? Śarīra1. Tiga belas jumlahnya, masing-masing tidak lebih besar daripada se­butir kacang. Gila!”

“Kau bicara apa?” tanya Reseng terkejut. “Seharusnya benda-benda itu hanya muncul dari abu para master Buddha. Bagaimana mungkin mereka muncul dari abu Mr. Kim?”

“Itu benar, aku bersumpah. Mau kutunjukkan?”

“Lupakan saja.” Reseng mengibaskan tangan dengan jengkel.

“Sungguh, itu asli. Awalnya, aku juga tidak percaya. Mr. Kim—semua orang memanggilnya apa? ‘Si Cabul’? Karena dia meneng­gak semua tonik kesehatan dan obat untuk meningkatkan performa, lalu mencabuli segala hal yang bergerak? Kau tahu, itulah yang membunuhnya. Tapi, bagaimana mungkin sesuatu yang berharga seperti śarīra muncul dari seseorang sebusuk dia? Tiga belas pula! Itu seharusnya berarti kau telah mencapai pencerahan, tapi dari apa yang kulihat, itu sama sekali tidak berhubungan dengan bermeditasi sepanjang waktu, atau menghindari seks, atau mempraktikkan mo­derasi. Itu hanya keberuntungan semata.”

“Kau yakin itu asli?” Reseng masih belum yakin.

“Itu asli!” Beruang menekankan kata-katanya dengan meng­angkat bahu secara berlebihan. “Kutunjukkan kepada Pendeta Hyecho, kepala biarawan di Kuil Weoljeong. Dia menatap benda-benda itu untuk waktu yang sangat lama, dengan kedua tangan disatukan di belakang punggung seperti ini, lalu perlahan-lahan dia menjilat bibir dan memintaku agar menjual semua itu kepadanya.”

“Untuk apa Pendeta Hyecho menginginkan śarīra milik Mr. Kim?”

“Kau tahu, dia selalu mengejar wanita, berjudi, dan menenggak banyak alkohol. Tapi, biarawan mesum itu ingin menyuap. Diam-diam, dia khawatir apa kata orang kalau mereka tidak menemukan śarīra di antara abunya setelah dia dikremasi. Itulah sebabnya dia mengincar śarīra milik Mr. Kim. Kalau dia menelan benda-benda itu persis sebelum mati, maka dijamin mereka akan menemukan setidaknya tiga belas, bukan?”

Reseng tergelak. Beruang menyorongkan sebutir kentang lagi ke dalam mulut. Dia menenggak soju, lalu menawarkan sebutir kentang kepada Reseng, seakan merasa malu menyantap semua­nya sendirian. Reseng memandang kentang di tangan Beruang dan mendadak membayangkan cara lelaki tua itu bicara kepada anjing­nya, kepada daging yang terpanggang di atas api, bahkan kepada kentang-kentang yang terkubur di bawah abu. Sebaiknya kalian men­jadi lezat untuk tamu penting kita. Suara rendah yang menghipnosis itu. Lalu, terpikir olehnya bahwa lelaki tua itu pasti kesepian. Sama kesepiannya seperti sebatang pohon pada musim dingin, dengan semua daun berguguran, tidak menyisakan apa pun kecuali dahan-dahan telanjang yang berkelok-kelok dilatari langit bak pembuluh darah. Beruang masih menjulurkan kentang. Mendadak, Reseng kela­paran. Dia menerima kentang itu dan menggigitnya. Sembari me­ngunyah, dia menatap api dalam tungku dengan tenang. Di antara api dan asap, dia tidak bisa lagi membedakan mana lelaki tua itu dan mana anjingnya.

“Enak, huh?” tanya Beruang.

“Enak,” jawab Reseng.

“Bukannya mau mengubah pembicaraan, tapi kenapa biaya sekolah begitu mahal sekarang? Putri tertuaku baru saja mulai kuliah. Aku harus membakar setidaknya lima mayat lagi untuk membayar uang sekolah dan uang sewa tempat tinggalnya. Tapi, di mana aku bisa mencari lima mayat dalam iklim seperti ini? Aku tidak tahu apakah hanya perekonomian yang sedang buruk atau apakah dunia telah menjadi tempat yang lebih bermoral, tapi jelas ini tidak seperti di masa lalu. Sekarang, bagaimana aku bisa bertahan hidup?”

Beruang mengernyit, seakan tidak tahan dengan pikiran menge­nai dunia yang bermoral.

“Mungkin kau harus memikirkan putri-putrimu yang cantik itu dan bertobat,” ujar Reseng. “Hanya mengkremasi kucing dan anjing saja. Kau tahulah, lebih bermoral.”

“Kau bergurau? Pertama-tama, kucing dan anjing harus jauh lebih menguntungkan. Untuk mengkremasi hewan, aku menagih berdasarkan kilo, padahal sekarang semua orang menyukai anjing mungil yang mirip tikus itu. Jangan memancingku. Setelah aku membayar gas, listrik, pajak, dan ini itu dan segala hal lain, apa yang tersisa? Kalau saja orang mulai memelihara jerapah atau gajah, barulah mungkin Beruang menjadi kaya.”

Beruang mengguncang botol soju dan mengosongkan isi­nya ke dalam mulut. Dia menggeliat. Dia tampak lelah. “Jadi, haruskah aku menjual mereka?”

“Menjual apa?”

“Ayolah, sudah kuceritakan kepadamu! Śarīra milik Mr. Kim.”

“Sebaiknya begitu,” jawab Reseng jengkel. “Apa gunanya memiliki benda-benda itu?”

“Orang yang disebut biarawan itu menawariku tiga ratus ribu won, tapi aku merasa seperti sedang ditipu. Walaupun muncul dari tubuh Mr. Kim yang seperti tempat sampah itu, mereka tetap saja śarīra yang bonafide.”

“Dengarkan dirimu,” kata Reseng. “Mengoceh seakan-akan śarīra itu benar-benar keramat.”

“Haruskah aku memintanya untuk menaikkan harga hingga lima ratus ribu?”

Reseng tidak menjawab. Dia lelah, dan tidak berminat lagi untuk bergurau. Dia menatap perapian tanpa berkata-kata hingga Beruang memahami isyaratnya. Kembali Beruang mengguncang botol soju kosongnya, lalu pergi mengambil sebotol lagi.

Asap putih membubung dari cerobong. Setiap kali mengantar mayat untuk dikremasi, Reseng mendapat gagasan konyol bahwa jiwa orang-orang yang dulunya sibuk itu keluar lewat cerobong. Banyak sekali pembunuh yang dikremasi di sana. Itu tempat per­is­ti­rahatan akhir bagi para pembunuh bayaran yang dicampakkan. Pembunuh bayaran yang melakukan kekacauan, pembunuh bayar­an yang dilacak polisi, pembunuh bayaran yang berakhir dalam daftar kematian untuk alasan yang tak seorang pun tahu, dan pem­bunuh yang telah dipensiunkan. Mereka semua dikremasi dalam tungku itu.

Bagi para perencana, tentara bayaran dan pembunuh seperti baterai sekali pakai. Lagi pula, apa gunanya pembunuh tua bagi mereka? Pembunuh tua tampak seperti bisul menjengkelkan yang dipenuhi informasi dan bukti memberatkan. Semakin kau memikirkannya, semakin itu masuk akal. Mengapa pula orang mempertahankan baterai bekas?

Sahabat Reseng, Chu, dikremasi dalam tungku yang sama. Chu lebih tua delapan tahun darinya, tetapi mereka berdua sangat akrab. Dengan kematian Chu, Reseng merasakan hidupnya mulai berubah. Hal-hal yang familier mendadak menjadi asing. Keganjilan tertentu muncul antara dirinya dengan mejanya, vas bunganya, mobilnya, SIM palsunya. Pengaturan waktu kesemuanya itu sangat ganjil. Dia pernah mencari tahu mengenai lelaki di SIM palsunya. Ayah setia dari tiga orang anak, pekerja keras, dan tukang las berbakat, menurut semua orang yang mengenalnya. Lelaki itu telah hilang selama delapan tahun. Mungkin dia berakhir dalam daftar sasaran. Mayatnya mungkin terkubur di hutan atau tersegel dalam sebuah tong di dasar laut. Atau, mungkin dia bahkan dikremasi di sini, di tungku Beruang. Sudah delapan tahun, tetapi keluarganya masih menanti kepulangannya. Setiap kali menyetir, Reseng bergurau sendiri: Mobil ini dikemudikan oleh orang mati. Orang mati, zombi—dia merasa seperti orang asing dalam kehidupannya sendiri.

Dua tahun telah berlalu sejak kematian Chu. Dia pembunuh seperti Reseng. Namun, tidak seperti Reseng, Chu bukan anggota kelompok tertentu; dia berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain, menerima pekerjaan-pekerjaan singkat. Mafia punya pepatah: musuh paling berbahaya adalah pazzo, orang gila. Orang yang menganggap dirinya tidak punya beban, yang tidak menginginkan sesuatu pun dari orang lain dan tidak menuntut sesuatu pun dari dirinya sendiri, yang bertindak dengan cara-cara yang bertentangan dengan akal sehat, yang diam-diam mengikuti prinsip ganjil dan keyakinan kuatnya sendiri yang sulit untuk dipahami dan diper­cayai. Chu adalah jenis orang seperti itu.

Sebaliknya, mudah saja berurusan dengan musuh yang terpo­jok dan mati-matian tidak ingin kehilangan apa yang mereka miliki. Merekalah mangsa favorit para perencana. Sudah jelas ke mana mereka menuju. Mereka berakhir dengan kematian karena menolak mengakui, hingga akhir hayat, bahwa mereka tidak bisa mempertahankan apa pun yang hendak mereka perta­han­kan. Namun, itu bukan Chu. Chu bertekad membuktikan bahwa dunia garang dengan kekuatan tak terbatas ini tidak bisa menghenti­kannya, asalkan dia tidak mendambakan sesuatu pun.

Chu menjengkelkan, tetapi pekerjaannya begitu bersih dan rapi hingga Rakun Tua biasanya memberinya tugas-tugas sulit. Dia ingin menjadikan Chu sebagai anggota resmi perpustakaan dan memperingatkannya, “Bahkan singa pun menjadi sasaran anjing liar ketika sudah tidak berjaya.” Chu selalu mencemooh dan berkata, “Aku tidak berencana hidup cukup lama untuk menjadi orang cacat sepertimu.”

Walaupun tidak menjadi anggota kelompok mana pun, Chu bertahan selama dua puluh tahun sebagai pembunuh. Dia mela­kukan segala macam pekerjaan kotor, menerima pekerjaan dari pemerintah, pekerjaan dari perusahaan, pekerjaan dari kontraktor pasar daging kelas tiga, tanpa mengajukan pertanyaan. Dua puluh tahun—itu jangka waktu yang mengesankan bagi seorang pem­bunuh.

Namun, suatu hari, empat tahun silam, jam tubuh Chu ber­henti berdetak. Tak seorang pun tahu mengapa. Bahkan, Chu pun mengaku kepada Reseng bahwa dia tidak mengerti mengapa itu terjadi, mengapa jam tubuhnya mendadak berhenti berdetak setelah berfungsi dengan begitu setia selama dua puluh tahun. Penyebabnya adalah karena Chu memutuskan untuk membiarkan salah satu sasarannya lolos. Bukan seseorang yang istimewa, hanya salah seorang gadis pendamping bertarif tinggi berusia dua puluh satu. Tak lama setelah itu, muncul berita mengenai anggota majelis nasional tertentu yang melompat bunuh diri. Lelaki itu dikejar tuduhan penyuapan, korupsi, dan skandal seks yang melibatkan gadis SMP. Mustahil bagi orang menjijikkan seperti dia, yang me­nikmati seks dengan gadis SMP, untuk bunuh diri demi memper­tahankan kehormatan yang sudah lama dirusaknya sendiri dengan sangat baik. Setiap perencana yang melihat berita itu pasti langsung teringat Chu. Dan, Chu tidak berhenti di sana: dia juga memburu perencana yang mengeluarkan kontrak pembunuhan si gadis pen­damping. Namun, dia gagal melacak perencana itu. Bahkan, Chu yang agung saja gagal melakukannya. Saat itu, Chu sudah menjadi buron. Harus dikatakan bahwa, alih-alih merencanakan pembunuhan, perencana menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari tempat persembunyian aman bagi diri mereka sendiri dan memastikan kepergian mereka dengan cepat.

Dunia perencana adalah sebuah kartel besar. Mereka harus membunuh Chu, tetapi bukan karena sesuatu yang begitu remeh seperti harga diri. Tidak ada yang namanya harga diri dalam bisnis ini. Mereka harus membunuhnya agar tidak kehilangan pelanggan. Seperti masyarakat mana pun, dunia mereka punya peraturan dan tata tertib ketatnya sendiri. Peraturan dan tata tertib itu membentuk fondasi untuk membentuk pasar, lalu pe­langgan akan mengalir masuk. Jika tata tertib gagal, pasar gagal. Dan, jika pasar gagal, selamat tinggal pelanggan. Seharusnya, Chu tahu itu. Begitu memutuskan untuk menyelamatkan pe­rem­puan itu, dia menandatangani surat kematiannya sendiri. Chu mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan seorang pelacur sialan.

Perlu waktu kurang dari dua bulan bagi para pelacak pasar daging untuk menemukan perempuan yang dibiarkan hidup oleh Chu itu. Dia bersembunyi di sebuah kota pelabuhan kecil. Gadis panggilan kelas atas yang hanya pernah menghibur klien-klien VIP di hotel bintang empat itu kini menjual diri kepada para pelaut di losmen murahan apak. Seandainya bersembunyi diam-diam di dalam pabrik alih-alih pergi ke distrik lampu merah, dia mungkin bisa menghindari para pelacak sedikit lebih lama. Namun, dia malah berakhir di jalanan kotor dan bau. Mungkin dia kehabisan uang. Karena harus cepat-cepat meninggalkan Seoul, dia pasti tidak membawa pakaian ganti dan tidak punya tempat untuk tidur. Lagi pula, saat itu musim dingin. Rasa lapar dan dingin punya cara untuk mematirasakan orang dari ketakutan abstrak. Dia mungkin berpikir dirinya akan mati juga, jadi apa bedanya? Sulit dibilang apakah dia tolol karena berpikiran seperti itu. Mustahil dia senang melacurkan diri di sebuah kota pelabuhan di ping­gir peradaban, melayani nafsu para pelaut mabuk hanya untuk mendapatkan uang receh. Namun, dia pasti merasa tidak punya pilihan lain. Kau hanya perlu melihat tangannya untuk tahu mengapa. Dia punya tangan yang ramping dan indah. Tangan yang tak pernah sekali pun membayangkan kehidupan yang dihabiskan di depan ban berjalan, mengencangkan baut selama sepuluh jam per hari, atau memungut rumput laut atau tiram dari laut pada pertengahan musim dingin. Seandainya lahir dari keluarga baik-baik, tangan itu pasti menjadi milik seorang pianis. Namun, kondisi keluarganya tidak begitu baik, jadi dia sudah melacurkan diri sejak berusia lima belas.

Dia pasti tahu bahwa kembali ke distrik lampu merah berarti dia tidak akan bertahan lama. Namun, tetap saja dia kembali. Pada akhirnya, tak seorang pun dari kita bisa meninggalkan tempat yang paling kita kenal, tidak peduli betapa kotor dan menjijikkannya tempat itu. Tidak punya uang dan sarana lain untuk bertahan hidup adalah sebagian alasannya, tetapi itu tidak pernah menjadi seluruh alasan. Kita kembali ke tempat asal kita yang kotor karena itulah kotoran yang kita kenal. Lebih mudah menoleransi kotoran itu daripada menghadapi keta­kut­an dilempar ke dunia yang lebih luas dan rasa kesepian yang se­dalam dan seluas ketakutan itu.

Rakun Tua memanggil Reseng begitu arsip perencana itu tiba. Reseng duduk di meja di ruang kerjanya, membalik-balik dokumen itu. Dia berasumsi dokumennya berisikan foto perempuan itu, alamatnya, hobinya, bobot tubuhnya, gerak-geriknya, dan semua orang yang berhubungan atau terlibat dengannya dalam cara apa pun—dengan kata lain, semua informasi yang diperlukan untuk membunuhnya. Dokumen itu juga akan menyatakan cara kematian yang ditetapkan dan metode pembuangan mayatnya.

“Aku tidak tahu mengapa mereka memboroskan uang untuk ini. Katanya perempuan itu hanya berbobot tiga puluh delapan kilo. Patahkan lehernya. Ini akan semudah menginjak katak.”

Rakun Tua menyorongkan arsip itu kepada Reseng tanpa memandangnya. Reseng mengangkat sebelah alis. Apakah meng­injak katak semudah itu? Rakun Tua punya kebiasaan bergurau si­nis untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya. Namun, Reseng tidak yakin apakah yang mengusik Rakun Tua adalah keharusan membunuh seorang gadis berusia dua puluh satu—dan yang juga berbobot tiga puluh delapan kilo saja—ataukah harga dirinya terluka karena harus menerima kontrak berbayaran rendah, walaupun dia tahu sekali perpustakaan memerlukan bisnis itu.

Reseng membalik-balik arsip. Perempuan di dalam foto tampak seperti bintang pop Jepang. Katanya dia berusia dua puluh satu, tetapi dia tidak tampak sehari pun lebih tua daripada lima belas tahun. Reseng belum pernah membunuh perempuan. Bukannya dia punya peraturan khusus tertentu yang menentang pembunuhan perempuan dan anak-anak, tetapi gilirannya belum tiba saja. Reseng tidak punya peraturan. Tidak punya peraturan adalah satu-satunya peraturan Reseng.

“Harus kuapakan mayatnya?” tanyanya.

“Bawa ke tempat Beruang, tentu saja,” jawab Rakun Tua dengan jengkel. “Apa lagi yang hendak kau lakukan? Mengikatnya di perempatan Gwanghwamun?”

“Tempat Beruang jauh sekali dari tempat perempuan itu berada. Bagaimana kalau aku dihentikan polisi ketika dia masih berada dalam bagasi?”

“Jadi, berhentilah menenggak alkohol dan menyetirlah se­perti anak kucing. Bukan berarti polisi akan memaksamu ber­henti dan menuduhmu menembak mereka. Mereka punya hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan.”

Suara Rakun Tua sarat sarkasme. Itu juga caranya menutupi kemarahan. Reseng hanya berdiri di sana, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Rakun Tua mengibaskan pergelangan tangan untuk menyuruhnya pergi, lalu bangkit berdiri, mengambil buku edisi pertama Brockhaus Enzyklopädie dari rak, meletakkannya di atas sandaran buku, dan mulai membaca dengan bersuara, berbi­sik menggumamkan kata-kata, sama sekali tidak mengacuhkan Reseng yang masih berada di hadapannya. Belakangan ini, dia membaca ulang buku itu. Ketika sudah selesai, dia akan membaca ulang edisi Inggris Encylopædia Britannica. Bahasa Jerman Rakun Tua yang canggung dan autodidak memenuhi ruangan. Ketika membuka pintu dan melangkah keluar, Reseng bergumam, “Ti­dak ada orang Jerman asli yang akan memahami sepatah kata pun.”

Rakun Tua sudah lama berhenti mengisi rak-rak pribadinya dengan segala jenis yang bukan kamus atau ensiklopedia. Sejauh ingatan Reseng, Rakun Tua tidak mau membaca buku apa pun selain itu selama sepuluh tahun terakhir ini. “Kamus itu bagus,” jelasnya. “Tidak ada sentimentalitas, tidak ada gerutuan, tidak ada ceramah, dan, yang terutama, tidak ada omong kosong ang­kuh penulis yang berupaya mengguruimu.”

Kota pelabuhan tempat perempuan itu bersembunyi tampak se­bobrok ayam penyakitan. Kota yang dulunya ramai dan memasok tentara kekaisaran Jepang dengan amunisi perang itu telah meme­rosot sejak Kemerdekaan. Kini, tampaknya tidak ada yang bisa me­mulihkannya. Reseng turun dari bus ekspres dan berjalan ke la­pangan parkir stasiun. Di sana, dia mencari pelat nomor berakhiran 2847. Di ujung lapangan, terdapat mobil SUV Musso. Reseng meng­ambil kunci dari saku, membuka pintu mobil, lalu masuk. Begitu menyalakan mesin, lampu indikator bahan bakar menyala.

“Keparat itu membiarkan tangki bensinnya kosong.”

Reseng bergumam jengkel kepada perencana tolol itu, di mana pun dan siapa pun dia.

Dia parkir di tempat parkir bawah tanah motel. Perencana itu telah menginstruksikannya untuk menggunakan slot parkir ketiga dari tangga darurat, tetapi sebuah sedan mewah besar sudah terparkir di sana. Reseng menengok arloji: pukul 01.20 siang. Pemilik sedan itu entah tiba semalam dan belum pergi atau sedang menikmati makan siang santai bersama gundiknya. Reseng tidak punya pilihan kecuali parkir di samping dinding. Dia keluar dari mobil dan mengecek dinding-dinding dan langit-langit. Motel itu terlalu tua dan kumuh untuk punya kamera pengawas. Reseng membuka bagasi, lalu mengeluarkan ransel besar dan kantong mayat yang telah ditinggalkan di sana untuk­nya.

Seperti yang dijelaskan dalam arsip, meja resepsionis tidak dijaga. Jam di dinding menunjukkan pukul 01.28. Reseng mengambil kunci untuk Kamar 303 dari kotaknya dan menaiki tangga. Sebelum membuka pintu, dia mengenakan sepasang sa­rung tangan kulit hitam.

Kamar motel itu kumuh. Di ranjang, terdapat selimut kain perca kotor yang langsung diketahuinya tidak pernah dicuci selama bertahun-tahun, dan di rak terdapat setengah gulungan tisu toilet, asbak besi, dan kotak korek api kuno segi delapan. Kertas pelapis dinding begitu pudar hingga dia tidak tahu seperti apa warnanya dulu, dan AC berbentuk radio tabung Jerman yang setidaknya telah berusia tiga puluh tahun tampak menjorok keluar dari jendela; seakan-akan sesuatu yang mengerikan akan memancar keluar dari sana jika dinyalakan. Seutas rambut kemaluan, entah milik seorang lelaki atau perempuan, tampak melekat pada sebuah kondom be­kas yang berkerak mani, yang terjepit di antara kasur dan rangka ranjang. Kilau lampu neon di atas kepala diredupkan oleh lapisan tebal debu dan serangga-serangga yang sudah lama mati dan ter­jebak dalam tudung lampunya. Kamar itu tampak seperti adegan dalam film hitam putih 1930-an.

“Sungguh membuat depresi,” gumam Reseng ketika mele­takkan ransel dan tas kerja Samsonite hitam yang dibawanya dari Seoul di pojok dan duduk di pinggir ranjang. Ranjang itu begitu kotor, dia bisa dibilang mendengar sorak-sorai miliaran kuman yang mengira diri mereka baru saja masuk surga. Dia meletakkan rokok di bibir dan mengeluarkan sebatang korek api dari kotak segi delapannya. Mereka masih membuat ini? pikirnya, ketika menggoreskan korek api ke sisi kotak.

Tepat pukul dua, Reseng menghubungi nomor telepon yang ada di arsip.

“Aku di dalam. Kamar 303.”

Lelaki di ujung lain telepon diam saja selama beberapa de­tik yang terasa panjang. Reseng hanya mendengar suara tidak nyaman napas lelaki itu di telepon. Lalu nada sambung. Reseng menatap gagang telepon. “Bangsat,” gumamnya. Dia membuka jendela, memandang gang-gang sempit berliku-liku di belakang stasiun kereta api dan menyalakan sebatang rokok lagi. Distrik lampu merah itu tempat yang sepi pada pukul dua siang.

Perempuan itu baru muncul setelah lebih dari dua jam. Begitu masuk, dia memandang Reseng dengan tak acuh dan berkata halo. Dia berpembawaan angkuh dan tak peduli, tipikal perempuan yang tahu dirinya cantik, dengan wajah kekanak-kanakan, tubuh mungil kencang, jenis penampilan yang pasti membuat lelaki mana pun menoleh, dan ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit dipahami, seakan ada bayang-bayang samar kelam yang menggayutinya, mengingatkan Reseng kepada gambar sehelai daun ginkgo gugur di kalender.

“Lepaskan pakaianmu,” kata perempuan itu.

Perempuan itu sendiri melepas pakaian. Perlu kurang dari lima detik baginya untuk melakukan itu sebelum berdiri di depan Reseng. Reseng ternganga menatapnya. Payudara yang luar biasa besar pada torso sekurus itu mengingatkannya kepada gadis-gadis dalam komik porno Jepang. Perempuan itu punya kulit yang sangat lembut seperti bayi.

Reseng tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar si anggota majelis. Namun, dia tidak bisa membayangkan perempuan itu benar-benar ada hubungannya dengan kematian si anggota maje­lis. Satu-satunya kejahatan perempuan itu hanyalah melayani nafsu para taipan tua yang menyukai gadis di bawah umur. Dan, mustahil dia mendapat banyak uang dari sana. Para lelaki tua itu pasti ber­sedia menghamburkan banyak uang untuk menidurinya, tetapi bagian terbesar akan diterima oleh mun­cikarinya. Perempuan itu hanya bernasib buruk. Namun, pada akhirnya, nasib buruk pun hanya bagian lain dari kehidupan.

“Kau tidak mau melepas pakaian?” tanyanya.

Reseng terus menatap, diam saja.

“Cepatlah. Aku harus ke tempat lain,” kata perempuan itu, jelas merasa jengkel.

Dia tampak seangkuh biasanya, walaupun suaranya merengek. Tanpa melepas pandang darinya, perlahan-lahan Reseng menye­lipkan tangan ke dalam jaket kulitnya. Mana yang harus dia pilih: pistol atau pisau? Mana yang lebih kecil kemungkinannya untuk mengejutkan perempuan itu dan membuatnya berteriak atau ber­ubah panik? Ketika ditanya, sebagian besar orang mengatakan le­bih takut terhadap pisau daripada pistol, dan ini tidak masuk akal bagi Reseng. Namun, rasa takut memang tidak pernah rasional. Reseng memilih pistol. Sebelum dia bisa mengeluarkannya, wajah perempuan itu menegang.

“Boleh kupakai lagi pakaianku?” Suaranya bergetar.

“Kenapa?”

“Aku tidak mau mati telanjang.”

Matanya bertemu dengan mata Reseng. Tidak tampak sedikit pun kemarahan atau kebencian di sana. Mata lelahnya hanya me­ngatakan bahwa dia telah belajar terlalu banyak mengenai dunia dalam waktu terlalu singkat; pupil kosong matanya mengatakan bahwa dia lelah merasa takut dan tidak ingin melihat sesuatu pun lagi.

“Kau tidak akan mati telanjang,” ujar Reseng.

Namun, perempuan itu tidak bergerak.

Reseng melembutkan nada suaranya. “Silakan berpakaian.”

Perempuan itu memungut pakaiannya dari lantai, tangannya gemetar ketika menarik celana dalam mini Mickey Mouse-nya ke atas. Ketika dia sudah berpakaian, Reseng menuntunnya ke ranjang dengan mendorong bahunya, lalu mengunci pintu. Pe­rempuan itu mengambil sebungkus rokok Virginia Slims dari tas dan berupaya menyulut sebatang, tetapi tangannya gemetar begitu hebat hingga dia tidak bisa menyalakan pemantik. Reseng mengeluarkan pemantik Zippo dari saku dan menyulut rokok itu untuknya. Perempuan itu sedikit mengangguk berterima kasih dan mengisap panjang, lalu memalingkan kepala dan meng­embuskan kepulan asap dalam sesuatu yang terdengar se­perti desah teramat panjang. Reseng tahu, perempuan itu sedang ber­upaya untuk tetap tenang, seakan telah berlatih untuk mo­men ini, tetapi bahu tipisnya sudah bergetar.

“Aku benci punya bekas luka di tubuh. Bisakah kau meng­hindari itu?” tanyanya pelan.

Dia tidak memohon belas kasihan. Dia hanya ingin mati tanpa memar atau bekas luka. Mendadak, Reseng bertanya-tanya tentang Chu. Ada apa dengan perempuan ini, yang bisa menghentikan jam tubuh Chu? Apakah tubuh ringkih itu memenuhi Chu dengan perasaan simpati? Apakah perempuan itu teramat sangat meng­ingatkannya kepada seorang gadis dalam video porno Jepang? Apakah perasaan melankolis misterius yang menyelubungi raut wajah itu membangkitkan perasaan bersalah yang keliru pada diri Chu? Tidak. Itu konyol. Chu bukan jenis lelaki yang mengacaukan hidupnya sendiri gara-gara semacam gagasan romantis murahan.

“Kau benci punya bekas luka ....”

Perlahan-lahan, Reseng menggemakan perkataan perempuan itu. Mata perempuan itu berkedip-kedip gugup. Sulit bagi Reseng untuk percaya bahwa perempuan itu lebih takut meninggalkan bekas luka di tubuh daripada mati. Dia menunduk memandang lantai sejenak, lalu mengangkat kepala.

“Kau tidak akan punya bekas luka.” Dia berupaya menjaga suaranya sedatar mungkin.

Ekspresi terkejut muncul di wajah perempuan itu. Dia tampak baru saja memahami untuk apa tas sangat besar yang berada di pojok. Dia pasti membayangkannya karena seluruh tubuhnya mu­lai gemetar.

“Kau akan memasukkanku ke sana?”

Suaranya bergetar gugup, tetapi dia berhasil tidak tergagap.

Reseng mengangguk.

“Ke mana kau akan membawaku? Kau hendak meninggalkan mayatku di tempat sampah atau di hutan?”

Sejenak, Reseng bertanya-tanya apakah dia benar-benar harus memberi tahu perempuan itu. Tidak. Namun, tak peduli dia memberitahunya atau tidak, itu tidak mengubah apa-apa.

“Kau tidak akan dikubur di hutan atau dicampakkan ke tempat pembuangan sampah. Kau akan dikremasi di sebuah fasilitas. Walaupun, sejujurnya, tidak secara legal.”

“Kalau begitu, tak seorang pun akan tahu kalau aku sudah mati. Tidak akan ada pemakaman.”

Kembali Reseng mengangguk. Perempuan itu tegar mengha­dapi segala hal lain, tetapi entah kenapa anggukan itu membuatnya menangis. Mengapa meributkan apa yang akan terjadi pada ma­yatmu ketika kau sedang menghadapi kematian? Perempuan itu tampak lebih mengkhawatirkan seperti apa penampilannya setelah mati daripada kematian itu sendiri. Betapa luar biasa bagi seseorang seusianya untuk mengkhawatirkan hal semacam itu.

Perempuan itu menggertakkan gigi dan mengusap mata dengan telapak tangan. Lalu, dia menatap Reseng dengan ekspresi yang mengatakan dia tidak akan memohon agar dibiarkan hidup atau menyia-nyiakan air mata lagi untuk lelaki sepertinya.

“Bagaimana caramu membunuhku?”

Reseng terkejut. Lima belas tahun sebagai pembunuh, tetapi belum pernah sekali pun dia mendapat pertanyaan itu.

Lihat selengkapnya