Meja kerja Darlene berada di pojok, dia berada dibawah Public Relation department, akhirnya setelah memikirkan dalam-dalam dia memutuskan untuk menerima tawaran om Harsya dengan syarat yang dia ajukan, Darlene hanya akan datang sekali dalam seminggu. Dia tahu pasti akan banyak omongan yang tidak enak dibelakangnya karena dianggap mengandalkan posisi om Harsya tapi memang itulah satu-satunya waktu kosong yang dia punya.
Dia sedang mengirim email dan membuat buletin mingguan perusahaan ketika pesan masuk di handphonenya berbunyi.
“ Bisa ketemu?” Darlene membaca pesan dari Brian, sejak peristiwa di rumah oma Sandra, Brian jadi intense menghubunginya baik di kampus maupun lewat handphone, hanya untuk membicarakan soal neneknya atau mengobrol dan tentu saja sikap Brian membuat kehebohan diantara sahabatnya.
“ Jadi apa hubungan lo dengan kak Brian?” tanya Kay kepo bak jaksa penuntut, disampingnya Kara menyimak dengan serius, ketika Darlene baru sampai di kosnya.
“ Girls...boleh donk gue minum dulu, haus nih...”
“Aliinn... dari tadi kita sudah enggak sabar menunggu lo kayak induk ayam mau bertelur, cepetaaannnn...” Kay sudah menunjukan tabiat aslinya.
Tapi Darlene masih mau menggoda kedua sahabatnya ini,” Mau tahu saja atau mau tahu banget?”
“ Aliiinnnn....” teriak mereka berdua kompak.
Akhirnya dengan tidak berdaya Darlene menceritakan soal Brian, tidak banyak memang hanya sejauh yang dia tahu tapi toh itu sudah membuat kedua sahabatnya takjub.
“ Jadi Brian itu cucunya oma Sandra yang tajir melintir itu? Omg benar-benar calon suami impian...” ujar Kay mulai berkhayal.
“ Heem...kayaknya gue mulai mencium drama romantis nih...Lin gimana kalau tiba-tiba Brian fall in love with u?” tanya Kara ngawur.
“ Benar Lin... kaya Cinderella gitu...Ooo so sweet...sebetulnya gue cemburu tapi kalau buat Alin gue relaa...” tambah Kay makin ngawur.