Suasana pelabuhan cukup ramai, sebuah kapal baru saja berlabuh. Para penumpang kapal satu-satu turun. Senkora bernapas lega karena menghirup kembali oksigen di kota itu. Dia berjalan menuju gerbang pelabuhan dengan rindu yang dibawanya untuk Tane.
Senkora mengeluarkan ponselnya, lalu menyalakannya. Ponselnya seketika bergetar berkali-kali menerima banyak pesan yang masuk. Tapi, mata Senkora langsung tertuju pada satu pesan yang dikirim Tane.
"Kita putus aja ya, Kora."
Senkora terpaku beberapa saat, matanya berkali-kali mengeja tiap kata yang tertera di ponselnya. Dia berusaha mengingat pertemuan terakhirnya dengan Tane kemarin, merenung-renung kalau dirinya melakukan kesalahan.
Saat tersadar dari renungannya, tangannya langsung memencet tombol panggilan di layar ponsel, menghubungi Tane. Namun ponsel Tane tidak bisa dihubungi. Segera dia menulis pesan
"maksudnya?"
"putus?"
"aku ada salah?"
"kau di mana?"
Setelah itu dia menghubungi Iel untuk segera menjemputnya. Senkora tidak kehilangan akal, dia lekas menghubungi Vero, abang Tane.
"Iya, halo Senkora, ada apa?" sapa Vero dari telpon.
"Kau sedang bersama Tane kah, Bang?" tanya Senkora.
"Oh tidak." jawa Vero.
"Kemarin ? " tanya Senkora lagi
"Oh iya, kemarin kita sekeluarga naik gunung, rencananya Tane juga ikut. Tapi nggak tahu kenapa dia gak jadi pergi ." jawab Vero.
"Kenapa ?" tanya Senkora lagi
"Pas dia ditelpon Ibbey, kata Ibbey kayaknya dia lagi nangis dan nggak jadi ikut bareng kita."
"Menangis ?" Senkora mengerutkan dahinya.
"Kita juga nggak tahu alasannya apa dan gak bisa bertanya karena sampai sekarang ponselnya tidak aktif." kata Vero.
"Baiklah, terima kasih, Bang Vero."
Senkora memutuskan panggilannya. Dia lalu mencoba menghubungi ponsel Tane berkali-kali, tapi ponsel Tane tak kunjung aktif. Kepanikan mengerogoti pikiran Senkora, cemas dan khawatir sesuatu telah terjadi pada Tane ketika dia pergi.
Mobil Iel berhenti tepat di depan Senkora.
"Kemana kita, Uncle ?" tanya Iel sambil memperhatikan Senkora.
"Sebentar." kata Senkora.
Senkora terlihat mengotak-atik ponselnya, dia mencari-cari kontak sahabat Tane, Alea, tapi tidak ada.
"Kemarin kau bertemu Tane, Iel ?" tanya Senkora.
"Hmm..iya, Uncle." jawab Iel dengan ragu-ragu. Mendengar jawaban Iel, pandangan Senkora berpaling dari ponselnya. Dia menatap Iel.
"Bertemu dimana?" tanya Senkora
"Eh..hmm..Iel ragu mengatakannya Uncle." jawab Iel.
"Katakan, Iel!" tegas Senkora sambil menatap tajam mata Iel.
"Hmm, kemarin aunty Hanabi meminta Iel dan Rytaka untuk mengantarkannya menemui aunty Tane.." tutur Iel pelan-pelan.
"Hanabi ?" Senkora mengerutkan dahinya.
"Apa yang kalian bicarakan ?" tanya Senkora lagi.
"Iel dan Rytaka tidak tahu, karena aunty Hanabi menyuruh kami menjauh." jawab Iel.
Senkora segera menelpon Hanabi dan menanyakan keberadaannya di mana. Kata Hanabi, dirinya lagi di Banditto.
"Banditto, Iel!" kata Senkora
"Iya...ada apa, Uncle, kenapa nada bicara Uncle terdengar lagi marah?" tanya Iel melirik Senkora.
"Berkendara saja, Iel !"
Sepanjang jalan Senkora menerka-menerka apa yang dikatakan Hanabi pada Tane sehingga Tane ingin mengakhiri hubungan mereka. Napas Senkora memburu, kedua matanya sedikit memerah.
Sesampainya di Banditto, dia lekas turun dari mobil dan memasuki bengkel mencari Hanabi. Dia melihat Hanabi sedang berdiri di depan garasi servis sambil memainkan ponsel. Dia mendekati Hanabi.
"Kesini sebentar, Hanabi!"
Hanabi mengikuti Senkora berjalan ke luar bengkel, mereka berhenti dan berdiri di pinggir parkiran. Senkora menatap tajam pada kakaknya itu, dadanya naik turun mengatur napas.
"Apa yang kau bicarakan dengan Tane?" Senkora memulai pembicaraanya.
Hanabi terdiam sejenak, dia lalu melirik Senkora. Dari ekspresi dan cara menatapnya, Hanabi tahu kalau adiknya itu sedang tersulut emosi.
"Aku memberitahunya soal perasaan dan kekhawatiranku"jawabnya singkat.
"Apa yang kau khawatirkan?" tanya Senkora
"Aku menkhawatirkan hubungan kalian dan aku memberinya peringatan...."
"Peringatan apa, atas dasar apa?" Senkora memotong pembicaraan Hanabi.
"Aku memberitahunya untuk tidak terlalu terbuka tentang hubungan kalian.." jawab Hanabi.
"Karena apa, atas dasar apa kau memperingatinya seperti itu? " Nada suara Senkora terdengar kesal dan marah. Dia menatap tajam pada Hanabi.
"Karena diriku takut jikalau Sense tahu..."
"Takut, takut Sensei tahu ?" Senkora mengerutkan dahinya.
"Sen..kalau sensei tahu..."
"Tunggu, dengar Hanabi, apa Sensei tahu tentang keadaan kita di sini, apa dia peduli?" tutur Senkora
"Kemana sensei sekarang ? Diriku tahu Hanabi, kita ini ninja keluarga. Dan posisiku sekarang ini sama seperti 1 dan 2. Terlepas apa yang akan terjadi padaku dan apa yang akan dilakukam sensei padaku, aku sudah siap mati untuk cinta itu, Hanabi." tutur Senkora.
Hanabi menggelengkan kepalanya.
"Lalu kau akan pergi meninggalkanku seperti 1 dan 2, iyakah" tanya Hanabi menatap mata Senkora.
Senkora tertunduk, tidak sanggup menatap mata kakaknya.
"Itu sudah menjadi resiko bagiku, Hanabi." ucap Senkora.
Tiba-tiba ponsel Senkora bergetar, ada pesan masuk dari Tane. Senkora sedikit menjauh dari Hanabi, dia lalu menelpon Tane.
"Kau dimana?" tanya Senkora langsung saat Tane mengangkat telponnya.
"Aku di apart, Kora." terdengar suara lemas Tane di telpon
"Tunggu kau di sana." kata Senkora
"Iya."
Senkora mematikan telpon dan kembali menghampiri Hanabi. Dia berdiri tepat di depan Hanabi.
"Hanabi..."
Hanabi menatap Senkora dalam-dalam.
"Diriku, Senkora atau Tiga atau Hitori sudah bertekad bulat untuk memperjuangkan apa yang kurasakan saat ini dan diriku akan memperjuangkan Tane bagaimanapun caranya, walaupun harus menentang Sensei, maaf, ne!" Senkora menikam perut Hanabi dengan pisaunya. Hanabi meringis dan meringkuk kesakitan, sementara itu darah terlihat menetes dan membasahi bajunya.
***
Di depan pintu apartemen Tane, Senkora lama terdiam dan berpangku tangan. Perasaan dan pikirannya campur aduk. Dia teringat pembicaraanya dengan Yuka perihal bagaimana kalau Tane mengetahui siapa dirinya. Dia berkali mondar-mandir di sana dengan raut wajah yang sedikit mengerut.
Senkora mengatur napasnya, lalu dia memberanikan diri membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia melihat Tane berdiri di dekat jendela sedang berbicara di telpon. Dia berjalan pelan ke arah Tane.
"Tane!" panggilnya
Tane memutuskan pembicaraanya di telpon, sambil menghela napas berat, dia berbalik dan menatap Senkora.
"Hai..Kora." jawab Tane sambil berusaha tersenyum.
"Apa maksudmu?" tanya Senkora menatap lekat Tane.
Tane terdiam sejenak, dia berusaha mengontrol perasaannya dan mencoba untuk berbicara santai pada Senkora.
"Diriku ada salah kah? " tanya Senkora lagi.
"Hmm..nggak sih, Kora. Aku hanya merasa kayaknya kita belum waktunya pacaran dulu deh." jawab Tane dengan nada santai menyembunyikan rasa sedihnya.
"Apa yang Hanabi bilang, kau bertemu kakakku kemarin kan, apa dia menyuruhmu untuk menjauhiku?"
Senkora melemparkan pertanyaan bertubi-tubi dan itu membuat Tane terpaku dan terdiam sebentar.
"Enggak, enggak, Kora..aku hanya merasa kita terlalu buru-buru..." Tane berusaha menahan tangisnya.
"Buru-buru ? kurasa ada alasan lain. Bukankah kau pernah bilang kalau kita harus saling terbuka?"
Senkora maju selangkah, dia menatap Tane. Mata Tane mulai berkaca-kaca.
"Saling terbuka....lalu kenapa kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Kora?" suara Tane terdengar serak, air mata tampak turun dari salah satu sudut matanya.
"Kau mau tahu semuanya?" tanya Senkora lembut.
"Aku.....aku takut untuk tahu.." Tane menundukkan kepalanya
"Kau mau tahu atau tidak?" tanya Senkora lagi.
"Aku...aku..." Tane gugup. Dia lalu berjalan mondar-mandir sambil sesekali menarik napas panjang. Napasnya sesak.
Senkora mendekati Tane.
"Tane!" kata Senkora sambil memegang kedua lengan Tane. Kepala Tane tertunduk. Napasnya sedikit menggigil.
"Lihat aku!" kata Senkora. Kedua tangannya masih memegang bahu Tane.
Tane mengangkat kepalanya dan memandangi wajah pria yang sangat dia sayangi itu dalam-dalam
"Diriku akan menceritakan semuanya padamu, mungkin setelahnya kau tidak akan menyukaiku lagi, kau akan membenciku atau bahkan menjauhiku."ucap Senkora.
Tane menggelengkan kepalanya.
"Senkora...aku tidak akan pernah tidak menyukaimu dan tidak akan pernah membencimu, itu dua hal yang nggak bakal bisa kulakukan...." kata Tane
"Lalu kenapa kau bilang ingin mengakhiri ?" tanya Senkora lagi.
"Memang kalau kita bareng terus nggak papa?" tanya Tane dengan terisak. Tane tidak bisa lagi membendung air matanya.
Senkora menarik napas panjang. Kedua tangannya semakin erat memegang kedua lengan Tane. Dia menundukkan kepalanya di hadapan Tane, lalu mulai berbicara.
"Baiklah..kau ingat novel yang kuceritakan padamu?" tanya Senkora dengan nada berat.
"Hmm..." jawab Tane
"Novel itu tidak pernah ada, Tane."
"Maksudnya ?"
Tane terkejut. Dia menatap Senkora yang masih menundukkan kepalanya. Tane melihat setetes air mata jatuh ke lantai dari wajah Senkora.
"Kora...." panggil Tane.
Senkora kembali menarik napas panjang, dia berkali-kali menelan ludah. Kepalanya masih menunduk, dia tidak sanggu menatap Tane.
"Semua...semua yang kuceritakan itu adalah kisah diriku, Tane. Diriku, Senkora adalah ninja dalam cerita itu dan kedua ninja yang hilang itu adalah saudaraku...." tutur Senkora dengan suara gemetar. Senkora mengangkat kepalanya dan melihat reaksi Tane.
"Haaaaah.....haaah....?!" Tane shock dan kaget. Dia menatap Senkora yang berlinang air mata
"Kenapa....kenapa....?!" Tane mendorong tubuh Senkora menjauh, lalu berlari keluar.
Tane berlari keluar apartemen dengan histeris. Dia berlari menuju pantai. Dia berteriak kencang dan menangis meraung-raung.
Sementara itu Senkora terus mengejar Tane. Dia sekuat tenaga berlari menyusul Tane. Setelah agak dekat, Senkora menarik tangan Tane, dia langsung menggendong Tane ke punggungnya.
Senkora berdiri di atas pasir pantai, Senkora diam dan membiarkan Tane meluapkan semua tangisnya. Pundaknya pun telah basah terkena air mata Tane. Dia berjalan mendekati pasir yang basah dan merasakan hawa dingin di kedua telapak kakinya.
"Kora..., turunin aku." pinta Tane suara serak.
Senkora menurunkan Tane dari punggungnya. Dia lalu menatap kekasihnya itu dengan rasa bersalah
"Itu nggak bener kan, Kora?" tanya Tane.
Senkora tersenyum.
"Semua cerita yang kau dengar itu adalah kisahku. Diriku sengaja tidak memberitahumu langsung karena aku bisa melihat dari reaksimu tadi, Tane. Maaf ya." kata Senkora.
"Aku....aku....bingung." kata Tane sambil pergi dan menjauh.
Senkora tidak tingal diam, dia kembali mengejar Tane dan menggendong Tane ke punggungnya.
"Turunin aku, Kora." pinta Tane
"Bisa kita bicara ?" tanya Senkora.
"Aku takut..." kata Tane.
Senkora menurunkan Tane dari punggungnya dan menatapnya dalam-dalam.
"Kau takut padaku ? Setelah tahu siapa diriku yang sebenarnya ?"
"Bukan, bukan itu Kora." jawab Tane menggelengkan kepalanya.
"Diriku juga takut dan bingung, kenapa diriku memiliki takdir seperti ini, Tane. Diriku memiliki kutukan yang kurasa sangat tidak adil untukku. "Mata Senkora berkaca-kaca. Dia lalu bersimpuh menghadap pantai.
"Kora....." Tane duduk di samping Senkora.
"Wajar kau takut pada orang sepertiku, Tane. Diriku sudah banyak membunuh orang, wajar jika kau membenciku, tak apa jika kau menjauhiku, Tane." isak Senkora.
"Tidak, Kora...Aku akan selalu jadi Tane yang kamu kenal, Tane yang akan terus cinta dan suka sama Kora..Aku hanya bingung dengan kita ke depannya.."