Kedua tangan Tane terikat kali, kedua lututnya menyentuh tanah. Tiga pria berseragam merah dan memakai topeng menodongkan senjata ke arahnya. Tane melirik sekitar, tempat itu asing baginya. Hanya ada padang rumput dan hamparan laut di hadapannya.
"Baiklah, Tane, kau memilih berkencan sehari dengan teman kami, Agung. Atau Senkora mati?" kata pria pertama.
"Kencan sehari, Sir!" jawab Tane.
"Oke, jangan sampai Senkora tahu hal ini, kalau dia sampai tahu, kekasihmu itu bakal mati!"
***
Kejadian subuh tadi kembali terlintas dalam ingatan Tane. Sudah berjam-jam dirinya merenung di taman komplek, merasa semuanya tidak adil bagi dirinya dan Senkora. Banyak hal yang datang bertubi-tubi menghantam dirinya akhir-akhir ini. Dan semuanya menyangkut nyawa Senkora.
Tane menatap layar ponselnya, mencari kontak Senkora dan menghubunginya. Ponsel prianya itu masih belum aktif. Tampaknya dia masih belum selesai dengan misinya. Kemarin Senkora pamit padanya sehari untuk dinas luar.
"Sesulit inikah, Kora? Ternyata bukan hanya mendapatkan hatimu saja yang sulit, tapi menjalaninya jauh lebih sulit."gumam Tane sambil melihat galeri fotonya bersama Senkora di ponsel. Sementara itu air matanya terus mengalir, entah untuk keberapa kalinya dia menangis.
Senja itu begitu teduh. Tane menatap langit kemerahan sambil terus memikirkan kekasihnya. Semua kenangan tentang Senkora muncul di pikirannya satu persatu seperti babak-babak film. Pertemuan mereka pertama kali, bagaimana dirinya yang tanpa semangat terus meluluhkan hati dingin seorang Senkora, sikap cuek dan acuh tak acuh tapi begitu perhatian padanya.
Tane menghela napas panjang, matanya memerah dan sembab. Berkali-kali dia meyakinkan dirinya sendiri untuk kuat, tapi sesak di dadanya tak kunjung hilang. Hatinya memikul rasa sakit dan sedih itu sendiri.
Ponsel Tane tiba-tiba berdering, ada telepon masuk dari Ibbey. Tane menghapus air matanya dan berusaha menormalkan suaranya.
"Dek, kamu di mana?" tanya Ibbey di telepon.
"Hmm adek di apart, Kak. Kenapa bumil ini kayaknya ngidam sesuatu?" tanya Tane dengan nada seperti biasanya.
"Kalau kamu nggak sibuk, kakak pengen makan sushi." jawab Ibbey.
"Baiklah, dedek akan bawa si sushi itu ke sana secepatnya." kata Tane bersemangat.
Tane berlari menuju apartemennya sambil menahan sakit dan tangisnya. Dia tidak ingin keluarganya mengetahui apa yang sedang menimpa. Tane menghampiri mobilnya yang terparkir di depan apartemen. Dia mulai berkendara ke sebuah restoran jepang. Setelah membeli beberapa paket sushi, Tane bergegas menuju rumah Ibbey.
Ibbey dan Vero sedang bersantai di beranda rumah saat Tane datang. Seperti biasa, dengan senyum cerianya, Tane memberikan sushi yang di bawanya pada Ibbey.
"Sini, adek suapin!" Tane mengambil sepotong sushi lalu menyuapi kakaknya. Lalu dia bercerita tentang kencannya dengan Senkora saat di gunung kemarin pada kakaknya.
Ibbey merasa ada yang aneh pada Tane, sepanjang Tane bercerita, Tane tidak berani menatap lama matanya. Kecerian Tane hari itu juga terasa berbeda dari biasanya.
Tane melirik ke Vero yang sedang sibuk bermain ponsel.
"Bang Vero.." panggil Tane
"Kenapa, dek?""tanya Vero melirik Tane.
"Ada yang ingin adek obrolin, bisa kita bicara berdua?" tanya Tane ragu-ragu.
"Loh, kakak gak boleh tahu nih?" tanya Ibbey.
"Hehehe, adek mau curhat bentar, dekat kak Ibbey adek malu." kata Tane.
"Oh yaudah." jawab Ibbey.
Tane mengajak abangnya ke samping rumah. Dia lalu memberitahu bahwa dirinya sedang di teror. Dia meminta Vero untuk melacak nomor pribadi orang yang menerornya.
"Emang peneror itu bilang apa?" tanya Vero menatap Tane.
"Hmmm, ini sih, cuma sekadar ngatur-ngatur adek aja, gak bahaya sih, cuma adek risih." jawab Tane berbohong.
Vero menganggukkan kepalanya dan dia mencatat nomor yang diberikan Tane. Terakhir, Tane meminta ke abangnya untuk tidak memberi tahu Ibbey.
Langit mulai gelap, Tane pamit pada kakaknya untuk pulang. Tapi dirinya berkendara tanpa arah, mobilnya berkendara ke tiap jalanan yang ada di depannya. Perasaanya kembali cemas, khawatir dan takut.
Ponselnya bergetar, ada pesan masuk dari si peneror. Tane meminggirkan mobilnya ke pinggir, agak masuk ke dalam semak. Dia menghela napas sejenak, lalu membaca pesan itu dengan jantung berdebar.
"Tok,tok. Hai Nona, kau kira diriku hanya tahu tentang Senkora? Diriku tahu semua orang yang ada di sekilingmu. Kau ingin lelaki yang baru saja kautemui itu mati? Atau semua keluargamu? Berhentilah bermain curang. Jika kau mengikuti permainan ini, semua akan aman!"
Deg! Jantung Tane berdetak kencang, dadanya terasa sesak dan hatinya teriris. Tangisnya menggigil, semua tubuhnya terasa gemetar. Lekas dia mengirimkan pesan pada Vero, jarinya mengetik pesan itu dengen gemetar.
"Bang, yang tadi itu Al ternyata, dia pakai nomor baru dan isengin adek. Gak usah dicari ya!"
Tane menundukkan kepalanya ke setir mobil, lalu dia memperhatikan ke sekitar, melihat-lihat jikalau ada seseorang yang mengintainya. Dia terisak. Dia mencoba menghubungi Senkora berkali-kali, tapi tak kunjung tersambung. Tangisanya pecah, dia meraung-raung.
"Kamu di mana, Koraaa....aku takut, aku takut Kora....aku butuh kamu, aku takut Kora...." ucapnya di sela-sela tangisnya.
Tane tancap gas, dia melajukan kendaraan dengan kencang. Dalam mobilnya dia berteriak kencang, meluapkan semua kesedihannya dan kemarahannya. Kecemasannya kian bertambah dan sekali lagi dia terpaksa memendamnya sendirian.
"Jangan gegabah, Tane, jangan gegabah bercerita pada siapapun. Kamu bisa, Tane. Kamu ingin Kora baik-baik saja kan, Tane?" gumamnya.
Mobilnya berhenti di depan apartemen, Tane berlari masuk ke dalam apartemennya. Dia mengambil pistolnya, lalu menembakkan satu peluru ke dinding kamar mandinya. Rasa amarahnya memuncak, dia tertawa getir.
"Bermain katanya ?! Tolol!" ucapnya gemetar. Dia lalu membalas pesan si peneror.
"Baiklah, ku ikuti permainanmu. Diriku akan melepaskan Senkora, asal kau berjanji tidak akan pernah melukainya. Tapi beri aku waktu."
Setelah mengirimkan pesan itu, dia kembali menembakkan satu peluru lagi ke dinding.
"Mami, papi, maafin Cici ya. Cici terpaksa membangunkan Xixi. Semua nyawa berharga, tapi nyawa Kora yang paling berharga. Cici cinta banget, cinta banget sama Kora." gumamnya sambil terisak.
Tane menghela napas berat, dia membuka ponselnya lalu mengetik pesan untuk kekasihnya.
"Sayang, hari ini kita kemana? Pantai, citylight atau gunung? Aku kangen banget sama kamu. Nanti gendong aku 12 jam ya. Aku janji, kamu bakal baik-baik saja, Kora."
***
Senkora baru saja sampai di bengkel, dia merasakan tubuhnya sedikit lelah. Dia berjalan ke loker makanan, lalu mengambil sepotong roti. Tak lupa, dia juga mengambil ponselnya di loker penyimpanan pribadinya. Ponsel itu sengaja dia tinggalkan selama dia pergi.
Dia menyalakan ponselnya sambil menggigit roti. Seketika ponselnya bergetar berkali-kali karena ada banyak pesan yang masuk. Dan dia membuka pesan dari Tane pertama kali.
Senkora membaca pesan itu tiga kali, kalimat terakhir yang dikirim Tane sedikit membuatnya berpikir.
"Aku janji kamu bakal baik-baik saja..." Senkora membacanya berkali-kali, dia merasakan ada sesuatu dalam kalimat itu. Tapi akhirnya perasaan itu di hempas. Dia menelepon Tane, tapi ponsel Tane tidak bisa dihubungi.
"Aku juga kangen, Mimu. Nanti kalau ketemu ku gendong ya. Iya, semuanya akan baik-baik saja, aku janji. Semuanya hanya butuh waktu."
Dia mengirimkan balasan pada Tane. Ketika membuka pesan dari Sam, dahi Senkora berkerut. Sam mengiriminya sebuah foto. Sam bilang dia melihat Tane dibawa oleh tiga pria. Namun sayang, foto itu tidak jelas, terlalu buram.
Senkora berkali-kali memperhatikan foto itu dari semua sudut, namun dia tidak kunjung mendapatkan petunjuk. Tiba-tiba ponselnya berdering, Jimmy meneleponnya dan memintanya datang ke area istirahat Paleto.
Senkora kembali masuk ke ruangan loket, dia mengganti bajunya dengan setelan ninja kebanggaanya. Setelan hitam polos, tak lupa dia menutupi wajahnya dengan masker.
Area istirahat Paleto tidak terlalu jauh dari Banditto. Tempat itu adalah semacam zona santai yang terletak di pinggir laut. Senkora memarkirkan motornya. Di sana sudah ada Hanabi, Jimmy dan seseorang yang belum dia kenal.
"Kenalkan, ini Jesper, adik seperguruanku, Senkora." kata Jimmy pada Senkora.
"Oh, iya, diriku Senkora, ne!" balas Senkora sambil melirik Jesper.
Senkora duduk di bangku kayu, bersebelahan dengan Jimmy. Mereka lalu bercerita perihal Nergal yang telah berhasil ditemui Jimmy. Kata Jimmy, Nergal ingin melatih dirinya menjadi ninja.
Selesai membahas Nergal, Senkora menceritakan kecemasannya perihal Tane yang dibawa oleh tiga pria yang tidak dikenal. Karena menurut Senkora, di kota itu dia sama sekali tidak memiliki musuh.
"Mungkin mereka dari suatu kelompok yang ingin memancing dirimu keluar, Senkora." kata Jimmy.
"Memancingku keluar ? Di kota ini tidak ada yang tahu identitasku kecuali keluarga, mereka hanya tahu Senkora hanyalah mekanik Banditto." ucap Senkora mengerutkan dahi.
"Kalau begitu hanya ada satu kemungkinan, ada yang tertarik dengan wanitamu." kata Jimmy.
"Kalau begitu datangi aku secara jantan, katakan bahwasanya dia ingin bersaing denganku, bukan dengan mengganggu wanitaku!" kata Senkora.
Jimmy lalu menawarkan diri akan membantu Senkora mencari info tentang pria tersebut.
"Diriku juga akan membantumu." sambung Hanabi.
"Jika seandainya nanti diriku dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, diriku tidak bisa membelah diri, tolong jaga wanitaku, Hanabi." pinta Senkora menatap Hanabi.
Hanabi mengangguk pelan.
"Kenapa dirimu tidak tanyakan langsung pada wanitamu perihal foto itu, Senkora?" tanya Jimmy lagi.
"Memang itu yang akan kulakukan." jawab Senkora mengeluarkan ponselnya. Dia lalu menghubungi Tane, panggilannya terhubung, tapi Tane tidak mengangkat teleponnya. Senkora mencoba menghubungi sekali lagi, namun tiba-tiba ponsel Tane tidak aktif.
Senkora mengerutkan dahinya karena biasanya Tane tidak pernah mengabaikan panggilannya. Pikiran buruk hinggap begitu saja di kepalanya, dia berlari menuju motornya.
"Diriku ada perlu sebentar!"katanya pada Jimmy.
Senkora mengendarai motornya dengan kencang, hati dan pikirannya tidak tenang. Dia kembali mencoba menghubungi Tane beberapa kali, tapi ponsel Tane tak kunjung aktif.
Motornya melaju kencang menunu apartemen Tane. Sesampainya di apartemen dia harus menghadapi kenyataan bahwa Tane tidak di sana. Senkora menarik napas panjang, dia mencoba menghubungi Tane kembali, tapi gagal.
Senkora akhirnya menelepon Ibbey untuk menanyakan keberadaan Tane.
"Belum, aku belum ketemu dengannya hari ini." jawab Ibbey di telepon.
"Baiklah, kak Ibbey, kalau dia menghubungimu, tolong kabari aku." jawab Senkora.
"Baik, oh iya, Senkora, apakah kau sibuk ? Kalau tidak bisakah kau mampir ke rumah sakit sebentar, ada hal yang perlu kubicarakan perihal Tane." kata Ibbey.
"Oke, diriku ke sana sekarang!"
Senkora memutuskan panggilannya, lalu berkendara menuju rumah sakit.
"Di mana kak Ibbey, diriku sudah di parkiran." tanya Senkora menelepon Ibbey.
"Aku melihatmu, kemarilah di samping rumah sakit!" jawab Ibbey.
Senkora melirik ke samping rumah sakit lalu dia melihat Ibbey sedang berdiri sendirian. Senkora menghampirinya.