The Power of First Love - Senkora & Tane

Amel Gladishani
Chapter #15

Last Moment (?) ; As Long As You Stay Alive

Dini hari yang masih berembun di bawah kaki gunung Chiliad. Dari atas terlihat lampu-lampu jalan dan kota masih menyala. Senkora berdiri di atas bebatuan yang terletak di pinggir tebing. Dia berpangku tangan, menahan tubuhnya agat tidak menggigil. Sementara matanya menatap langit yang masih berbintang dengan tatapan kosong.

Dia teringat pada kedua saudaranya yang telah tiada, bukan hanya teringat tapi rindu. Rindu bercengkrama, bercanda dan rindu kehangatan pelukan mereka. Kenangan kebersamaan itu membayang di pikirannya. Sedihnya akhirnya luluh bersama dengan air mata yang menetes di kedua pipinya.

"Jika kalian masih di sini mungkin tidak akan sesakit dan seberat ini, ne!" gumamnya lirih.

Saat itu juga semua keraguan tertumpuk di hatinya. Keraguan pada keputusannya yang menentang ayahnya sendiri dan keraguan untuk tetap memperjuangkan wanitanya. Bukan karena tidak mencintainya, tapi kekhawatiran dan kegelisahannya saat ini tidak bisa membuatnya berpikir jernih.

"Kurasa apa yang dikatakan Hayabusa benar, wanita itu kelemahan, melemahkan perasaan dan pikiranku." gumam Senkora.

Senkora menghela napas panjang dan berat ketika dia teringat ucapan Ibbey.

"Diriku pun ingin hidup lebih lama, Kak Ibbey, bukan hanya untuk Tane, juga untuk orang-orang di sekelilingku."gumamnya.

Senkora berkali-kali mengambil napas, seolah ingin mengeluarkan semua kecemasan dan keraguan yang ada di dadanya. Dirinya merasa saat itu adalah saat paling lemah dalam hidupnya. Jikapun ada yang sedang mengincar nyawanya, dia rasa saat itu adalah saat yang tepat bagi musuhnya.

Tiba-tiba Hanabi dan Jimmy beserta adiknya datang. Hanabi menghampiri Senkora, menatap wajah keruh adiknya, lalu dia memeluknya untuk beberapa saat.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Hanabi dengan khawatir.

"Entah.., pada saay diriku pingsan kemarin, diriku melihat 1 dan 2, mungkin hanya bayanganku saja. Apa yang akan mereka katakan jika melihatku seperti ini?" jawab Senkora lirih.

Hanabi menarik napas berat, dia terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan Senkota. Dirinya pun saat itu sangat khawatir melihat kondisi Senkora.

"Apa kau menyesali keputusanmu, Sen?" tanya Hanabi melirik Senkora.

Senkora tersenyum lirih lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak, sama sekali tidak, hanya saja banyak hal yang ku khawatirkan akhir-akhir ini. Mungkin diriku gagal menepati janjiku pada Tane." ucap Senkora.

"Kau tidak pernah gagal dalam hal apapun, Sen!" tegas Senkora.

Senkora kembali tersenyum melirik Hanabi. Dia mengatakan pada kakaknya itu untuk terus hidup dan memilih kebahagiaanya jika nanti dia menghilang.

"Tidak, aku tidak akan berjanji. Dan aku tidak akan membiarkan seorangpun untuk mencelakaimu." jawab Hanabi.

Jimmy membenarkan perkataan Hanabi. Dia menghibur Senkora dan berusaha menyadarkan Senkora bahwa dirinya tidak sendiri.

"Kau mencintai wanitamu kan, Sen?" tanya Jimmy

Senkora menganggukkan kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Kakinya terasa lemah saat berdiri, dia akhirnya terduduk lemah di atas bebatuan.

"Selain mengubah takdir dan menentang kutukan, apa sebenarnya tujuanmu menantang Hayabusa?" tanya Jimmy lagi.

"Tujuanku hanya ingin hidup bahagia bersama Tane." jawab Senkora

Keinginan yang sangat sederhana, tapi bagi Senkora kalimat itu saja terasa berat untuk diucapkan olehnya. Bukan tidak ingin, tapi dirinya tertampar kenyataan bahwa hidup, nasib dan takdirnya sangat jauh berbeda dengan wanitanya.

"Berarti yang sedang kau ragukan dan cemaskan adalah kau takut wanitamu terlibat dengan hal di sekelilingmu." tutur Jimmy.

Sekali lagi Senkora menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum lirih sambil membayangkan wajah Tane, satu-satunya wanita yang ada di hatinya, tapi terasa begitu jauh untuk digapainya. Dia meragukan dirinya sendiri, saat dia tahu kekasihnya itu menyembunyikan sesuatu dirinya bahkan bingung harus melakukan apa.

***

Tane turun dari mobilnya, dari jauh dia menatap punggung Senkora yang terduduk lemah di samping Hanabi. Hatinya begitu getir, matanya berkaca-kaca mengingat pertemuannya kemarin dengan Gustavo. Dia menarik napas panjang sebentar, berusaha menguatkan dirinya untuk bertemu dengan Senkora yang terlihat tidak baik-baik saja.

Tane berjalan mendekat, dia disambut dengan pelukan oleh Hanabi. Pelukan yang hampir meluluhlantahkan pertahanannya. Dia berusaha tersenyum dan menatap Hanabi. Tidak ada kata-kaya yang terucap dari Hanabi, namun Tane dapat merasakan kalau kakak prianya itu sedang berharap padanya.

Hanabi dan Jimmy meninggalkan Senkora dan Tane, memberikan kesempatan pada keduanya untuk berbincang.

Perasaan Tane campur aduk, dia belum pernah melihat Senkora seperti itu sebelumnya. Wajah Senkora pucat, tatapan matanya lirih.

Tane duduk di samping Senkora yang tertunduk.

"Are you oke?" tanya Tane

Senkora tersenyum sambil menatap Tane.

"Entah, akhir-akhir ini diriku merasa gelisah dan khawatir..."jawab Senkora.

"Soal apa, keluargamu lagi?"

"Tentang kita.." jawab Senkora singkat. Sementara itu dia merasakan kepalanya semakin pusing.

"Kora, semuanya akan baik-baik saja,hmm.." ucap Tane menahan air matanya.

Senkora tersenyum lirih, dia menatap Tane dengan sendu.

"Jika seandainya diriku gagal menepati janjiku, diriku sama sekali tidak menyesal, Tane. Diriku cukup bahagia bisa mengenalmu, setidak aku pernah memperjuangkan kita."

"Cukup?"

"Sangat, sangat bahagia dan diriku akan menghilang tanpa adanya penyesalan sedikitpun..." ucap Senkora.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Kora, kamu akan baik-baik saja, aku janji." ujar Tane dengan mata berkaca-kaca.

Air mata Senkora jatuh, dia menatap lama wanitanya. Perasaanya campur aduk. Senang, sedih, cemas dan kekhawatiran menggerogoti hatinya yang sedang rapuh.

"Kau akan memaafkanku kan, Tane? Jika aku gagal dan menghilang?" tanyanya sambil menghapus air matanya.

Tane menggelengkan kepalanya dan dia mulai terisak. Prianya membutuhkan kekuatan dan semangat darinya, tapi di satu sisi dia ragu perihal tenggat waktu yang diberikan si peneror.

"Tidak, Kora, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kalau kau mati, aku juga akan mati dalam keadaan bernyawa, tanpa kamu aku nggak bisa, Kora. Jangan terus membicarakan kegagalan, kita pasti bisa, Kora, pasti bisa."

"Hmm, iya, kita pasti bisa. Terima kasih, ne." jawab Senkora tersenyum.

"Sebentar..!" kata Tane. Dia berlari menjauh dari Senkora. Lalu mengeluarkan ponselnya, menelepon si peneror.

"Apa yang telah kau lakukan pada Senkora?"tanya Tane di telpon.

"Diriku bahkan belum melakukan apapun, Tane." jawab si peneror.

"Belum ? Aku akan melepaskannya, asal dia baik-baik saja. Berapa lama lagi waktu yang kauberikan untuk bersamanya?" tanya Tane.

"Sebaiknya kau mulai menghitung hari dari sekarang.."

Tane mematikan ponselnya, air matanya sudah tidak bisa dia tahan. Sekali lagi dia berusaha menguatkan dirinya, dia menghapus air matanya dan kembali menghampiri Senkora, duduk di sebelah lelakinya itu.

"Sayang, mau aku peluk?" tanya Tane.

Senkora diam, Tane memeluknya, lalu menyandarkan kepala Senkora ke pundaknya. Tangan Tane merasakan ada hawa panas di kening Senkora.

"Kora, selagi masih bersama berbahagialah denganku. Hari ini, esok dan seterusnya kita pasti akan bisa melewatinya." ucap Tane menahan tangis.

"Kurasa takdir sedikit jahat pada kita, tidakkah kau membencinya, Tane?" tanya Senkora dengan suara parau menahan tangis.

"Bagaimana bisa aku membencinya, takdir itu telah mengizinkan aku mencintaimu, Kora." Kali ini air mata Tane tumpah, hatinya terasa sakit.

Senkora tersenyum, dia merasakan pandangan mulai berbayang.

"Seseorang mengatakan padaku hari ini, hiduplah lebih lama..."ucap Senkora.

"Ya, kamu harus lebih lama, hidup yang sangat lama. Kora, kamu kenapa jadi gini, mana kamu yang biasanya semangatin aku, pantang nyerah, kalau kamu gini aku nanti fomo...." celetuk Tane berusaha mengubah suasana.

"Apa aku terlihat lemah sekarang?" tanya Senkora

"Iya, pacar aku biasanya tangguh dan hebat sehingga bikin aku bangga."jawab Tane

"Maaf, ne, Tane."

"Nggak papa, Sayang, kalau depan aku kamu boleh lemah, aku suka malah karena aku bisa timang-timang kamu." kata Tane sambil tersenyum.

Senkora mendengar suara Tane samar-samar, kepalanya makin berputar hebat dan tiba-tiba penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya seketika roboh. Tane panik, dia berteriak memanggil Hanabi.

***

Senkora terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sebelah tangannya dipasangi infus, menurut dokter dia kelelahan dan banyak pikiran. Hanabi memandang adiknya dengan perasaan iba dan khawatir.

Sementara itu, di samping rumah sakit, Tane menangis sambil terisak. Dia membuka catatan di ponselnya. Dia mencurahkan semuanya di sana :

"Dear My Sengkoyang...

Cinta dan duniaku..ini Tane. Apakah kehidupan terasa begitu berat, sampai nampaknya keadaan kita tak baik saja?"

Tane membaca kembali kalimat yang baru saja diketiknya. Saat itu ingin rasanya dia berteriak dan meluapkan marahnya, marah pada keadaan yang tidak berpihak pada cintanya.

Tiba-tiba Rytaka berdiri di sebelahnya. Tane menghapus ai matanya. Dia melirik Rytaka yang kelihatannya berbeda. Yang berdiri di sampingnya sekarang ada bukan Rytaka kecil keponakan Senkora.

"Menurut pandanganku, kau bukan hanya seorang gadis polos, Tane. Ada hal yang kau sembunyikan dari Senkora bukan?" tanya Rytaka dengan suara alter egonya.

"Huh, semua orang butuh privasi bukan?" kata Tane balik bertanya dengan nada sinis.

"Iya, tentu. Tapi jika sampai karena dirimu, Senkora kenapa-napa, diriku tidak akan tinggal diam, Tane!"

"Karenaku, huh, bukankah ini hanya terjadi di sekitar kalian saja? Oh, sekarang aku mengerti, tidak ada satupun dari kalian berpihak padaku dan Senkora bukan?" tanya Tane sinis.

"Tane, Tane, kalau diriku menentang, dari awal tak akan kubiarkan Senkora dekat dengan wanita manapun termasuk dirimu. Kami sebagai keluarga hanya mengkhawatirkan keadaanya sekarang."

Tane tertawa sedikit. Saat itu dia sadar sisi dari dirinya yang lain muncul, yaitu Xixi.

"Jika kau mengkhawatirkannya, berarti kita di pihak yang sama, Rytaka. Aku akan mengusahakan apapun biar Kora tidak kenapa-napa."

Sementara itu di ruangan UGD rumah sakit, Senkora telah sadar dan duduk di atas ranjang. Dia mencari-cari keberadaan Tane.

"Bawa aku pada Tane, Hanabi." pintanya sambil turun dari ranjang dan duduk di atas kursi roda. Hanabi mengikuti permintaan adiknya, dia mendorong kursi roda itu keluar dari sana.

Tane melihat Senkora dari jauh, dia berlari menghampiri Senkora sambil tersenyum.

"Gimana, Sayang, udah mendingan?" tanya Tane

"Hmm." jawab Senkora sambil berdiri dari kursi roda.

"Jangan, jangan berdiri dulu." cegah Tane sambil memegang pundak Senkora dan memintanya untuk duduk kembali.

Tane lalu meminta izin pada Hanabi untuk berbicara berdua dengam Senkora. Dia mendorong kursi roda Senkora ke belakang rumah sakit. Tane lalu berjongkok di depan Senkora. Menatap wajah prianya yang memucat.

"Sayang aku sakit, masuk rumah sakit, tadi kamu disuntik nggak?" tanya Tane sambil mengenggam tangan Senkora.

"Tidak, hanya diberikan vitamin saja dan sekarang rasanya sudah lumayan." jawab Senkora menatap Tane. Kedua mata mereka saling bertatap.

"Berarti nanti bisa main dong, eh nggak, aku akan rawat kamu sampai sembuh. Setelah itu kita main ke pantai, gunung dan city light. Besok aku bakal cariin kamu sushi tuna biar kamu cepet sembuh...."

Senkora mendengarkan yappingan Tane sambil tersenyum.

"Lalu, nanti aku bakal pindah ke rumah kak Ibbeh, terus aku tanya boleh gak aku ajak Kora kesini, kata kak Ibbey boleh dek, ajak saja. Lalu, nanti kita ke pohon mangga dan pohon apel yang ada di spot city light satunya. Pokoknya aku pengen terus sama kamu, Kora, bareng-bareng terus, becanda bareng, asal berdua sama kamu...."tangis Tane pecah, dia terisak. Dari sekian banyak yang dia sembunyikan dalam hatinya, hanya itu yang bisa dia utarakan

"Tane..." kata Senkora sambil mengelus pipi Tane.

"Dengerin aku dulu, trus nanti kita harus gendong anak kak Ibbey.....hiks, lalu soal date kita di tempat yang banyak bunganya...aku...aku belum sempat ambil bunga dari kamu...kasih aku bunga lagi ya, aku janji gak bakal bodoh dan lompat lagi. Aku...aku..hiks hiks, akan memperbaiki apa yang sudah berantakan, dan aku janji bakal belajar apapun untuk kamu Kora, aku ingin jadi Tane yang Kora mau.." Tangis Tane makin pecah, air matanya tak berhenti mengalir, dadanya naik turun mengatur napas.

Senkora segera memeluk wanitanya, menenangkannya. Tane meluapkan kesedihannya sejenak dalam pelukan Senkora, dia menangis sejadi-jadinya, tapi beberapa saat dia tersadar. Dia melepaskan pelukan Senkora, lalu menghapus air matanya.

"Sayang, kamu sama keluargamu dulu ya, nanti setelahnya aku bakal temenin kamu." ucapnya.

"Aku butuh kau, Tane, keluargaku keluargamu juga." jawab Senkora menatap mata Tane yang sembab. Dia merasakan kekasihnya itu menyimpan banyak kesedihan.

Senkora menggenggam kedua tangan Tane, dia bercerita selama dirinya pingsan dia bermimpi bertemu dengan kedua saudaranya, mereka berpesan untuk tetap hidup.

"Maaf, ya, diriku menunjukkan sisi lemahku." ucap Senkora.

"Hmm, gapapa, Sayang, kamu kan bayik besar aku.." jawab Tane tersenyum.

"Maaf juga, diriku sempat meragukan keputusan yang kuambil, tapi sekarang, diriku Senkora Conostra Shinokage tetap teguh pada pendirianku, yaitu memperjuangkanmu, Tane. Diriku juga berjanji akan tetap hidup, untuk kita." tegas Senkora.

"Hmm, iya, Sayang." jawab Tane tersenyum menahan tangis.

Tak hanya itu, Senkora juga meminta Tane berjanji untuk tidak menyembunyikan kesedihannya, kecemasannya dan apapun itu dari dirinya.

"Oh oke, bentar aku umpetin ktpku, biasanya kutaruh di saku, sekarang aku taruh dalam dompetku." ujar Tane mencari-cari ktpnya. Senkora mengerutkan dahinya.

"Diumpetin?" tanya Senkora.

"Iya, biar gak diculik." jawab Tane sambil mengangkat tinggi-tinggi ktp-nya.

"Oke, Saya Jirlah Matane Ashford, berjanji kepada Senkora, pacar saya, calon suami saya, cinta sehidup semari saya bahwa saya akan terus bersamanya dan saya berjanji tidak akan menutupi apapun darinya...dan saya berjanji akan hamil anak Kora, mantaaap!" ucap Tane menahan air matanya. Dia pura-pura salting dan lari jauh ke belakang rumah sakit.

Tane berdiri menghadap pantai, mencoba mengatur napasnya yang sesak. Air matanya sudah tak tertahan, dia kembali terisak.

"Aku janji, kamu gak bakal sakit lagi, Kora, aku janji kamu gak bakal kenapa-napa."gumamnya di sela-sela isakannya.

Senkora berjalan pelan menghampiri Tane.

"Tane!" panggil Senkora.

Tane menghapus airmatanya dan membalikkan badannya

"Iya, Sayang, eh kamu kok udah jalan?" tanya Tane memegangi lengang Senkora.

"Sudah tak apa." jawab Senkora.

Senkora menatap Tane dan mempertanyakan alasan Tane kenapa dia menyembunyikan ktp nya. Hal itu sedikit membuatnya tidak nyaman dan merasa khawatir dengan Tane. Apalagi saat Tane bilang kalau keluarga Ashford sedang diincar banyak orang.

"Kau yakin cuma itu alasannya?" tanya Senkora lagi.

"Iya sayang, aku gak bohong." jawab Tane.

Tiba-tiba ponsel Tane berdering, Hanabi meminta mereka ke depan karena ada hal yang ingin dibicarakan Ryataka.

Senkora dan Tane berjalan ke depan rumah sakit sambil bergamit tangan. Tapi dengan perasaan yang berbeda. Senkora berhasil menepis semua keraguan dalam hatinya, sementara Tane berhasil menyimpan rapat-rapat kesedihan yang tengah dialaminya. Dari jauh, Senkora sempat melihat sosok Galaxi di area rumah sakit.

"Diriku ingin mengobrol berdua saja, Senkora."kata Rytaka.

"Tidak, bersama Tane!" jawab Senkora.

"Hmm, Senkora, diriku pinjam Tane sebentar.." kata Hanabi.

"Tidak boleh!" jawab Senkora memegang tangan Tane erat.

Hanabi hanya bisa menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan bucin adiknya.

"Kemarilah, berdiri di sampingku, Senkora." kata Rytaka mode dewasa

Senkora menarik tangan Tane dan membawanya berdekatan dengan Rytaka.

Rytaka memulai pembicaraanya. Dia mengingatkan Senkora kalau sewaktu-waktu Tane mengakui sesuatu yang bukan dirinya, apakah Senkora akan menerimanya.

"Tentu, semua orang punya sisi lain dalam dirinya." jawab Senkora tegas.

Tak hanya itu, Rytaka juga memberikan isyarat pada Senkora bahwa Tane sedang berusaha menyelamatkan hidupnya. Rytaka mengejek jiwa Senkora yang lemah dan seharusnya malu pada Tane. Hal itu membuat Senkora berpikir dan mengerutkan dahinya.

"Mana sisi dirimu yang kejam itu, Senkora, kau yang seharusnya melindungi Tane, bukan sebaliknya." kata Rytaka.

"Kau ingin melihat sisi itu, cobalah Rytaka!" tantang Senkora.

Dengan cepat, Rytaka mengeluarkan pisaunya dan menusuk perut Tane dan Senkora bergantian. Ya, walaupun tusukan itu tidak terlalu dalam, tapi bagi Tane itu adalah tusukan pertama baginya dan terasa sakit.

Senkora tersenyum sambil memegangi luka di perutnya, dia mendekati Tane, lalu menggendong Tane dan membawanya ke ruang UGD.

"Kora, turunkan aku, kamu terluka." pinta Tane sambil meringis kesakitan.

"Diriku Tiga, ne, Tane. Kau lupa pacarmu ini adalah ninja yang tangguh?" jawab Senkora.

Tane tersenyum, Senkora yang dikenalnya telah kembali. Tapi di balik itu, dia merasa bersalah karena telah menutupi identitasnya dari Senkora.

Setelah menjahit luka mereka, Senkora menggendong Tane di punggungnya. Dia mendekati motornya, lalu membawa Tane pergi dari sana.

Tane memeluk Senkora dari belakang, tangannya mengelus luka yang ada di perut Senkora. Tanpa sepengetahuan Senkora, sepanjang perjalanan Tane menangis. Dia buru-buru menghapus air matanya saat motor Senkora tiba di depan apartemen.

Senkora kembali menggendong Tane dan membawanya masuk ke dalam apartemen. Dia mengantar Tane ke dalam kamar, menidurkan kekasihnya itu ke atas kasur. Lalu dia menatapnya sebentar.

"Maaf, ne, jangan benci Rytaka, itu adalah sisi dirinya yang lain." kata Senkora mengelus kening Tane.

Tane mengangguk.

"Sekarang beristirahatlah, ada hal yang perlu kuselesaikan, Tane. Beri aku sedikit lagi waktu, aku akan menetapi janjiku, untuk kita." kata Senkora lembut.

Dia lalu mengecup kening Tane, menyelimuti kekasihnya, lalu pergi dari sana.

Sepeninggal Senkora, Tane berdiri dengan rasa sakit di perutnya. Dia mulai mengemasi barang-barangnya sedikit, lalu memasukkannya ke dalam koper, Setelahnya dia keluar dari kamar. Memandangi buku yang pernah di baca Senkora sambil menitikkan air mata. Memandangi tiap sudut apartemennya yang penuh dengan kenangannya bersama Senkora.

"Sakit sekali, Kora." ucapnya sambil terisak memandangi foto-foto Senkora di layar ponselnya.

Sementara itu di waktu yang sama, Senkora menemui Galaxi dan berbincang perihal misi yang diberikan Hayabusa. Galaxi mengaku semuanya berjalan dengan lancar sebagaimana yang diharapkannya. Dan Galaxi mengaku dalam misi itu dia dibantu oleh seorang informan.

"Terserah apa yang akan kau lakukan, Galaxi. Tapi jangan pernah membawa-bawa wanitaku dalam urusan kita." ucap Senkora.

***

Esoknya, Tane dikejutkan oleh kedatangan Selly, maminya. Dia merasa senang. Sakitnya seketika hilang, dia memeluk maminya begitu lama.

"Cici kangen mamiiiii, tumben mami ke sini?" tanya Tane sambil tidur di pangkuan Selly

"Lho, kamu kemarin chat mami, minta tolong." kata Selly membelai-belai rambut anak gadisnya.

"Oh iya, nanti saja ceritanya. Sekarang Cici mau me-time berdua sama mami, kita jalan-jalan, shoping, pokoknya seneng-seneng!" ucap Tane bersemangat. Dia berlari ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.

Sebelum keluar dari kamarnya, Tane menelepon Senkora.

"Sayang, kamu di mana?" tanya Tane di telepon.

"Aku dibengkel, kenapa?"

"Aku hari ini gak ke bengkel ya, soalnya aku kedatangan mami, pengen berduaan sama mami dulu, tapi aku juga kangen kamu.." kata Tane.

"Yasudah, kamu temenin mami dulu, nanti kabari ya." jawab Senkora.

"Makasih sayangku, cintaku, atapuu."

"Atapu more." balas Senkora.

Tane keluar kamar dan mengajak maminya keluar. Seharian itu Tane melupakan kesedihannya sejenak. Dia sangat bersenang-senang dengan maminya sambil melepas rindu. Mengingat kesibukan maminya yang terus ada kesibukan pindah dari satu negara ke negara lainnya.

Tane mengajak maminya jalan-jalan ke semua penjuru kota Rise, belanja apapun yang mereka inginkan, tak lupa mereka pergi ke salon.

Tak terasa hari telah senja, mobil Tane telah penuh dengan belanjaannya. Dia memutuskan kembali ke apartemen. Di perjalanan Tane memulai ceritanya.

"Hmm, mami Cici boleh pacaran gak sih?" tanyanya

"Tentu boleh, kamu udah besar gini, sayang."

"Hmm, mami ingat pria yang pernah jemput Cici waktu itu, yang Cici kenalin ke mami waktu pertama kali mampir ke sini?" tanya Tane melirik maminya, sementara tangannya fokus pada kemudi.

"Ingat, Senkora kan, mami ingat!"

"Ya, dia pacar Cici." jawab Tane.

Lihat selengkapnya