The Power of First Love - Senkora & Tane

Amel Gladishani
Chapter #16

Painful Longing

Tiga bulan berlalu, semenjak Tane datang ke kastil. Dia sekarang adalah Xixi, seorang putri kastil yang penurut, patuh dan selalu memikirkan keluarganya. Dia bahagia bersama keluarganya yang lengkap, tapi di sisi lain Xixi menyadari ada bagian hatinya yang kosong dan terasa sakit.

Semenjak datang ke kastil, Xixi berusaha mengubur perasaanya dalam-dalam, berjuang mati-matian melupakan cinta pertamanya, Senkora. Tanpa dia sadari rasa rindu yang dia kubur dan pendam itu berubah menjadi rasa sakit yang abadi dalam hatinya.

Tanpa sepengetahuan keluarganya, hampir tiap tengah malam Xixi menyendiri, kadang dia berdiri menatap laut, kadang mengurung dirinya di tempat gelap. Semua hal yang mengingatkannya pada Senkora semakin membuat hatinya terluka.

Satu hal yang bisa sedikit mengobati rasa sakitnya, menembak. Saat dia merasa dirinya sudah tidak dapat menahan semuanya, Xixi pergi ke lapangan tembak yang berada agak jauh di belakang kastil. Di sana dia bisa meluapkan semuanya, tangisnya, kemarahannya dan kesedihannya.

Sore itu, Xixi kembali ke lapangan itu. Dia menggenggam satu pistol di tangannya, mengarahkannya pada papan target. Lalu, dia menembakkan semua peluru ke arah target sambil berteriak, marah yang tidak tahu pada siapa dan untuk apa.

Saat semua peluru habis, dia terduduk lemah ke tanah. Lalu sedikit terisak, bayangan Senkora akhir-akhir ini sangat sulit dihempaskannya. Saat itu dia menyadari, mungkin perpisahan karena kematian adalah hal yang lebih baik. Bukankah mati adalah satu-satunya cara untuk melenyapkan semua luka dan kerinduan yang sangat menyiksa? Tapi di luar sana dia menyadari ada seseorang yang ingin dia tetap hidup.

"Ternyata ada yang lebih sakit dari perpisahan karena kematian, Kora. Mengubur cinta dalam-dalam, hingga tumbuh menjadi kerinduan yang berbuah kesakitan, sakit sekali..., Kora.." gumamnya lirih.

"Cici, kemarilah, adikku!" Tiba-tiba terdengar suara Gustavo.

Xixi menghapus air matanya, lalu tersenyum memasang mimik wajah seoalah tak terjadi apa-apa. Dia berbalik dan menatap kakak pertamanya itu.

"Iya, Kak Po, ada apa?"tanyanya.

"Ikut denganku, adikku, semua orang sedang menunggi kita." kata Gustavo mulai berjalan.

Mereka berdua berjalan menuju kastil. Dari jau kastil itu terlihat sangat megah dan luas. Berdiri di atas pulau yang jauh dari perkotaan. Itu adalah rumah, rumah bagi Xixi, tapi di sana dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri karena ada banyak peraturan yang harus dia taati.

"Kak Po, apakah ini perihal pernikahan?" tanya Xixi pelan-pelan sambil mengikuti Gustavo dari belakang.

"Mungkin, kenapa dirimu tidak senang adikku?" tanya Gustavo melirik Xixi.

"Tidak, diriku akan mengabdikan diri pada keluarga, asal kalian semua bahagia, Cici akan lakukan." jawab Xixi tersenyum datar.

Gustavo menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan, menatap adik perempuannya.

"Dirimu tidak mencintainya, adikku?" tanya Gustavo.

Xixi tersenyum.

"Dia melindungiku, menjagaku dan sangat menyayangiku, diriku sangat menghormatinya, dan menyayanginya sama seperti kalian menyayanginya." kata Xixi.

Di taman kastil sudah berkumpul banyak orang. Xixi berjalan mendekat ke mami dan papinya. Seseorang yang mereka panggil "Tuan" sedang berbicara di depan. Xixi memandanganya sambil tersenyum.

"Diriku sudah mempersiapkan semuanya, dan tanggal pernikahannya yaitu minggu depan!" kata Tuan. Semua orang bersorak gembira.

Tuan mendatangi Xixi, lalu mengajaknya ke dalam kastil, membawa Xixi ke sebuah kamar yang sudah dihias. Di tengah -tengah kamar terpajang baju pengantin.

"Kau menyukainya, Nona?" tanya Tuan pada Xixi.

Xixi memandangi gaun pengantin itu sambil tersenyum. Gaun berwarna putih itu sangat indah dibaluti dengan batu-batu kristal yang berkilau.

"Iya, Tuan, cantik sekali. " ucap Xixi sambil berdiri di belakang Tuan.

Tuan lalu memeluk Xixi sebentar, lalu pergi meninggalkan kamar itu.

Xixi kembali memandangi gaun itu dengan perasaan hambar. Tidak ada kesedihan dan kebahagian, hanya biasa saja. Dia lalu tersenyum sebentar dan keluar.

Xixi berjalan keluar kastil, menuju pantai yang letaknya cukup dekat dengan kastil. Dia berdiri di atas bebatuan sambil memandang lautan. Dia menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bahagia, ya bahagia.

Namun, bayangan Senkora kembali muncul, kenangan cinta pertama yang selalu membuat dadanya sesak. Luka karena rindu. Matanya mulai berkaca-kaca. Impian yang dulu pernah ia ucapkan dan harapkan dengan Senkora akan terwujud, tapi dengan orang lain.

Xixi berteriak, menatap langit yang berbintang, berharap seseorang di sana mendengar teriakannya, ya paling tidak dia dan cintanya masih berada di bawah langit yang sama.

"Sengkoyang....bahagia ya, di sini aku sudah bahagia, kamu juga ya..Atapu Sengkoyang, atapuuu....!

Teriakan yang berbarengan dengan tangisan itu didengar oleh maminya, Selly. Dia mendekati Xixi lalu memeluk anak gadisnya itu erat.

"Pikirkanlah lagi, Sayang, kau masih memikirkannya?" tanya Selly menghapus air mata Xixi.

"Hmm, bukan hanya memikirkannya, mi, Xixi bahkan sangat sulit untuk melupakannya. Tapi, takdir tidak mengizinkan Xixi bersamanya, mi." jawab Xixi tersenyum lirih.

***

Dua hari sebelum hari pernikahan, Xixi dihadapkan pada kenyataan bahwa pria yang akan dinikahinya bersenang-senang dengan banyak wanita di depannya sendiri. Malam itu adalah pesta sebelum pernikahan, dengan mata kepalanya sendiri Xixi menyaksikkan pemandangan yang menurutnya tidak senonoh itu.

Hati Xixi sakit, di saat dia sedang berusaha membuka hati untuk pria lain, justru kelakuan pria itu semakin membuatnya mengingat Senkora. Seorang Senkora yang tidak suka mabuk-mabukkan dan tidak membiarkan dirinya berdekatan dengan wanita lain, selain dirinya.

Xixi marah, malam itu juga di hadapan semua orang dia membatalkan pernikahannya. Tapi, tak ada satupun yang membela dirinya, bahkan keluarganya sendiri membela pria itu. Menyebut itu adalah sesuatu hal yang biasa. Tapi bagi Xixi itu adalah suatu hal yang menyakitkan baginya, dia merasa tidak dihargai.

Xixi mengendarai mobilnya keluar keluar pulau, meninggalkan pesta itu dengan perasaan sakit dan marah. Dia menangis sejadi-jadinya, menyesali keputusan masa lalu yang telah dia ambil. Malam itu dia menyadari tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan Senkora.

Lihat selengkapnya