Sambil menunggu jadwal operasinya tiga hari lagi, pagi itu Tane meminjam mobil Ibbey untuk berkeliling kota. Pagi yang selalu indah di kota Rise. Tane berkendara sambil sesekali menahan sakit di kepalanya. Suasana kota itu kembali membuatnya tersenyum. Dia berhasil kembali ke sana, walaupun dengan luka dan kenangan yang tak pernah terhapus di otaknya.
Saat melihat kuning-kuning pembatas jalan, Tane mempercepat laju mobilnya. Dan dengan mudah dia berhasil menubruk semua kuning-kuning yang ada di belokan menjelang rumah sakit.
"Aku berhasil, Kora." gumamnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Tane melanjutkan perjalanannya menuju bengkel Banditto. Namun saat sampai di sana, Tane gamang dan terkejut. Bengkel yang menyimpan banyak kenangan itu sudah roboh dengan tanah, hanya menyisakan puing-puinh bangunan yang berserakan.
Tane memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Dia berjalan pelan menyusuri tiap-tiap puing itu dengan perasaan hancur. Air matanya jatuh pada kedua pipinya yang pucat. Kedua kakinya lemah seketika, dan lututnya jatuh menyentuh tanah. Dia terisak sambil menundukkan kepalanya.
"Nona Tane..."
Tiba-tiba seorang perempuan berdiri di hadapannya. Tane mengangkat kepalanya.
"Kak Hanabi...." suaranya gemetar, dia terisak.
"Ada apa denganmu, Nona, wajahmu pucat sekali.." tanya Hanabi.
Hanabi membantu Tane berdiri, dia menatap wajah wanita yang pernah dicintai oleh adiknya. Lalu, dia memapah Tane untuk masuk ke mobil.
"Masuklah, biar kuantar dirimu, nampaknya dirimu sedang tidak baik-baik saja, Nona." kata Hanabi sambil duduk di depan kemudi mobil.
Hanabi mengemudikan mobil dengan pelan sambil sesekali melirik ke arah Tane. Membiarkan Tane sendiri dengan pikirannya.
"Kak, boleh minta tolong antarkan aku ke city light yang disukai Senkora?" pinta Tane dengan suara lemas.
"Boleh.."jawab Hanabi.
Mobil itu menuju ke arah kota, lalu berjalan menyusuri jalan kecil komplek yang sedikit menanjak. Dan tak lama mobil itu sampai ke city light. Tane keluar dari mobilnya dan berdiri menghadap kota.
Dia menghirup udara sana sambil memejamkan kedua matanya. Lalu, dirinya tersenyum menatap pohon mangga yang tidak pernah berbuah di bawah sana.
"Dirimu baik-baik saja, Nona?" tanya Hanabi mendekati Tane.
"Ya, kak, setidaknya jika nanti operasiku gagal, aku sudah kembali ke tempat ini." jawab Tane dengan mata berkaca-kaca.
Hanabi mengerutkan dahinya, ada perasaab khawatir dalam dirinya menyaksikkan Tane seperti itu. Seorang Tane yang dia kenal periang dan dapat mengubah adiknya yang dingin menjadi hangat. Sekarang wanita itu terlihat sekarat.
"Apa yang terjadi, Nona, apa selama ini dirimu baik-baik saja?" tanya Hanabi lagi.
"Iya, hanya saja jika aku mengingatnya terasa sakit sekali, Kak." jawab Tane.
"Dirimu merindukannya, Nona?" lirik Hanabi.
"Hmm, sampai terasa sakit sekali." jawab Tane tersenyum.
Tiba-tiba Tane merasakan sakit kepala hebat di bagian kepalanya. Badannya meringkuk, sementara kedua tangannya memegang kepalanya dengan kuat. Dan tak lama, tubuhnya jatuh ke aspal jalan. Tane pingsan.
Hanabi panik, dia menggendong Tane ke dalam mobil, lalu mengendarai mobil itu ke rumah sakit.
Hanabi berhenti tepat di depan ruang ugd, dia memanggil-manggil tenaga medis dengan panik. Dua orang tenaga medis terlihat membawa tandu, lalu membawa Tane masuk ke dalam.
"Adek......!" Ibbey kaget saat melihat pasien yang dibawa rekan medisnya adalah Tane.
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Ibbey melirik Hanabi.
"Tadi dia pingsan...."jawab Hanabi.
Setelah mendengar jawaban Hanabi, Ibbey berlari masuk ke ruangan UGD dengan wajah cemas. Sementara Hanabi memilih keluar dari sana. Dia berdiri di samping rumah sakit dengan perasaan gelisah.
Hanabi mengambil ponselnya, dia lalu menghubungi Senkora.
"Hmm." sapa Senkora di telepon.
"Sen, kurasa dirimu harus ke sini sekarang." kata Hanabi.
"Ada apa?" tanya Senkora.
"Kurasa sekarang saatnya kau menyelesaikan semuanya, Sen. Kemarilah, ada Tane bersamaku." ucap Tane.
"Hmm, baiklah!"
***
Senkora memutuskan panggilannya, lalu dia memanggil Iel dan Rytaka.
"Kalian mau ikut?" tanya Senkora menatap kedua keponakannya dengan tatapan tajam.
"Kemana, Uncle?" tanya Iel.
"Membunuh wanita itu, sudah lama sekali ne, diriku tidak merasakan hal ini, Iel, Rytaka." kata Senkora sambil mengecek pisaunya. Dia tertawa lepas.
Ryataka melirik Iel, untuk kesekian kalinya mereka dibuat merinding dengan aksi Tiga.
"Diriku penasaran, bagaimana rasanya mencabik-cabik tubuh wanita Senkora itu..."ucap Senkora.
Hari itu juga, Senkora dan dua keponakannya terbang menuju kota Rise. Penerbangan dari kota Ceka ke Rise hanya membutuhkan waktu tiga jam. Sesampainya di bandara mereka menyewa sebuah mobil.
"Senkora, aku lapar.." kata Ryatak pelan sambil melirik Senkora dari tadi.
"Hmm, kita makan dulu berarti." ujar Senkora sambil terus mengendarai mobil. Tatapan matanya tajam lurus ke depan, sementara di wajahnya tampak jelas ada amarah dan emosi yang sangat besar.
Mereka berhenti di sebuah restoran yang cukup terkenal di Rise. Rytaka dan Iel memesan banyak makanan. Mereka duduk di bangku luar restoran sambil menikmati pemandang kota.
"Lho, Senkora, ini Senkora bukan?" tanya seorang pria bertopi mendekati mereka.
Senkora mengerutkan dahinya sebentar dan menatap wajah pria itu sedikit lebih lama.
"Iben..?"tanya Senkora.
"Iya, apa kabar dirimu ? Semenjak banditto tutup aku mencari keberadaanmu, dari mana saja dirimu, Senkora?" tanya Iben.
"Kami pindah ke luar negeri. Kau mencariku, ada urusan apa?" tanya Senkora mengerutkan dahinya.
"Hmm, ada amanah yang harus kuselesaikan, tapi karena dirimu sudah kembali.. "
"Amanah?" tanya Senkora memotong pembicaraan Iben.
"Iya, haaha, hmm, kalian bebas mau makan apa saja, kalau besok mau makan di sini lagi juga tidak apa-apa, aku kasig gratis." kata Iben tersenyum.
Ryataka dan Iel saling pandang sambil memberikan isyarat tidak tahu dengan keadaan yang sedang terjadi. Sementata Senkora mengerutkan dahinya, lalu dia teringat pada bingkisan makanan yang selalu dia terima saat masih di bengkel.
"Maksudnya apa?" tanya Senkora menatap Iben.
"Oh tidak apa-apa, lanjutkan makan kalian." kata Iben pergi, tapi Senkora menahannya.
"Tunggu Iben, jelaskan maksudnya apa." tegas Senkora sambil menatap Iben tajam.
Iben terdiam, dia merasa gugup. Senkora lalu memainkan pisau di tangannya dan itu membuat Iben merinding.
"Masih tidak mau menjelaskan?" tanya Senkora sambil mengelus mata pisaunya.
"Ohh, iya, iya...Tane, iya, Tane. Sebelum dia meninggalkan kota ini, dia menitipiku sejumlah uang....dan....memintaku untuk mengirimkan makanan dan obat-obatan padamu setiap hari, Senkora..." tutur Iben dengan terbata-bata.
Mendengar hal itu, Senkora terdiam lama. Telinganya berdenging, perasaanya campur aduk, tatapan matanya mulai kosong. Sementara itu, Ryataka dan Iel sama-sama terkejut.
"Aunty Tane, melakukan itu?"tanya Ryataka lagi.
"Iyaa, karena itulah aku mencari keberadaan Senkora.." jawab Iben.
"Iel, iel, itu berarti aunty Tane masih mencintai Senkora bukan?"tanya Ryataka melirik Iel.
Senkora masih terdiam, dia berusaha memahami apa yang dirasakannya saat itu. Untuk pertama kalinya, dadanya tidak terasa sakit saat mendengar hal tentang Tane.
Rytaka dan Iel menatap Senkora.
"Senkora.., Senkoraaaa!" panggil Rytaka.
Senkora tersentak, lalu dia menatap Iben.
"Baiklah, terima kasih, Iben." ucapanya datar.
Tiba-tiba ponsel Senkora berdering. Hanabi meneleponnya dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit.
"Kita pergi, hal ini bukan apa-apa bagi Senkora!" katanya tersenyum sinis, lalu dia bangkit dari duduknya, wajahnya kembali merah karena amarah.
Sesampainya di rumah sakit, mereka bertiga menghampiri Hanabi yang sedang berdiri sendiri di dekat pagar rumah sakit.
"Mana dia?" tanya Senkora menatap Hanabi, sementara tanganya memegang pisau.
"Dia di dalam....." jawab Hanabi melirik pisau di tangan Senkora. Lalu dia memperhatikan mimik wajah Senkora.
"Diriku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri, Hanabi!" ucap Senkora.
Hanabi menepuk dan menggoyang-goyangkan tubuh Senkora.
"Sadar, Sen, sadar, adikku tidak pernah membunuh karena ingin, sadar! Kau yakin ingin membunuhnya dalam keadaan dia sekarat?!" kata Hanabi dengan nada tinggi.
Rytaka dan Iel saling pandang sambil mengerutkan dahi. Tiba-tiba mereka melihat Ibbey dari jauh sedang berjalan ke arah mereka.
"Itu kakaknya onti Tane, kesini." bisik Rytaka.
Senkora membalikkan badannya, dia melihat Ibbey, seseorang yang pernah memintanya untuk tetap hidup, mendekatinya.
"Apa kabar, Senkora, dirimu baik-baik saja?" tanya Ibbey menatap Senkora.
"Hmm."jawab Senkora singkat.
"Ada hal penting yang ingin kuberitahu, bisakah kita pindah tempat?" tanya Ibbey menatap mereka bergantian.
"Oh, tentu!" jawab Hanabi memegang tangan Senkora yang sedang menggenggam pisau.
"Baiklah, kita ke belakang aja!" kata Ibbeu sambil berjalan menuju belakang rumah sakit.
Mereka berlima berdiri menghadap lautan. Senkora berdiri di samping Ibbey dengan perasaan tak menentu.
"Baik, sebelumnya apakah dirimu tahu alasan Tane meninggalkanmu, Senkora?" tanya Ibbey melirik Senkora.
Senkora diam, pandanganya lurus ke depan, sementara kedua jemari tangannya gemetar menahan emosi.
"Dia meninggalkanmu bukan karena dia tidak mencintaimu lagi, Senkora. Dia meninggalkanmu untuk menyelematkan nyawamu yang saat itu sedang di incar oleh kakaknya sendiri. Dia pergi agar dirimu tetap bisa hidup, Kora." tutur Ibbey dengan mata berkaca-kaca.
Ryataka, Iel dan Hanabi saling pandang, mereka sangat terkejut mendengarkan perkataan Ibbey.
"Maksudnya?" tanya Senkora melirik Ibbey sambil mengerutkan dahi.
"Iya, Tane yang selama ini kenal ternyata bukan seorang gadis biasa. Dia adalah Xixi Xionjau Barzini, anak perempuan satu-satunya dari keluarga besar mafia yang cukup berpengaruh. Dua minggu sebelum dia meninggalkan kota ini, dia berjuang sendirian, berusaha mempertahankanmu dan melindungimu, Kora. Setiap hari pikirannya tidak tenang, karena orang-orang utusan kakaknya selalu memantau dirimu dan siap menembak kepalamu kapan saja...."
Senkora terkejut, begitupun dengan Hanabi, Rytaka dan Iel. Pisau dalam genggaman Senkora akhirnya jatuh.
"Ternyata hal itu yang sedang dia tutupi.." ucap Senkora datar.
"Iya, dia berhasil menutupi lukanya sendirian sampai akhir, Kora. Bahkan di hari terakhirnya di sini, dia masih melindungimu, kakakmu dan juga Ryataka."
Mereka semua mengerutkan dahi.
Ibbey lalu menceritakan, bahwa di hari itu kakak Tane datang dengan niat ingin membunuh Senkora, Galaxi dan Rytaka. Karena kakaknya tahu semua hal yang terjadi pada Tane.
"Hari itu adalah hari paling berat dalam hidupnya. Dia terpaksa meninggalkanmu dan kota ini agar semuanya baik-baik saja, terutama dirimu, Senkora. Dan yang paling menyedihkan bagiku sendiri adalah, selama di sana dia menahan semua rasa sakit itu sendiri, rasa sakit karena merindukanmu. Dan sekali lagi dia harus terluka oleh perlakuan keluarganya sendiri.." tutur Ibbey menahan air mata.
"Apa yang dilakukan keluarganya?" tanya Senkora.
"Aku tidak tahu pasti, yang jelas itu sangat melukainya, dia kecelakaan sehingga menyebabkan kepalanya bermasalah dan harus dioperasi. Mungkin karena dia sudah tidak kuat menahan sakitnya sendirian, dia memintaku untuk menjemputnya kesana. Kora, kurasa cinta Tane lebih besar dari cintamu, sampai dia rela mengikhlaskan kebahagiannya agar kau tetap hidup. Dan dia rela menanggung kesedihannya karena tidak bisa bersamamu."
Senkora merasakan dadanya terasa sakit, matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya sesak, dia berkali-kali mengambil napas lalu menghembuskanya dengan gemetar.