"Hmm ..., apa ya ..., sejujurnya, aku tuh prihatin banget sama keadaan-keadaan kita sekarang, saat ini. Yang penegakan hukumnya masih tumpul banget dan lunglai untuk ranah-ranah basah dan yang di atas-atas itu, terutama untuk kasus-kasus korupsi yang super duper besar itu ya. Trus belom dengan 'akhlak' para pejabat dan para wakil rakyatnya yang pada rajin nilepin duit rakyat, gak di mana-mana posisinya dan jabatan-jabatannya, adaaaa aja kasus-kasusnya. Belom lagi suap-suap, pungli-pungli, birokrasi-birokrasi yang ribetnya minta ampun.
Trus lagi, kemiskinan-kemiskinan dan pengangguran-penganggurannya yang makin meningkat di mana-mana, yang malah udah makin banyak digitalisasi kerjaan-kerjaan kan, apalagi sekarang makin makin berkembang AI, dan temen-temennya. Harga-harga bahan pokok sering gak stabil, malah kadang meroket terus. Lalu kualitas-kualitas SDM kita, yang padahal udah lebih dari 25 tahun loh reformasi 98 kan? Tapinya ....."
"Ckckck masyaallah Dindaaaa, Dinda ," Angga melongo berat. Berat, Saudara-saudara!
"Hmm ..., Din ...."
"I iya, Mas, kenapa?" Dinda takut kalau-kalau ia salah ngomong.
"Tiba-tiba jadi inget masa kecil aku, beneran!"
"Hah?? Beneran, Mas??" gak percaya juga si Dinda ini rupanya.
"Oh iya, ini emang belum aku ceritain sih tadi. Jadi, pas waktu aku kecil itu aku sering banget rebah-rebahan di pangkuan kakekku pas beliau nonton tv. Aku suka rebah-rebahan kayak gitu karena kakekku itu suka ngusap-ngusap kepalaku. Kan enak ya? Jadinya pengen rebahan terus di pangkuannya, hahahaa!"
"Hahahaaah ya juga. Terus terus, Mas?"
"Ya sebagai 'konsekuensi'nya, aku jadi ikut-ikutan nonton tv. Nontonnya lebih ke berita sih. Ya udah deh sejak saat itu kakek tuh sering ngejelasin ini berita apa, ini berita apa, dan kadang suka ngomentarin juga."
"Oooh jadi kayak ngedongengin gitu ya. Seru deh kayaknya."
"Iya dongeng, tapi ini kisah-kisah asli, nyata. Asik kaan?"
"Hahahaaah, iya bener bener bener," sambut Dinda .