Cara termudah menghadapimu adalah dengan berlari.
Menjauh untuk menghentikan situasi
agar aku tidak perlu tersakiti lagi.
***
Elata tidak pernah memukul siapa pun di muka Bumi ini. Namun, sekarang pilihannya hanya dua. Melarikan diri atau mencari masalah dengan menyelamatkan laki-laki yang tengah dikeroyok tiga orang preman itu.
Sebagai Ketua Ekstrakurikuler PMR, metode yang diketahuinya hanyalah menutup luka. Jadi, untuk pengalaman pertamanya dalam hal memukul, Elata menggunakan tas ransel miliknya yang berisi buku dan melemparkannya pada salah satu preman berbadan paling besar.
Pengeroyokan itu berhenti, seperti yang diharapkan Elata. Namun, ketiga preman itu mengalihkan perhatian kepada Elata yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“MAU APA LO?” teriak salah satu preman berbadan besar dengan banyak tato tidak jelas dan rambut kuning.
“Jangan berantem di sini, Bang. Entar, saya laporin satpam.” Jawaban Elata membuat ketiga preman tertawa.
Elata mulai menarik mundur sepeda kesayangannya ketika preman-preman itu mulai mendekat ke arahnya. Dia ingin melarikan diri dan memperhitungkan jarak tempuh antara jalan sepi di belakang sekolah ini dengan gerbang sekolah. Namun, matanya tertumbuk ke arah laki-laki yang dikeroyok tadi, yang ternyata berseragam sama seperti Elata dan sudah terbaring tidak bergerak.
Preman yang dilempari ransel oleh Elata tadi menelitinya. “Dari tampilan lo, kelihatannya anak tajir. Kalo enggak mau ribut, bagi duit lo sama kita.”
“Hari ini, saya enggak bawa dompet, Bang,” jawab Elata jujur. Saat berganti ransel tadi, dia lupa memindahkan dompetnya.
“Halah, cepetan!” Si preman teringat ransel yang dilempar Elata, lalu mulai mengacak-acak isinya. “Buku semua!” gerutu preman itu.
“Ya, kan, saya mau sekolah, jadi bawanya buku.”
“Heh, lo jangan main-main, ya, sama gue! Mana duit lo?!”
Elata mundur semakin jauh. “Kok, jadi maksa, sih. Itu malak namanya, Bang.”
“Gue emang lagi malak lo, Bocah!” Dari tempatnya berdiri, Elata melihat tubuh laki-laki yang terbaring di aspal itu bergetar. Cowok itu meringkuk memegangi perutnya, sepertinya sudah sadarkan diri, dan Elata berharap untuk ditolong olehnya.
“Tapi, emang enggak ada,” Elata mencengkeram setang sepedanya dengan kencang saat salah satu preman itu memperhatikannya lagi.
“Lo pake kalung,” ujar preman itu kemudian. “Kasihin
itu, baru gue kasih lewat.”
Kali ini, Elata melepas sepedanya hingga sepeda itu
jatuh, lalu beranjak mundur. Dicengkeramnya kerah seragam untuk menutupi kalung di lehernya. Kalau sudah begini, sepertinya dia lebih memilih mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari saja. Atau, mencari pertolongan orang lain di daerah sini.
Namun, tangannya keburu ditarik dari dua arah berlawanan.
“Tolong! Tolong!!!” teriak Elata, mengentakkan tangan mencoba melawan. Jeritannya berakhir di udara dan memperburuk rasa takutnya. Preman itu lalu merenggut kalung Elata hingga rantainya putus.
Elata semakin berontak, tapi tidak berpengaruh sama sekali. Dia hendak memohon agar kalungnya bisa kembali, ketika sebuah papan luncur mendarat mengenai preman itu.
Preman itu langsung jatuh terkapar. Dua anak buahnya yang tadi menahan Elata pun melepaskan Elata dan menghampiri bos preman yang memegangi wajah dengan kesakitan. Elata langsung mundur. Ternyata, serangan itu berasal dari cowok yang dikeroyok tadi.
Cowok itu sudah bisa berdiri tegap, lalu berjalan ke arah Elata sambil menurunkan hoodie yang menutupi kepala. Mata Elata membulat, denyut jantungnya juga terpacu lebih cepat.
Cowok itu memiliki rambut berantakan yang dicat abu-abu gelap, dengan mata teduh yang biasanya hanya ada di dalam komik atau anime. Dia belum pernah melihat seseorang dengan gurat wajah sesempurna itu.
“Berengsek!” Umpatan salah satu preman tadi membuat Elata terlonjak kembali.
Cowok itu juga berbalik. Elata yang sekarang berada di belakang punggung cowok itu, menilik dari balik lengannya. “Eh, tadi, kan, gue udah nolongin lo. Sekarang gantian, mereka ngambil kalung gue. Mintain balik, dong,” ujar Elata sambil dengan takut-takut melihat ke arah preman tadi.
“Kita sebaiknya minta maaf dulu baru mintain kalungnya atau gimana?” bisik Elata pada cowok di hadapannya, yang sejak tadi hanya berdiri diam. “Lagian, ngapain dilempar pake papan, sih? Itu muka orang.”
Tiba-tiba, cowok berambut abu-abu dengan parfum sangat wangi itu menarik tangan Elata dan membawanya berlari.
Para preman itu langsung mengejar mereka. Tidak ingin tertinggal dalam pelarian itu, Elata berusaha mengimbangi langkah panjang cowok itu. Elata menoleh ke belakang, lalu ke depan, kemudian menoleh ke belakang lagi dan menatap pilu ke arah sepedanya, ranselnya yang berserakan di jalan, sedangkan dia sekarang berlari ke arah yang sebaliknya.
Sepertinya, Elata akan terlambat masuk sekolah. Padahal, dia tidak pernah terlambat ke sekolah, kecuali untuk kepentingan perlombaan PMR. Lalu, kenapa juga Elata membiarkan cowok yang membuat jantungnya semakin berdegup cepat itu membawanya?!
***
Elata semakin menyadari jika berlari memang bukan keahliannya. Napasnya terengah hebat. Permasalahannya adalah satu langkah lebar dari cowok yang tengah menariknya ini sama dengan dua langkah miliknya.
“Ini ... gue ... bisa ....” Pingsan, maksud Elata, tapi kalimatnya terhenti karena tenaganya sudah terkuras.
Cowok itu berbelok menuju gang kecil berdinding batu. Melangkah pasti seolah sudah hafal mana wilayah yang harus dihindari. Preman di belakang masih berteriak dan mengejar, sayup-sayup mengumpat dan menyuruh mereka berhenti.
Gang itu berujung pada jalan lain yang sama sepinya dengan sebelumnya, tapi kini hanya ada rumput tinggi dan semak-semak berduri di sekitar mereka. Elata merasa “pelarian” ini tidak membuat situasi menjadi lebih baik.
Dia menoleh ke belakang, bertepatan dengan kakinya yang tersandung batu.
Elata tersungkur. Cowok di depannya turut berhenti karena tangan mereka yang terpaut. Kaki Elata tergores aspal, berdarah, tapi serangan adrenalinnya mengalahkan rasa sakitnya.
“Bisa bangun?” Cowok itu bertanya.
Elata mengangguk dan mencoba berdiri. Namun, Elata kembali terduduk dan cowok itu langsung memeganginya.
“Enggak usah dipaksa.”
“Tapi, premannya ... kita bakalan ketangkep.”
Preman yang mengejar mereka berhasil menyusul, seketika menyeringai saat melihat Elata yang tidak mampu berdiri. “Percuma kabur, Anak Kecil. Lo berdua enggak bakal bisa lolos dari gue! Ini daerah kekuasaan gue!”
Cowok beraroma wangi itu berdiri di depan Elata, menyembunyikan Elata di balik punggung tegapnya.
“Denger,” ujar cowok itu, tanpa menoleh padanya.
“Saat hitungan ketiga, lo harus lari. Ambil jalan yang kita lewatin tadi.”
“Terus, lo gimana?”
“Gue bisa tahan mereka.”
Tidak seharusnya Elata merasa khawatir karena dia bahkan tidak mengenal cowok itu. “Tapi, lo sendirian, lo bisa celaka.”
Preman-preman itu semakin mendekat, membuat Elata dan cowok itu terjepit.
“Satu.” Cowok itu mulai menghitung.