Cukup hadirnya saja yang diam-diam.
Kalau pergi, bilang-bilang.
****
Sepeda putih dengan corak silver ini tanda bahwa Elata masih memiliki sebagian kecil kehidupannya. Terlalu berlebihan mungkin, tapi memang hanya benda ini yang berhasil dia pertahankan di antara rentetan tuntutan lainnya.
Pagi itu, Elata mengayuh sepeda keluar dari kompleks perumahan, kemudian berbelok ke ujung jalan. Dia mencengkeram remnya kuat-kuat saat melihat sesosok pemuda berjaket hitam dengan rambut abu-abu yang tengah berjalan ke arahnya. Wajah pemuda itu tertunduk, sedangkan Elata terdiam kaku. Lebih tepatnya, Elata tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Ketika pemuda itu mengangkat wajahnya, Elata membuang napasnya kasar. Pemuda itu hanya berjalan lurus melewatinya. Itu bukan cowok yang tempo hari menarik Elata untuk kabur dari preman, bukan cowok yang menarik perhatian Elata lebih banyak dari seharusnya.
Tapi, kenapa juga Elata memikirkannya? Seharusnya, dia berdoa agar mereka tidak pernah bertemu lagi.
Orang pertama yang dilihat Elata di depan gerbang sekolah adalah Mona. Cewek itu masih saja sering merongrong Elata untuk bercerita tentang cowok yang memKetika Dia Datang bawanya lari tempo hari. Padahal, Elata sudah menceritakan walau hanya sedikit.
“Udah, deh, enggak penting,” ujar Elata saat mereka sampai di kelas. “Gue juga enggak tahu siapa dia.”
“Karena, cerita lo berpotensi buat ide gue nulis. Hehehe....,” sahut Mona cengengesan.
“Masih nulis di Wattpad?”
“Iya, dong. Followers gue masih dikit, nih. Coba Wattpad kayak Instagram, bisa beli followers, kan, jadinya gampang.”
Elata terkekeh. “Kalo mau banyak pembaca, ya, lo harus punya karya. Jangan kebanyakan ngeluh, tapi enggak ngehasilin apa-apa. Maunya serba-instan.”
Mona mencibir. “Iya, iya, ini makanya gue minta lo cerita. Kali bisa jadi inspirasi gue.” Mona mengeluarkan catatannya. “Jadi, setelah lo dibawa kabur, terus lo kejengkang, dia enggak ninggalin lo?”
Elata mengeluarkan buku sambil menahan kesal, garagara Mona Zubaidah mengingatkannya lagi pada kejadian itu. “Hm ....”
“Terus, dia ngorbanin dirinya supaya lo bisa kabur gitu?”
“Hm ....”
“Terus, lo beneran lari dan ninggalin dia gitu aja? Dia dipukulin, dong?” Mona mendekap buku catatannya. “Kok, gue dengernya malah jadi sweet gitu, sih .... Gue juga mau.... Terus, terus, gimana penampilannya? Cakep, enggak?”
Untungnya, guru mereka sudah datang. Elata pun terbebas dari pertanyaan Mona. Namun, Elata malah jadi terbayang lagi wajah cowok itu, yang menurutnya tidak biasa untuk ukuran orang Indonesia. Mungkin, dia berdarah campuran. Kulitnya yang putih bersih sangat kontras dengan rambutnya yang abu-abu.
Noah. Nama yang didengarnya waktu si preman memanggil cowok itu. Elata tidak bisa memungkiri bahwa dia sebenarnya penasaran. Dia bahkan tidak melupakan bagaimana tatapan tajam cowok itu, suara berat nan lembutnya, genggaman tangan kuatnya yang ....
“Anak-Anak, tolong perhatian sebentar ....”
Elata mengerjap. Perhatiannya teralih ke depan kelas. Tiba-tiba, dia terkejut, matanya membelalak.
“Hari ini, kita kedatangan anak baru pindahan dari Sekolah Dharma.”
Anak baru itu mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, sampai akhirnya bertatapan dengan mata Elata. Elata langsung mengangkat buku dan menutupi setengah wajahnya.
“Kalian bisa berkenalan nanti saat istirahat, lalu kamu....” Ibu Sofa menjeda kalimatnya, hanya untuk memberikan sebuah serangan telak bagi Elata. “Kamu bisa duduk di kursi kosong itu. Di sebelah Elata ....”
Karena, degup jantung Elata berpacu dan perutnya seolah diaduk hingga membuatnya gemetar, tidak sulit menebak siapa anak baru itu, bukan?
****
Bagaimana cara Elata menjelaskan situasi dirinya yang tiba-tiba saja ingin melarikan diri dari kelasnya sekarang ini?
Semua cewek di kelas tampak terkesima, bukan hanya karena wajah tampan bersinar cowok itu, melainkan juga bagaimana cara Noah berjalan melewati deretan kursi dengan satu tangan tenggelam di saku. Tapi, tidak dengan Elata yang justru semakin berusaha menenggelamkan wajahnya di balik buku.
Kursi di sebelah Elata bergeser, disertai ransel yang diletakkan di meja. Aroma yang dia kenali tercium. Elata menebak-nebak kapan cowok itu akan menyapanya, seketika dia jadi ketakutan.
Dia. Mantan. Narapidana. Sangat wajar jika Elata takut. Kenapa sekolah ini bisa menerimanya begitu saja?!
“Elata.” Panggilan itu berasal dari depan kelas dan Elata menegakkan tubuh tanpa menurunkan buku. “Nanti istirahat antarkan Noah mengambil buku paketnya di perpustakaan. Untuk sementara, kalian berbagi buku dulu.”
Elata menuai banyak tatapan iri, memuja, dan entah apa lagi yang tidak bisa dia teliti satu per satu dari temantemannya. Dia menurunkan buku paketnya, lalu menggesernya perlahan hingga buku berada di tengah.
Ketika pelajaran dimulai, getaran ponsel mengalihkan kecemasan Elata yang belum juga hilang.
Mona Zubaidah: OMG. OMG. OMG. OMG. OMG. OMG.
Elata langsung membalas.
Peristeria Elata: DIEM! Ini gara-gara lo pindah demi sebangku sama Ginan! Temen macem apa lo?!
Mona Zubaidah: Eh, jangan gitu, dong, Cintaku. Lo mau tuker? Ya, udah gue ikhlas, deh.
Peristeria Elata: Terus, gue sebangku sama pacar lo, dong?!
Mona Zubaidah: Ini, nih, dilemanya kalo udah punya pacar, gue enggak bisa mengusahakan kesempatan bersama cogan yang lebih memadai. Itu makhluk cakep banget.
Elata mengabaikan pesan itu dengan dengusan kesal. Dia pun tidak bisa mencerna semua materi pelajaran. Dia duduk gelisah sambil memainkan pulpen.
Ponselnya bergetar lagi.
Mona Zubaidah: Kok, cuma di-read? Lo lagi mengusahakan cogan, Ta? Gue bantu dari sini. Pertama-tama, lo purapura pingsan, terus nyender di bahu Noah. Gih, buru .... Gue bantu itung sampe tiga, nih.
“Apaan, sih!” dengus Elata semakin kesal. Elata pun memasukkan ponsel ke tas, kemudian beralih menggigiti ujung pulpen.
Hal yang membuat Noah melirik ke arah Elata.
****
Dia lucu.
Itulah kesan pertama Noah saat melihat cewek itu berusaha menolongnya dari Jaki tempo hari. Tidak menduga sama sekali bahwa mereka akan bertemu kembali dengan cara seperti ini.
Cewek bernama Elata itu terlihat sangat terkejut. Saat Noah berdiri di depan kelas tadi, dia sudah bisa mencium ketakutan Elata. Hal yang wajar menurut Noah. Makanya, Noah tidak menyapa dan memilih diam agar Elata bisa tenang memperhatikan pelajaran.
Saat jam istirahat tiba, Noah pun menjadi serbasalah. Apakah sebaiknya dia menyapa dulu atau pergi ke perpustakaan sendirian saja tanpa harus dibantu? Namun, tepukan ringan di bahunya membuat dirinya menoleh.
“Ikut gue,” ujar Elata, tidak menatapnya dan berdiri lebih dulu melewati kursinya. Noah mengikuti Elata melewati lorong yang dipenuhi siswa. Sering kali, dia mendapat tatapan terbelalak takjub dari para cewek dan tatapan masam dari para cowok, yang tidak terlalu mengejutkan bagi Noah. Pandangan matanya lurus mengikuti Elata.
“Ta, anak baru, ya?” sapa seseorang yang secara terangterangan menatap Noah dari atas sampai bawah.
“Iya, anak kelas gue. Mau kenalan? Entar dulu, deh, ya, gue selesaiin tanggung jawab gue dulu sama, nih, anak.”
Semakin jauh langkah mereka, berlanjut pula pertanyaan serupa dari orang-orang yang berbeda. Bahkan, ada seorang cewek yang berani mengambil tangan Noah untuk berjabat tangan. Elata menarik cewek-cewek itu menjauh dari Noah.
Tingkah lucu Elata membuat Noah tanpa sadar tersenyum di belakang langkah cewek itu. Elata tidak berani menatapnya, tapi berani menggandeng tangannya agar bisa lolos dari cewek-cewek yang ingin mengajaknya berkenalan. Hal yang mengejutkan, tetapi Noah menikmati reaksi Elata tersebut.
Begitu sampai di perpustakaan, Elata cepat-cepat melepas gandengan mereka. Kecanggungan cewek itu membuka pintu ganda semakin membuat Noah gemas.
“Pak Norman, saya disuruh Bu Sofa nganter anak baru ngambil buku paket,” ujar cewek itu tidak sabar begitu berada di dalam.
“Oh, iya, tadi Bu Sofa udah bilang juga. Tapi, masih ada buku yang belum lengkap, tolong kamu ambilkan bisa? Di rak 17D.”
“Yah ... Bapak ...,” ujar Elata memelas. “Aku mau ke kantin. Udah laper banget, dari kemarin lupa makan. Nanti kalo aku pingsan suka minta macem-macem, lho.”
“Kenapa sampai lupa makan?”
“Karena, enggak ada yang ngingetin saya makan,” cewek itu nyengir. “Saya, kan, jomlo. Enggak kayak Bapak yang punya Bu Sofa.”
Noah tersenyum lagi melihat Elata yang berani melawak hingga Pak Norman tergagap. “Kamu ini, yah.” Wajah bapak itu berseri malu. “Ya, udah, biar Bapak yang ambil.”