Asal mulanya itu sekadar ingin tahu,
lalu lama-lama jadi rindu.
****
“Pagi, Tuan Putri ...,” sapa Mona dengan cengiran saat Elata sampai di mejanya. “Lebih ceria dikit, dong, tuh, muka menghadapi dunia ini. Apa kata pangeran yang duduk di sebelah lo nanti, coba?”
“Ginan,” panggil Elata. “Cewek lo centil, tuh.”
Ginan yang sepagi itu sudah asyik dengan online gamenya, menyahut tanpa menoleh. “Emang centil orangnya.” Mona mengambil buku dan menggulungnya seolah itu sebuah mikrofon, lalu disodorkannya ke arah Elata. “Jadi, gimana hubungan lo sama Pangeran? Udah chatting-an membicarakan soal kerajaan? Pemerintahan kayak gimana yang mau lo ambil?”
Elata memutar bola matanya. “Kasihan orangtua lo, Mon. Capek-capek nyekolahin anaknya malah gini.”
“Sial!” Mona memukul lengan Elata dengan buku. “Lo, tuh, disayang Tuhan. Dijatuhin cowok sebening Noah dari langit, tapi lo abaikan begitu saja. Kasihan gue sama nasib asmara lo di sekolah ini.” Mona memasang tampang sedih untuk mengoloknya. Elata sudah sering mendengar temannya itu mengeluhkan sikapnya yang selalu menolak dekat dengan lawan jenis. Elata yang enggan untuk membahasnya memilih menyiapkan bukunya di atas meja. Meski tetap saja, matanya terus teralihkan pada kursi yang masih kosong di sampingnya.
Terlalu aneh untuk dikatakan jika Elata lebih memikirkan keadaan Noah daripada sepeda yang dia tinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Paginya yang berjalan penuh kekhawatiran ini membuktikan bahwa Noah memang sudah benar-benar mengambil alih pikirannya. Sepertinya, cowok itu tidak akan masuk hari ini.
“Ta, Ta,” Mona menjulurkan tangan ke belakang dePerebutan Takhta ngan heboh. “Lihat, tuh, siapa yang dateng.”
Elata mendongak dan cowok yang dimaksud Mona menghampirinya dengan senyum cerah.
“Pagi,” sapa Rafa. “Jangan cemberut gitu, dong, Ta.Kan, gue udah nyamperin.”
“PD gila!” komentar Ginan.
Rafa hanya tertawa, seolah dia sudah terbiasa menggoda Elata di depan banyak orang. Cowok itu duduk di kursi Noah dan menghadap Elata.
Elata memundurkan kepalanya. “Mau ngapain?”
“Gue penasaran,” ujar Rafa. “Kenapa lo enggak suka sama gue, sih?”
“Gue enggak pernah bilang enggak suka sama lo.”
“Jadi, lo suka?” Rafa semringah. “Bisa pacaran, dong, kita.”
Mona menirukan suara muntahan, disusul oleh Ginan yang mengikuti.
“Rafa, gue enggak mau pacaran.”
“Yakin? Gue cukup ahli bikin cewek berubah pikiran.”
Mungkinkah karena mereka yang sudah duduk di kelas 3, membuat Rafa nekat mendatanginya seperti ini. Kalau benar begitu, Elata pun harus memperjelas sampai ke akarnya.
“Pikiran gue enggak bisa diubah. Lo cuma tertarik sama gue karena gue enggak kayak cewek lain yang langsung naksir lo pas pandangan pertama. Ditambah, gue emang enggak bisa pacaran. Jadi, mending lo balik ke kelas, terus nyari cewek lain yang lebih cocok sama lo.”
Kali ini, wajah Rafa berubah serius. “Seenggaknya, lo bisa nyoba jalan dulu sama gue,” cowok itu menggeser duduknya. “Lo mungkin cuma takut karena banyak aturan dari orangtua.”
Elata memandang sekeliling dengan gusar. Mereka sudah menarik perhatian beberapa teman sekelasnya.
“Kasih gue kesempatan. Kita bisa sembunyiin hubungan dari orangtua lo. Enggak masalah kalo ....”
“Permisi,” suara rendah nan dalam itu memotong ucapan Rafa. Membuat Elata langsung mendongak dan membuat Rafa menoleh.
“Yang, Yang,” bisik Mona pada Ginan. “Udahan dulu main game-nya, ada yang seru ....”
“Ini kursi gue,” lanjut Noah setelahnya.
Elata yakin, tampilan wajah Noah dengan plester luka serta lebam kehitaman di beberapa bagian yang semakin menarik perhatian seluruh anak di kelasnya.
Begitu pula Rafa. “Eh, lo yang anak baru itu?” Rafa bangkit. “Sorry, gue tadi lagi ada perlu sama Elata.”
Noah mengangguk. Meski, dia sudah bisa duduk di kursinya, dia tetap berdiri berhadapan dengan Rafa. Mereka memiliki tinggi yang sama.
“Ta, Ta,” Mona segera mengambil ponsel, membuka aplikasi Wattpad-nya. “Bisa gue jadiin cerita, nih. Perebutan takhta antara Pangeran dan Jenderal Perang. Pinter, ya, gue, Ta. Ck, ck ....”
Elata tidak menggubris, hanya memperhatikan Noah yang tidak kunjung duduk. Cowok itu seolah menunggu sampai Rafa pergi.
“Kenalin, gue Rafa. Ketua OSIS sini.”
Noah menyambut perkenalan itu. “Gue Noah.”
Rafa menepuk bahu Noah, bersikap akrab. “Kalo lo butuh apa-apa, jangan sungkan dateng ke gue. Kali aja lo mau gabung tim olahraga atau apa gitu. Secara, gue ketua OSIS.”
Noah hanya mengangguk. Di saat Rafa begitu bersemangat menceritakan olahraga apa saja yang menyenangkan, Noah hanya diam mendengarkan. Jika bukan karena guru yang memasuki kelas, mungkin Rafa tidak akan meninggalkan kelasnya. Rafa masih sempat memandangnya dan mengisyaratkan bahwa mereka bisa bicara lagi nanti.