Saturday, January 30, 2016
Setiap orang memiliki goal masing-masing dalam hidupnya. Ada orang yang goalnya adalah bisa membeli rumah bertingkat, minimal dua mobil, dan memiliki tabungan yang lebih dari cukup untuk keluarga—money oriented. Ada orang yang ingin keliling dunia, menghirup wangi angin yang berbeda di setiap negara—dan di luar itu, masih banyak lagi.
Dan ada aku. Goal yang ingin aku raih suatu hari nanti tidak muluk-muluk—punya suami perhatian, sayang keluarga, mampu menafkahi keluarga, dan yang paling penting: setia. Tolong capslock dan tekan ctrl+B untuk kata “setia”. I’ll tell you why later.
Dan by the way, aku sudah mencapai goal itu—tiga bulan yang lalu. Orang yang aku cita-citakan itu kini sudah berada tepat di sampingku dan aku sedang mendengar dengkuran halusnya tepat di telingaku. Dan sekarang jari-jarinya mulai bergerak-gerak di atas perutku, kelopak matanya mulai memaksa membuka.
“Good morning...” bisikku halus sambil mencium keningnya.
Dia tidak membalas. Hanya segurat senyuman yang kunilai sama artinya dengan “Good morning, sweetheart. Thank you for being my wife and I love you so much”. Maaf kalau agak berlebihan.
Aku akhirnya bisa bergerak bebas setelah semalaman tubuhku dibekap dengan tangan laki-laki yang ukurannya dua kali lebih besar dari lenganku.
“Aku bikin sarapan dulu, ya,” kataku sambil akan turun dari kasur.
“No need. Mau peluk-pelukan dulu dong,” cegahnya sambil menarik tubuhku kembali ke atas kasur.
“Dasar. Kalau nanti pas kerja kelaperan dan nyalahin aku nggak kasih kamu sarapan, awas ya,” kataku ketus.
Dia hanya tersenyum dan merespon perkataanku dengan mencium leher dan lenganku berkali-kali.
Alex. Kami kenal sudah cukup lama, sekitar dua tahun yang lalu. Awal perkenalan kami cukup unik, aku melamar pekerjaan di café miliknya.
Waktu itu aku berumur 23 tahun dan Alex 28 tahun. Aku yang masih fresh graduate, belum mendapatkan tanda-tanda dari perusahaan yang dengan senang hati menerimaku menjadi bagian dari “keluarganya”. Akhirnya demi ada uang saku setiap hari, aku bekerja di café Alex, sebagai barista (aku merasa cukup keren bisa bekerja di bagian ini) dan sekaligus sebagai kasir.
Alex nggak pernah memposisikan dirinya sebagai bos dan karyawan-karyawannya sebagai bawahan. Dia juga melayani pembeli-pembelinya sendiri sebagai pelayan, membersihkan meja-meja dan makanan sisa—semua itu menurutnya sangat lazim dilakukan olehnya—yang adalah pemilik café.
Tapi, di balik sifat low profile-nya itu, ada satu sifat yang membuat tidak semua orang bisa mengerti. Orangnya adalah tipe cowok yang datar kalau ngomong, diam kalau marah, dan straight to the point. Pusing nggak tuh? Tapi, dia tipe cowok baik dan ramah kok kalau baru pertama kali ketemu.
Aku jadi ingat waktu datang melamar ke café-nya—café Alex ini merupakan tempat bersejarah yang menjadi saksi perjalanan cintaku dengan Alex. Waktu itu café sedang cukup ramai karena hari kerja dan sedang jam makan siang.
Banyak orang kantoran yang malas mencari tempat makan siang jauh-jauh dengan dispensasi waktu istirahat kurang lebih satu jam dan macetnya Jakarta yang sudah sangat terkenal—akhirnya menjatuhkan pilihan kepada café Alex sebagai solusi tempat makan siang ter-dekat dan ter-efektif.
Agak kurang enak ya, menyebut café milik Alex sebagai “Café Alex”. Well, nama café-nya adalah The Prescription—artinya resep dalam ranah medis atau surat rekomendasi dari dokter. Agak bertolak belakang memang istilah berbau medis digunakan untuk nama sebuah café. Namun, begitu masuk ke dalam café ini, kalian akan mengerti mengapa nama yang dipilih adalah The Prescription.
Konsep café yang dibangun Alex ini sangat unik. Daftar menu di café itu ditulis dengan bentuk acak-acakan seperti tulisan dokter dan orang awam hampir dijamin tidak bisa membacanya. Di samping tulisan tak terbaca itu diselipkan kode seperti kode obat untuk memudahkan pelanggan memesan menu yang diinginkan.
“Aku ingin pelanggan random milih menu mereka dan membuktikan bahwa menu apapun yang dipilihnya, rasanya enak,” kata Alex waktu itu ketika aku bertanya tentang konsep café-nya. Aku tertawa—ada-ada saja idenya.
Back to my-first-meeting-with-Alex, karena café-nya sedang ramai-ramainya waktu itu, aku memutuskan untuk membeli kopi dan cemilan secara random—karena aku juga benar-benar tidak mengerti apa yang kupesan—sambil menunggu kondisi café cukup kondusif untuk bertanya apakah café tersebut sedang ada lowongan pekerjaan.