The Prophetic Wisdom

Mizan Publishing
Chapter #3

Adam

Alkisah, suatu masa, ketika zaman tak bernama, Tuhan ciptakan alam semesta. Di Arasy-Nya yang agung, jutaan malaikat bertasbih, memuja, dan menyucikan-Nya, “Subhâna man azharal jamîl wa sataral qabîh. Mahasuci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk.” Begitu terdengar para malaikat mengulang-ulang kalimat suci. Allah, Allah, Allah.

Begitulah, hingga tiba suatu saat, ketika waktu belum terungkap, Tuhan yang Mahamulia berkata kepada para malaikat-Nya, “Akan Aku jadikan seorang khalifah di muka bumi.” Serentak malaikat bertanya, “Tuhanku, akankah Kau jadikan di sana, seorang makhluk yang berbuat keji, yang menganiaya dirinya dan menumpahkan darah sesamanya? Padahal kami memuliakan-Mu, memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan menjawab, “Aku lebih mengetahui apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya.”

Maka diciptakanlah makhluk bumi pewaris khalifah Ilahiah. Ialah manusia yang pertama. Tuhan memanggilnya Adam. Dihadapkannya ia pada para malaikat. Tuhan Yang Mahaagung berkata, “Malaikat-Ku, ungkapkan pada-Ku, rahasia-rahasia nama.” Malaikat tunduk dan berkata, “Mahasuci Engkau Tuhan kami, tidaklah kami ketahui apa pun melainkan pada-Mu seluruh ilmunya.” Tuhan berkata pada Adam, “Wahai Adam, tunjukkan pada malaikat-Ku, rahasia nama yang engkau ketahui.” Maka Adam pun menyebutkan rahasia nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya. Seketika itu juga, setelah Adam selesai bercerita, Tuhan Yang Mahakasih, berkata, “Wahai malaikat-Ku, tunduk dan sujudlah kalian kepada Adam.” Sontak, seluruh malaikat, yang telah menyembah Tuhan ribuan tahun lamanya, yang telah menghabiskan usia dalam ketakwaan dan kesucian, yang telah dekat kedudukannya, sehingga sampai di ‘Arasy Tuhan, sujud dan tunduk pada makhluk baru penghuni alam, yang dicipta dari tanah, manusia pertama: Adam ‘alaihis salâm.

Mahasuci Allah. Segala yang dikehendaki-Nya terjadilah. Makhluk yang dicipta dari tanah, kini menjadi khalifah. Makhluk yang mengetahui rahasia Tuhan menjadikan malaikat sujud kepadanya. Apakah gerangan rahasia yang diungkap Adam, hingga menjadikannya begitu mulia, bahkan di hadapan para malaikat sekalipun? Jalaluddin Al-Suyuthi, seorang ulama besar abad pertengahan, menulis dalam tafsirnya Al-Durr al-Mants ûr 1: 147 beragam kemungkinan nama yang diajarkan Tuhan: nama malaikat, nama benda, dan nama segala yang diciptakan dari tanah. Tetapi, pada bagian ketika kelak Adam bertobat, Adam menyeru Tuhan dengan “kalimat” (lihat QS 2:37). Jalaluddin Al-Suyuthi menafsirkan kalimat itu dengan nama orang-orang suci yang kemudian dilahirkan dari keturunannya. Merekalah Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Lima orang suci keturunan Adam keluarga Nabi akhir zaman.

Tetapi ternyata ada yang abai. Di antara malaikat, ada yang lalai, dengan sengaja berani membangkang Tuhan. Ialah Iblis. Manakala Tuhan Yang Esa memerintahkan malaikat untuk sujud pada manusia pertama, Iblis dengan angkuh berkata, “Tuhanku, Kau suruh aku sujud kepadanya, sedangkan ia terbuat dari tanah, sementara aku Kau ciptakan dari api. Tidak akan sekali pun aku sujud kepadanya!” Maka terusirlah Iblis2 dari naungan ‘Arasy Allah. Ia, yang beribadah kepada Tuhan selama ribuan tahun, karena pembangkangan atas perintah Ilahiah, jatuh, dari malaikat jadi makhluk yang paling dilaknat. Bukankah ini pelajaran bagi manusia, yang diangkat Tuhan jadi khalifah-Nya di bumi. Karena satu pembangkangan, Iblis terusir dari surga Tuhan. Karena berkata “Tidak!” pada perintah Tuhan, ia menjadi celaan sepanjang zaman.

Namun, Iblis berhati baja. Ia terima hukuman Tuhan. Dengan congkak, lagi-lagi ia berkata, “Tuhanku, penuhi permintaanku. Panjangkan usiaku, hingga hari semua anak Adam kembali kepada-Mu. Akan aku palingkan mereka dari sisi-Mu. Akan aku goda mereka dari ibadah kepada-Mu. Akan aku goyangkan keimanan mereka. Akan aku tiupkan prasangka dan bisik dosa.” Tuhan Maha Pengampun berkata, “Aku penuhi keinginan-Mu. Kau akan kekal hingga hari yang sudah ditentukan.”

Bukankah ada pelajaran bagi manusia. Tuhan, Yang Disanjung dan Dipuja, mengabulkan permohonan seorang makhluk yang paling terkutuk. Ia menjawab permintaan hamba yang terusir, yang lalai, abai, membangkang dan kufur. Maka apalagi bagi manusia, sang khalifah Tuhan di muka bumi. Ia boleh jadi lalai, ia mungkin abai. Ia lupa dan tenggelam dalam dosa. Tapi Tuhan Sang Maha Kekasih tidak akan pernah meninggalkannya. Tuhanlah yang berulang-ulang menyeru kedekatan-Nya pada hamba-Nya. Dialah yang tak henti-henti merindukan hamba-Nya kembali kepada-Nya.

Kemudian diciptakanlah bagi Adam seorang Hawa, pasangan untuk menemaninya dalam ibadah dan doa. “Sejahteralah kamu bersamanya,” firman Tuhan Yang Esa. Adam adalah bapak manusia. Tuhan ciptakan baginya bumi dengan segala yang ada di atasnya—samudra luas, bukit tinggi, rimba belantara—untuk kebahagiaan Adam dan anak cucunya, untuk kebahagiaan umat manusia. Diedarkan Allah mentari, rembulan, dan gemintang; diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman; semuanya untuk kebahagiaan manusia.

Tetapi Tuhan Yang Mahatahu memberikan lebih daripada itu. Diketahuinya getar dada kerinduan hati. Tuhan tahu, betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar, bukan saja kata yang diucapkan, melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan; yang mau menerima segala perasaan—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakan-Nya seorang kekasih. Tuhan tahu, pada saat kita diharu-biru, dihempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh lemah, dan memperkuat hati—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih. Tuhan tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian, lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih.3

Maka demikianlah tercipta Hawa bagi Adam. Kekasih untuk menemaninya dalam suka dan duka, dalam ujian dan impian. Bagi pasangan insan pertama, Tuhan berikan kenikmatan surga. “Makan dan minumlah dari apa yang tersedia. Asal jangan kalian dekati pohon di sana, supaya kalian tidak termasuk orang yang menzalimi dirinya,” firman Tuhan pada mereka. Namun, Iblis mulai berulah.

Ia dekati sepasang insan yang tengah dimabuk cinta. Pada Hawa, ia bisikkan: “Pohon itu akan membawa kalian pada keabadian cinta; Pohon itu akan membuat kalian kekal di taman surga.” Maka Hawa pun tergoda, Adam pun terlupa. Mereka langgar amanat Tuhan.

Bukankah ada pelajaran bagi manusia, ketika mereka jatuh cinta, betapa sering hati, perasaan, dan emosi, mengalahkan nalar, pikiran, dan logika.

Sungguh, ada hikmah pada cerita-cerita manusia terdahulu.

***

Kisah Adam berlanjut pada hikmah antara penciptaan manusia, Iblis, surga dan neraka. Alkisah suatu masa, ketika manusia baru dicipta. Malaikat yang berjuta serentak mengajukan tanya: Tuhan kami, akankah Kau ciptakan di bumi, makhluk yang berbuat nista, merusak dan menumpahkan darah? Padahal kami menyucikan-Mu, menyembah-Mu dan memuji-Mu? Allah Yang Mahakasih berkata: Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah: 30)

Ada hikmah di balik setiap kisah. Allah Yang Mahakuasa membiarkan malaikat-Nya bertanya. Allah Yang Mahasegala memberikan ruang untuk bicara. Dia yang bisa melakukan apa saja, memanggil para malaikat untuk bersama-sama menyaksikan sebuah awal dari sebuah kehidupan. Padahal Dia Mahasegala. Sekiranya Dia kehendaki, Allah akan jadikan Adam tanpa harus mengajak malaikat bicara, atau menghadapkan Adam pada mereka. Gerangan hikmah apa yang terkandung dalam cerita?

Even Angels Ask. Bahkan para malaikat pun bertanya4. Marilah kita bayangkan, marilah kita terbangkan imajinasi kita pada pertemuan agung antara Allah dan para malaikat. Para Malaikat yang sekian ribu tahun menyaksikan kebesaran Allah dan tak pernah sekali pun meragukan kekuasaan-Nya. Para Malaikat yang telah berkhidmat pada Tuhan sejak saat diciptakan. Para malaikat itu masih berani mempertanyakan “kebijakan” Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya. Tuhan Yang Mahakasih memberikan petunjuk bagaimana seharusnya kita bersikap, bahkan dengan mereka yang keberadaannya sering kita abaikan. Betapa sering kita mengambil keputusan, tanpa mempertimbangkan pendapat rekan dan kawan. Betapa banyak kita berbuat, dengan mengesampingkan perasaan kerabat. Tak terhitung jumlahnya kita bergerak, tanpa peduli keluarga dekat dan sanak.

Dalam diskusi, betapa sering kita menutup diri lantaran meyakini bahwa pendapat pribadilah yang paling teruji. Betapa banyak kita menutup mata, bahwa masih ada yang tersisa dari fakta. Tak terhitung jumlahnya kita berbicara tanpa memberi kesempatan yang lain untuk bersuara. Even Angels Ask. Dalam sebuah peristiwa mahadahsyat, Tuhan yang Maha Berbuat masih mengajak para malaikat-Nya dalam sebuah pengambilan keputusan, yang akan mengubah roda sejarah alam semesta. Bukankah pada hikmah itu, kita harus becermin diri?

Dalam hamparan waktu, malaikat berkata pada Allah, seolah mempertanyakan keputusan-Nya: Akankah Kau jadikan di muka bumi, makhluk yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah?

Apa yang menyebabkan malaikat berkata demikian? Adakah ilmu Tuhan yang telah diberikan pada mereka? Ataukah pernah di bumi ini hidup makhluk yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah?

Kisah yang dimuat dalam Al-Quran ini membagi pendapat ke dalam dua. Pertama, memang pernah ada makhluk yang tinggal di muka bumi ini sebelum Adam diturunkan. Kita boleh menyebut makhluk itu apa saja: sejenis jin, homo erektus, homo sapiens, homo ludens, atau hanya sekadar binatang melata. Tapi mereka berbuat nista, merusak, dan menumpahkan darah, sehingga bumi tak terkelola, dan Tuhan azab mereka dengan segera, sehingga tak tersisa sedikit pun dari mereka. Kedua, para malaikat diberi tahu dari pengetahuan Allah Yang Mahasempurna, bahwa suatu saat, kelak di muka bumi, ada di antara keturunan Adam yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah. Seolah sebuah garisan cerita dipaparkan pada skenario pertama.

Bukankah itu semestinya jadi peringatan bagi anak-anak Adam? Berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah adalah perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan peribadatan untuk menyucikan, menyembah dan memuja Allah Swt, tetapi juga adalah perbuatan yang dengan itu azab Tuhan turun dengan cepat kepada kita. Di bumi ini, hampir sulit tersisa, sepetak tanah, yang di situ darah suci tak tertumpah. Di bumi ini, hampir sulit tersisa, akhlak manusia yang tidak dibumbui nista. Di bumi ini, hampir sulit terasa, mencari manusia yang bukan saja tidak merusak bumi, tetapi justru menjaganya.

Ada, ada dan masih ada sisa-sisa segelintir keturunan Adam yang dibanggakan Tuhan di hadapan para malaikat-Nya. Lebih banyak dari keturunan Adam itu termasuk dalam orang-orang yang berbuat nista, merusak, dan menumpahkan darah. Di manakah Anda berpijak? Di tempat tercela yang segera mendatangkan amarah, siksa, dan murka? Di sudut terpencil muka bumi untuk menyembunyikan diri dari perbuatan keji? Apakah Anda bergabung bersama golongan makhluk yang dikatakan malaikat sebagai pembuat nista, kerusakan, dan penumpah darah? Ataukah Anda berdiri sebagai segelintir akhir dari keturunan Adam yang masih layak Tuhan banggakan di hadapan para malaikat-Nya, yang dengan itu Tuhan perintahkan para malaikat untuk sujud padanya? Yang selalu berbuat kebajikan, menjaga bumi, dan menghormati kesucian darah manusia?

***

Setelah Adam tercipta, di hadapan malaikat dan penghuni surga, Tuhan Yang Mahakasih memerintahkan para malaikat untuk sujud pada Adam. Semua menaati perintah Ilahi, kecuali Iblis yang abai dan keji. Iblis, jin yang beribadat menyembah Allah ribuan tahun, hingga sampai derajat malaikat, harus terhempas dari kesucian, harus terusir dari kehormatan, harus terdepak dari keagungan, karena abai dan membangkang perintah Tuhan. Ketika pada Iblis, Tuhan bertanya: Apa gerangan yang membuatmu enggan untuk sujud pada Adam? Iblis yang sudah terusir berkata: Tuhanku, Kau ciptakan dia dari tanah dan Kau ciptakan aku dari api. Tentulah apa yang diciptakan dari api lebih utama dari apa yang diciptakan dari tanah.

Iblis pun terusir. Para ulama menyebutkan sebab terusirnya Iblis adalah takabur: memandang diri lebih utama dari yang lain. Karena itu, terlarang bagi kita untuk memandang diri lebih terhormat dari yang lain. Entah itu karena derajat, pangkat atau martabat. Entah itu karena silsilah, golongan darah, atau trah. Semua manusia adalah sama di sisi Tuhan, kecuali karena ketakwaan dan kesalehannya. Tak berbeda orang Arab dan ‘Ajam kecuali karena iman dan takwa. Adalah sama keturunan bangsawan dan budak belian, kecuali karena iman dan takwa. Mereka yang memandang diri lebih dari yang lain, telah menyatakan diri bergabung bersama kafilah Iblis, yang bersama-sama bergerak, menjauhi surga, mengusir diri dari tempat kembali yang sempurna, menuju kehancuran dan siksa neraka.

Takabur Iblis karenanya adalah dosa yang pertama dalam sejarah umat manusia. Apa akibatnya bila kita mengikuti langkah Iblis ini? Tuhan akan menjatuhkan kita, merendahkan kita, memaksa kita untuk tersungkur sekeras-kerasnya. Sebagaimana Iblis yang dijauhkan dari kehormatan, begitu pula orang yang tenggelam dalam kesombongan. Ia akan menderita kehinaan, dicampakkan dari segala kebesaran yang selama ini ia rasakan. Agar ia kembali pada Tuhan dengan penuh kepasrahan dan kerendahan. Sungguh, barangsiapa yang masih ada rasa takabur dalam dirinya, walau sebesar debu sekalipun Tuhan haramkan surga baginya. Sebagaimana Iblis yang dijauhkan daripadanya.

Iblis bukan saja terusir dari surga karena ia memandang diri lebih utama. Tapi lebih dari itu, ia terusir dari hadirat Allah, karena melalaikan perintah-Nya. Satu perintah saja untuk sujud, satu kesempatan sekali saja untuk meratakan dahi ...itu pun terlalu berat untuk Iblis penuhi. Akibatnya, ia merana hingga hari manusia dibangkitkan. Ia terusir dari surga hingga hari keabadian. Tidakkah kita merenung? Betapa sering perintah Tuhan kita abaikan? Bukan saja perintah untuk sujud, meratakan dahi walau sekali? Sudah terlalu banyak sujud kita yang terbuang. Terlalu sering rukuk kita yang menghilang. Betapa banyak kumandang azan, betapa sedikit shalat jamaah di masjid Tuhan? Betapa besar harta terlimpah, betapa sulit zakat tercurah? Betapa sering kita bersenang-senang, betapa sedikit kita berduka, betapa kecil rasa syukur kita.

 Akankah kita menjadi pengikut di balik kafilah Iblis yang bergerak menuju neraka? Ataukah kita bertobat dan mengagungkan setiap perintah Tuhan dan tidak pernah mengecilkannya. Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa adalah menganggap kecil maksiat dan nista yang kita lakukan. Inilah bentuk ketakaburan. Jika takabur dosa pertama, lalu apa dosa kedua dan ketiga? Dalam runtunan kisah Adam, kedua dosa itu akan kita jelang.

***

Adam, seorang manusia pertama yang akan mengawali sejarah panjang kehidupan. Dari dulu hingga sekarang, manusia kerap bertanya, untuk apakah dirinya diciptakan? Gerangan tujuan apa yang mendasari seluruh kehidupan? Adakah maksud di balik terciptanya binatang, pepohonan, dan terutama insan?

Tanpa diminta, kita dihadirkan di dunia. Tanpa mengetahui tujuan, kita diharuskan berjalan. Kemana dan untuk apa? Sepanjang sejarah manusia, pertanyaan yang sama datang berulang. Inilah pertanyaan paling abadi, dan jawabannya paling dicari.

Mungkinkah kita berkaca dari cerita dua manusia pertama, Adam dan Ibunda Hawa?

Sesaat setelah para malaikat sujud kepada Adam, tak lama setelah seluruh makhluk langit menyatakan kebesaran Allah dan keagungan khalifah-Nya, Tuhan Yang Mahakasih memerintahkan Adam untuk masuk ke surga, yang sudah Dia siapkan untuknya. Di surga itu, Tuhan ciptakan pula untuk Adam seorang kekasih yang akan menemaninya dalam hari-hari kehidupannya. Ialah Ibunda Hawa. Seolah sudah digariskan dalam skenario pertama, bahwa manusia akan selalu membutuhkan tangan kedua, yang senantiasa membantunya dalam suka dan duka.

Adam pun masuk ke surga. Dalam kedamaian surga, ia diizinkan Allah untuk memakan apa saja. Ia diperkenankan Allah untuk mengecap yang tersedia, dari pepohonan, buah-buahan, minuman dan kenikmatan. Kecuali satu hal: Adam dilarang untuk mendekati satu pohon. Satu pohon saja. Tuhan Yang Mahasegala berkata: “Jangan kau dekati pohon ini, supaya kau tidak termasuk orang yang zalim.” Iblis yang merasa terusir, yang dilemparkan dari hadirat Tuhan karena membangkang perintah-Nya, mulai mencari celah, berharap untuk bisa memengaruhi Adam agar memakan buah yang dilarang. Ia berharap agar Adam jatuh pada apa yang juga telah diperbuatnya Iblis, yaitu membangkang perintah Tuhan.

Alkisah, melalui Hawa, Iblis menggoda: “Dekatilah pohon itu, sesungguhnya Tuhanmu hanya menguji kesetiaanmu. Pohon itu adalah pohon keabadian. Dengan memakan buah yang ada di pohon itu, kamu berdua akan abadi selamanya. Kamu akan senantiasa bahagia bersama Adam yang kau cinta.” Demi mendengar janji kebahagiaan bersama Adam, Hawa tergoda. Diambilnya buah dari pohon terlarang, dan diberikannya pada suami tersayang. Sekerat buah masuk ke perut Hawa, sebelahnya lagi bersemayam di perut Adam. Seketika itu juga langit gemuruh. Surga yang tenang itu kemudian disentakkan oleh suara penyesalan. Tuhan Yang Mahakasih berkata: “Mengapa kau makan buah itu, bukankah sudah Kularang?” Adam dan Hawa menangis, sementara Iblis tertawa terbahak-bahak.

Bukankah ada hikmah di balik setiap cerita? Hikmah pertama, Hawa diciptakan untuk menemani Adam dalam sebuah perjalanan. Ialah perjalanan panjang untuk selalu menaati Tuhan. Tidak ada misi yang lain dari penciptaan Adam kecuali agar ia taat kepada penciptanya. Dan Tuhan akan selalu menguji ketaatan hamba-Nya.

Hikmah kedua, Iblis yang membangkang perintah Tuhan diabadikan namanya dalam Al-Quran. Tetapi Al-Quran segera berhenti dan mengganti nama Iblis dengan sebutan “setan” sesaat setelah Iblis berhasil menggoda Adam dan istrinya, sesaat setelah Iblis berhasil menjerumuskan Adam dan Hawa untuk memakan buah yang terlarang, untuk melaksanakan apa yang sudah Tuhan perintahkan untuk dijauhi.

Menurut pendapat sebagian ulama, penggantian nama dari “Iblis” ke “setan” dalam ayat-ayat penciptaan Adam5 disebabkan oleh satu hal: bahwa “setan” kemudian adalah satu institusi, yang masuk ke dalamnya baik jin maupun manusia, setiap makhluk yang bernyawa. Iblis hanyalah tokoh dari kelompok itu. Ia adalah pemuka pertama yang berani membangkang perintah Tuhan. Dalam Surah Al-Nâs, Tuhan memerintahkan kita untuk berlindung dari kejahatan setan khannas. Siapakah setan khannâs itu? Tuhan menjawab: Minal jinnati wannâs, dari kalangan jin dan manusia. Yang menggoda kita bukan saja Iblis, tetapi juga jin dan manusia. Bahkan terkadang manusia yang sangat dekat dengan kita. Sering dalam kehidupan ini kita menemukan saudara-saudara kita sesama manusia yang mewakili institusi syaitaniyah ini. Mereka menggabungkan diri mereka bersama kafilah setan dan senantiasa menggoda manusia untuk selalu melalaikan perintah Tuhan. Manusia-manusia seperti itu, yang tak segan-segan menumpahkan darah, mencaci maki dan memfitnah, menjatuhkan harga diri, wibawa, dan kehormatan sesamanya, adalah para wakil-wakil Iblis di muka bumi. Mereka adalah setan-setan dalam wajah manusia. Iblis tak akan lagi bersusah payah untuk memengaruhi mereka. Alih-alih menggoda mereka, manusia-manusia demikian malah membantu Iblis untuk menggoda anak cucu Adam.

Hikmah ketiga, adalah hukuman yang diberikan kepada Adam. Inilah akibat dari “dosa” yang kedua dalam sejarah umat manusia: tamak. Seluruh kenikmatan tersedia, hanya satu saja yang tak dapat dicoba. Segala yang tersaji boleh dicicipi, hanya satu pohon yang tak bisa didekati. Bila orang jatuh pada dosa yang satu ini, ia akan merasakan penderitaan. Dijauhkan dari yang selama ini ia nikmati, dicampakkan dari kemudahan yang selama ini ia jalani. Seperti Adam yang diturunkan dari surga untuk memulai hidup baru di dunia.

Sesaat setelah ia menyadari kesalahannya, Adam sujud tepekur. Dalam penyesalan yang luhur, ia bertobat kepada Tuhannya. Setelah Adam menyebutkan nama-nama yang dilihatnya di ‘Arasy Tuhan, Allah Yang Mahakasih pun menerima taubat Adam. Tetapi Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil, dan hikmah-Nya harus berlaku. Adam harus menerima akibat dari perbuatannya. Karena lalai menjaga perintah Tuhan, Adam kemudian harus terusir dari surga, dan tinggal di muka bumi.

 Para ulama tasawuf sering menceritkan kisah Adam dan Iblis ini sebagai perumpamaan perjalanan ruhaniah kita menuju Allah Swt. Sesaat setelah Adam dicipta, Tuhan persiapkan untuknya surga. Tetapi sebelum Adam masuk ke dalamnya, Tuhan usir Iblis dari surga itu. Tuhan bersihkan surga itu dari makhluk-makhluk terkutuk yang menyekutukan dan membangkang perintah-Nya.

Menurut para sufi, “rumah” Tuhan di dunia ini adalah hati kita. Apabila kita berniat untuk berjalan menuju Tuhan, untuk sampai pada surga yang dijanjikan, untuk menempati taman yang sudah dibersihkan dari setan, maka kita juga harus membersihkan hati kita. Kita harus menyucikan kalbu kita. Apabila Tuhan Yang Mahakasih membersihkan surga dari Iblis agar kita tenang masuk ke dalamnya, sudahkah kita bersihkan hati kita dari iblis-iblis yang ada di dalamnya?

Hati kita tidak mungkin diisi oleh dua hal. Ia adalah pelabuhan yang hanya menerima satu bahtera. Apabila bahtera yang berlabuh adalah kecintaan pada Tuhan, maka berbahagialah, surga sudah disiapkan untuk kalian. Tetapi apabila bahtera yang mengisi hati kita siang dan malam, yang menyibukkan urusan kita pagi dan petang, adalah selain Tuhan; adalah harta, pangkat, dan kekayaan; adalah kursi, tahta, dan jabatan; maka kita tengah bergabung bersama Iblis dalam rombongan kafilahnya, yang Tuhan beri nama “setan”. Kita sudah menjadi wakil-wakil Iblis yang membantunya untuk selalu menggelincirkan anak-anak Adam.

Bukankah ada hikmah di balik setiap kisah ....

***

Kiranya, cerita seputar manusia pertama dan misteri yang ada di dalamnya terlalu besar untuk hanya kita sajikan dalam tiga, empat, atau lima kesempatan. Inilah awal sejarah dari penciptaan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi ini. Kalau ada benang yang harus diurai dari misteri keberadaan kita di dunia, maka semua benang itu pasti tersimpul pada kisah Adam.

Bukankah pada kisah Adam, terkumpul seluruh perumpamaan kehidupan anak-anak Adam kemudian? Pada cerita manusia pertama, ada Adam: manusia yang dilahirkan tanpa sejarah, asal-usul, dan keturunan. Untuk menunjukkan kepada kita bahwa ketinggian derajat, perbedaan martabat, baik di mata manusia atau malaikat, bukanlah ditentukan oleh sejarah, asal-usul, dan keturunan, melainkan oleh keimanan dan ketakwaan. Pada cerita manusia pertama, ada Iblis: tokoh antagonis yang bisa memerankan karakter apa saja. Pada episode awal penciptaan, Iblis menjadi malaikat yang penurut. Pada episode kedua, ia menentang perintah Tuhan untuk sujud. Pada episode berikutnya hingga terakhir, ia menjadi penggoda, yang menggelincirkan manusia, Adam dan keturunannya dari jalan yang lurus, yang selalu menggetarkan hati manusia, memberinya rasa waswas, prasangka, dan duga. Iblis menjadi karakter multidimensi. Ia menjadi penelikung di jalan, untuk melupakan manusia dari perjalanan sejatinya menuju Tuhan.

Pada cerita manusia pertama, juga ada Hawa: cerminan seorang sahabat yang mengisi kesepian manusia. Potret seorang istri yang menginginkan yang terbaik untuk suaminya, meskipun untuk itu ia mematuhi ajakan Iblis untuk memakan buah yang dilarang Tuhan.

Pada cerita manusia pertama juga ada kisah tentang tempat kembali. Jalaluddin Rumi, seorang penyair besar dari Persia yang banyak menjajakan hikmah melalui kata-kata waskitanya, memulai magnum opus Matsnawi-Nya dengan ungkapan:

Dengan Nama Allah Yang Mahakasih Mahasayang

Dengarkan seruling bagaimana ia bercerita,

   Karena perpisahannya, ia adukan derita

Katanya: sejak aku berpisah dari rumpun bambuku,

   Laki perempuan telah merintih karena jeritku

Kuingin dada yang terkoyak-koyak perceraian,

   Biar kuungkapkan semua derita kerinduan

Siapa saja yang terlempar dari asalnya,

   Mencari saat kembali ia bergabung dengannya.

Adam diciptakan di surga. Ia sudah merasakan kenikmatan berada di dekat Tuhan. Ia pernah mencicipi lezatnya hidangan surgawi. Apakah ada lagi kenikmatan yang lebih besar selain berada di dekat Tuhan? Apakah ada lagi hidangan yang lebih lezat selain yang dihamparkan di surga Tuhan? Adam beserta istrinya Hawa, menikmati saat-saat indah itu sebelum mereka tergoda oleh Iblis untuk memakan buah yang dilarang Tuhan. Ketika Adam dan Hawa diusir dari surga, ketika mereka terlempar dari samping Tuhan, ketika mereka terhempas di daratan, Adam dan Hawa dipisahkan oleh jarak yang beratus-ratus mil jauhnya. Menurut sebuah riwayat, Adam turun di anak benua India (Sarandip) dan Hawa di Afrika. Di beberapa negara di Afrika seperti Sudan dan Libya, masih dipelihara beberapa peninggalan sejarah yang dinisbahkan kepada ibunda Hawa. Di Sudan, misalnya ada sebuah bekas telapak kaki besar yang diabadikan dan dijadikan tempat wisata, karena konon kabarnya itulah jejak telapak kaki Hawa alaihasalam.

Masih menurut riwayat, Adam yang terhempas di India dan Hawa yang mendarat di Afrika kemudian dipertemukan Allah, setelah sekian tahun mereka mencari satu sama lain, di Padang Arafah, di Jabal Rahmah. Di sanalah kini setiap tahun para peziarah haji mengenang kisah perjumpaan Adam dan Hawa.

Sepanjang masa itu, ketika Adam terpisah dari Hawa, ketika ia dihadapkan pada sulitnya kehidupan dunia, setelah ia merasakan seluruh kenikmatan dan kemudahan di surga, Adam menangis terisak-isak. Di bumi, ia rapatkan dahinya ke tanah dan bertobat. Ia bukan saja menyesali perbuatannya, tetapi ia juga menangis karena kerinduan pada tempat asalnya. Ia merindukan kampung halamannya. Ia merindukan surga tempat kelahirannya. Lebih dari semua itu, ia merindukan kembali ke hadirat Tuhannya.

Seperti Jalaluddin Rumi yang menceritakan senandung pilu seruling bambu setelah tercerabut dari kumpulannya, Adam senantiasa pula melantunkan doa-doa sendu karena kerinduannya untuk kembali ke tempat asalnya. Di tengah keramaian, suara seruling akan mengingatkan kita pada kesendirian. Di tengah kebahagiaan, suara seruling akan mengingatkan kita bahwa suatu saat, semua kebahagiaan itu akan berganti kesedihan.

Seolah sebuah skenario yang pertama digariskan, Adam menjadi cerminan keturunannya. Setinggi-tinggi bangau terbang, pasti kembali ke danau juga. Sejauh-jauh manusia merantau, pasti merindukan kembali ke kampung pula.

Pertanyaan kita kemudian adalah: di manakah tempat kembali kita yang sejati? Di manakah kampung halaman kita yang abadi? Apabila Adam merindukan surga sebagai tempat kembalinya, ke manakah kita harus berjalan menuju peristirahatan kita yang sesungguhnya?

Sebelum kita melanjutkan hikmah Adam tentang tempat kembali yang sejati, dengarkan kembali Jalaluddin Rumi menyenandungkan syairnya:

Pada setiap kelompok, kugubah jeritan menjadi lagu dan dendang,

Aku akan bergabung dengan yang malang juga yang senang

Setiap orang menduga, dia sudah menjadi kawanku,

Tetapi tak seorang pun ingin tahu rahasia dalam diriku

Rahasiaku tak jauh dari jeritanku,

Tetapi mata dan telinga tak punya cahaya untuk memahaminya

Ruh tidak tertutup dari badan, dan badan dari ruh

Tetapi tak seorang pun boleh memandang ruh

Suara seruling ini bukan lagi angin, tetapi api

Tiadalah dia, siapa saja yang tak punya api

Lihat selengkapnya