The Prophetic Wisdom

Mizan Publishing
Chapter #2

Prolog Mukjizat

Sehari-hari saya mengajar, dari murid SD hingga mahasiswa.1 Ada beberapa pengalaman menarik berkenaan dengan itu. Misalnya, perbedaan situasi belajar antara anak SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. Salah satunya, kebiasaan mereka masuk ruangan kelas. Anak-anak SD akan berbondong-bondong, berduyun-duyun bersegera. Mereka berlomba mencari tempat duduk paling depan. Anak kuliahan beda lagi. Mereka berusaha lebih dahulu masuk ruangan, untuk mencari tempat duduk yang paling belakang. Rupanya, makin tinggi jenjang pendidikan, makin hilang kepercayaan diri. Tempat duduk mereka makin ke belakang.

Pada ibadah Jumatan situasi yang sama terjadi. Ada jemaah yang duluan ke masjid untuk berebut tempat paling depan, tapi ada juga yang bergegas ke masjid supaya dapat tempat sandaran di belakang.

Hal-hal kecil seperti itu menarik perhatian saya. Banyak saya temukan keindahan dari peristiwa yang terjadi di sekitar saya. Setiap kali masuk ruangan kelas, saya menemukan hal-hal yang baru. Pertanyaan-pertanyaan filosofis dari anak SD yang bahkan mahasiswa pun belum tentu mampu menjawabnya.

Misalnya, pernah satu saat, seorang anak kelas II SD bertanya pada saya. Waktu itu, saya tengah menceritakan nama-nama malaikat dan tugasnya. Ketika sampai pada malaikat Israfil, sang peniup sangkakala terompet hari kiamat, seorang anak bertanya pada saya: “Pak, kalau begitu sekarang malaikat Israfil nganggur dong!”

Saya terperenyak. Saya tidak bisa menjawab. Untung, sebagai guru saya belajar dari pengalaman untuk mengendalikan situasi. Saya lemparkan pertanyaan itu kembali pada anak-anak. “Benar,” saya bilang. “Sepertinya malaikat Israfil sedang tidak punya pekerjaan. Menurut kalian, apa yang dilakukannya sekarang?”

Lalu ramailah anak-anak mengacungkan tangan mereka ingin menjawab. Seorang di antaranya berkata, “Sedang menarik napas panjang Pak, nanti kalau hari Kiamat dia muntahkan semuanya.” Yang lain menimpali, “Sedang membuat terompetnya Pak ...,” dan beragam jawaban lainnya. Begitu rupa, sampai mereka lupa untuk bertanya pada saya apa jawaban sebenarnya. Saya sendiri tidak tahu. Tiba di rumah saya buka kembali buku-buku, saya baca lagi warisan terdahulu. Dan saya temukan beberapa jawabannya. Saya bersyukur. Di ruangan kelas, saya dan anak-anak sebetulnya sama-sama belajar.

Saya takjub. Anak-anak sekecil itu sudah berusaha mencari makna dari hal-hal yang ditemukan dalam hidupnya. Saya memang mengajak murid-murid saya untuk becermin dari kehidupan. Anak-anak SMP saya beri pertanyaan: “Jika ada dua orang bertetangga, yang satu berjualan bakso, yang lainnya berdagang es. Malam hari mereka sama-sama berdoa kepada Allah. Penjual bakso minta agar udara mendung dan hujan. Sedangkan pedagang es minta sebaliknya. Manakah yang akan diijabah Allah Swt?”

Anak-anak SMA dan kuliahan juga saya jejali dengan pertanyaan-pertanyaan yang serupa. Kurikulum agama di sekolah-sekolah kami memang istimewa. Meski tetap mengacu pada silabus pemerintah, kami berusaha mengembangkannya supaya dekat dengan keseharian mereka.

Begitu banyak pertanyaan tentang kehidupan. Begitu banyak yang menunggu dipelajari dalam pemahaman. Sepertinya, semakin kita tahu tentang sesuatu, semakin banyak lagi yang belum kita ketahui.

Dalam senarai perjalanan mencari hikmah kehidupan itulah, sudah sepantasnya kita berguru. Tiada kitab seterpelihara Al-Quran dan tiada teladan seindah yang dikisahkannya. Bagi saya, galilah hikmah kehidupan itu dari ajaran Al-Quran. Dan Al-Quran menceritakan para nabi yang menjadi teladan perjalanan, agar manusia mengambil pelajaran.

Namun kini, seiring dengan pertambahan usia kita, amat jarang kita mengacu pada kehidupan para nabi itu. Kisah nabi dan rasul hanya jadi buku bacaan di waktu kecil. Kita mungkin mengkhatam semua cerita itu. Dahulu kita membacanya dengan pikiran kita yang sederhana. Kita menerimanya sebagai sebuah kepastian yang tak sepatutnya kita ragukan. Mengapa kini kita tidak merujuk pada mereka, padahal inilah saatnya kehidupan mereka membimbing kita.

Maka saya pun tergelitik untuk mencari. Apa petunjuk kisah nabi dalam kehidupan sehari-hari. Ibn Arabi, sufi besar dari Andalusia, menulis hikmah-hikmah kenabian itu dalam bukunya yang terkenal Fushûs al-Hikam. Buku yang Anda pegang sekarang ini kurang lebih punya niat yang sama, tetapi dengan kualitas yang jauh berbeda. Mengutip almarhum Gus Dur, baynas samaa`i wa sumur. Perbedaannya terbentang seperti langit dan sumur. Buku ini, itulah sumur yang dangkal itu. Sumber utamanya adalah sebuah buku dengan judul “Allah”. Penulisnya Yassin T. Jibbouri, diterbitkan oleh Penerbit Ansariyan, Qom—Iran. Tentu selain itu, ada sumber-sumber rujukan lainnya yang saya cantumkan dalam tulisan.

Lihat selengkapnya