Hari ini cuaca nampak terlalu cerah untuk diriku yang masih dilanda oleh Rindu. Untuk kesekian kalinya aku merindukan ibu di hari ulang tahunku. Aku mengusap lembut nisannya yang sudah memudar oleh seiring waktu, menjamahnya adalah bagian dari penebus rindu.
Lalu sebuah kaki-kaki kecil mengalihkan perhatianku. Senyum tanpa dosa itu hadir di wajah polos yang lugu. Ia menatapku dengan binar mata penuh dengan kepolosan. Anak lelaki itu mendekat dan berkata,"dia siapa Rain?"
Aku meraih tubuhnya menggendongnya dalam dekapanku."Dia ibuku Moca. Namanya Isabella, Apakah kamu mau berkenalan dengan Mama Isabella?"
Alis anak lelaki itu mengkerut, tampaknya Ia berpikir tentang sesuatu. "Oh. Lalu siapa mamaku?"
Melihat wajah kebingungannya aku tertawa. Sepertinya Moca harus mendapatkan penjelasan lebih detail mengenai silsilah keluarga yang cukup rumit untuknya. "Mamamu tentu saja Mama Marsha. Kita memiliki Mama yang berbeda Moca. Tapi Moca tetap adikku yang paling aku cinta." aku memelukmu kau dengan kelembutan yang aku bisa lakukan padanya. Kemudian seorang wanita yang memiliki usia kurang lebih 10 tahun lebih tua dariku datang dengan senyuman.
"Ayahmu sudah menunggumu di sana. Bukankah setidaknya kau menyapanya sebentar Rain?"
Aku menggeleng, terlalu sulit untukku menerima kehadiran Ayah kembali dalam duniaku. Rasa takut itu bahkan masih menyelimutiku, lelaki itu tidak pernah layak untuk dipanggil ayah. "Maaf, aku rasa kamu bisa berbicara dengannya. Sudah aku katakan berulang kali aku tidak ingin melihatnya lagi Marsha."
Marsha mengembuskan nafas panjang menatapku dengan perasaan iba seperti biasanya."Baiklah kalau itu yang kau inginkan Sayang." Marsha mengusap lembut kepalaku, persis seperti saat Mama melakukannya untukku. Terima kasih Mama telah mengirim seorang Marsha dalam kehidupanku, terimakasih karena membuatku tidak sendirian di dunia ini. Meski tanpa ikatan darah yang berarti.
Aku melihat dari kejauhan Marsha yang berbicara dengan ayah. Aku mampu melihat raut muka wajah amarah dari ayah yang selalu saja sama. Tuhan, bagaimana bisa kau menempatkan aku dalam situasi sesulit ini. Rasanya menatap pria itu pun aku tak sanggup, mengapa ia harus terus berada di sini untuk bertemu denganku. Aku tidak bisa membiarkan kenangan buruk itu mengalir kembali ke dalam setiap memori kehidupanku tidak untuk kali ini biarkan aku tidak menyerah pada kebencianku biarkan aku tidak memaafkannya biarkan aku hidup dalam kebencian ini hanya untuk memiliki harapan, meski hanya sebuah kebencian.