ALICIA POV ON
Sore ini awan tampak tak bersahabat. Mendung sekaligus suara petir saling menyambar satu sama lain. Awan terlihat semakin gelap karena matahari sudah waktunya untuk tenggelam. Tak lama kemudian, rintik hujan turun sedikit demi sedikit, dan tak perlu menunggu lama hujan turun dengan deras diiringi oleh angin yang kencang. Suara petir kembali sahut menyahut satu sama lain.
Tak seperti orang-orang yang berlari mencari tempat berteduh kala hujan tiba. Aku begitu menikmati tetes demi tetes air yang menimpaku. Rasa sejuk air hujan sangat terasa sampai relung hati, membuat diri ini menjadi tenang. Aku kembali melangkahkan kaki kecil ini untuk kembali.
Tak butuh waktu lama, aku telah sampai di depan sebuah rumah yang sangat besar. Rumah dengan desain sederhana berwarna putih, di pojok sebelah kanan terdapat sebuah taman lengkap dengan meja dan kursi serta dua buah ayunan. Di taman itu lah dulu aku bermain sewaktu kecil.
Selanjutnya di sebelah kiri terdapat begitu banyak tanaman beragam jenis bunga. Dari mulai bunga biasa hingga bunga yang terbilang cukup langka semua ada disana. Semua bunga-bunga itu adalah hasil hobi mama ku. Sejak remaja beliau sangat menyukai apapun hal yang berhubungan dengan bunga. Bahkan dulu nenek pernah memarahi beliau karena merawat terlalu banyak bunga hingga ada beberapa bunga yang mati karena tidak mendapatkan perawatan dengan baik.
Selain itu, tepat di sebelah kanan dan kiri rumah terdapat dua buah patung Pangeran Arthur dan Panglima Jendral perang berdiri dengan gagah disana. Patung itu adalah koleksi berharga yang papa kumpulkan dulu saat beliau berkunjung ke kerajaan Inggris. Suatu kehormatan yang besar untuk keluarga kecil kami, karena bisa berkunjung ke tempat yang paling dihormati oleh semua rakyat Inggris.
Aku segera membuka gerbang yang terasa sangat dingin dan masuk kedalam. Setelah memastikan bahwa gerbang telah terkunci, aku kembali berjalan menuju rumah utama.
Perlahan, ku buka pintu rumah, ku rasakan gagang pintu yang dingin persis seperti gerbang tadi. Terdengar kecil kayu berdecit, menandakan bahwa pintu itu telah berusia tua. Semua terlihat gelap saat aku masuk ke dalam. Ku melepaskan sepatu yang tadi ku gunakan ke sekolah, lantas sepatu itu ku letakkan ke rak yang ada di dekat pintu.
Mata merah delima ku menyapu seluruh ruangan. Rumah ku memiliki 2 lantai. Di lantai 1 terdapat sebuah ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga dan sebuah dapur serta beberapa toilet. Selain itu, beberapa bingkai foto Papa, Mama dan Aku terpampang jelas di ruang tamu. Tak hanya foto, beberapa lukisan kuno juga bertengger manis di tembok rumah ku.
Di sebelah pojok kanan, terdapat sebuah tangga menuju lantai 2. Di sana tidak ada yang istimewa, diatas sana hanya ada beberapa kamar tidur dan beranda. Di sana lah tempat yang biasa ku gunakan untuk menenangkan diri, tapi aku juga sering melihat bintang-bintang dimalam hari.
"Ya Tuhan nona Alicia, kenapa kau terlihat basah seperti ini? Apa yang terjadi padamu?" Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri ku saat melihat aku datang. Marry adalah salah satu pembantu yang bekerja di rumahku. Ia sudah lama bekerja di rumah ini, bahkan sebelum aku lahir di dunia.
"Aku tidak apa-apa Marry. Tadi hanya sedikit kehujanan."
"Kalau begitu anda harus segera mandi dan mengganti pakaianmu. Saya akan membuatkan ada sup dan teh supaya badan anda kembali hangat."
Aku hanya menganggukkan kepala. Setelah Marry kembali ke dapur, lantas aku menaiki tangga menuju kamar yang berada di lantai dua.
Sesampainya aku di kamar, aku bergegas menuju kamar mandi. Ku tanggalkan pakaian yang melekat, perlahan air hangat dari shower membasahi tubuhku. Rasa dingin yang sempat hadir hingga membuat ku hampir menggigil kini telah sirna, berganti menjadi rasa hangat yang membuat tubuhku nyaman dan tenang. Walaupun air hujan pun memberikan rasa tenang.
Setelah 15 menit aku berendam. Ku ambil baju handuk dibelakang pintu, ku pakai itu dan keluar dari kamar mandi. Lantas aku segera memilih baju yang ingin aku pakai. Setelah selesai, aku turun kebawah.
Begitu sampai di dapur, aroma sup daging dengan potongan wortel menembus indra penciuman ku. Wangi rempah-rempah nya sangat menggoda. Aku pun langsung menghampiri Marry yang tengah asyik memasak.
"Ah nona sudah datang. Mohon tunggu sebentar nona, sup akan siap beberapa menit lagi." Ucap Marry begitu melihatku datang.
Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala. Benar saja, sekitar 5 menit kemudian, semangkuk sup daging sapi dan irisan wortel serta beberapa sayuran telah hadir di hadapan ku. Tak lupa secangkir teh hijau ala Jepang (baca:ocha) juga hadir disana. Melihat makanan yang sangat-sangat menggoda. Membuat para cacing di perutku meronta-ronta meminta untuk diisi.
Tanpa menunggu lama, aku memakan sup itu dengan lahap. Tak butuh waktu lama, semangkuk sup itu telah tandas tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Aku sangat puas dengan makanan yang dibuat oleh Marry.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada Marry aku berjalan menuju kamarku. Namun baru saja hendak berjalan, aku teringat akan sesuatu.
"Marry, apakah Papa dan Mama malam ini akan kembali?" Tanyaku tanpa memandang wajahnya.
"Saya belum tau nona. Apakah Tuan dan Nyonya akan kembali malam ini atau tidak." Jawab Marry.
Aku terdiam sekejap. "Baiklah kalau begitu, aku akan menyelesaikan tugas yang tersisa."
Tanpa menunggu jawaban dari Marry, aku kembali berjalan menuju kamar.
ALICIA POV END
*****
"Aku akan lewat sini, sampai jumpa besok. Harry," ucap Arnold.
Arnold melambaikan tangan kepada sang teman dan berjalan pulang.
Malam ini hujan telah berhenti, namun aroma tanah masih tercium dengan jelas. Tetesan sisa hujan tadi juga masih terlihat di pucuk-pucuk daun. Udara dingin masih terasa pekat, membuat penduduk enggan untuk keluar.
Tak ada suara apapun selama ia berjalan. Sunyi senyap, lantas pria berusia 30 tahun itu mengambil rokok dari sakunya dan menghidupkan rokok tersebut. Asap putih keluar dari mulutnya dan seketika mengudara keatas dan menghilang dibawa angin.
Tap..tap...tap..
Tiba-tiba terdengar sebuah suara langkah yang terdengar begitu jelas. Arnold mempertajam pendengarannya, lantas dengan cepat ia menengok ke belakang. Namun, tidak ada siapapun disana. Hanya ada dirinya dan angin kosong.
Lelaki berambut ikal itu terdiam untuk beberapa saat. Tiba-tiba hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang janggal.
Drrtt...drrtt...
Arnold segera mengalihkan pandangannya saat mendengar dering ponsel miliknya.
To: Arnold
From: Syeila
Hei, kau ada dimana? Jam segini belum kembali. Cepatlah pulang, aku sudah menunggumu sejak tadi. Anak-anak juga sudah bertanya kapan papa mereka akan kembali.
Arnold tersenyum kecil. Steve dan Stevani, kedua anak-anak itu membuatnya rindu setengah mati. Padahal ia pergi tak lama.
To: Syeila
From: Arnold
Aku sedang berjalan pulang, kau tunggulah dirumah, bilang pada anak-anak jika aku akan segera kembali.
Setelah menekan tombol send, Arnold kembali memasuki ponsel ke dalam saku. Tanpa ia sadari, jika itu adalah pesan terakhir untuk keluarganya.