"Ah," ucap Ardan bernafas lega saat kakinya telah menapaki jalan. Rencana pertamanya, mengeluarkan Piyo dari rumah : berhasil.
Piyo turun dari punggung Ardan. Matanya menatap ke sekeliling rumah. Ia benar-benar panik dan takut. Bagaimana jika seandainya ia kepergok keluarganya.
"Ayo, pergi," ucap Ardan menarik tangan Piyo.
Piyo masih terdiam ragu-ragu. Ardan semakin menarik tangan Piyo sedikit kuat. Ardan sedikit memaksa Piyo untuk mau mengikuti keinginannya.
"Dan ... tapi ..."
"Kamu nurut sama aku ga sih?! Udah berani ngelawan ya!"
Piyo menunduk sambil menggelengkan kepalanya.
"Nah, gitu dong," ucap Ardan senang. Ia menggandeng tangan Piyo erat. Sebelumnya Ardan telah membius satpam penjaga gerbang rumah Piyo, itulah mengapa mereka tidak ketahuan saat keluar gerbang.
Piyo hanya bisa pasrah mengikuti Ardan dari belakang. Pikirannya tiba-tiba terngiang-ngiang nasihat ayahnya.
"Piyo, pacaran itu dosa, nak. Ga ada yang namanya pacaran halal. Pacaran hanya membuat diri kamu cepat rusak, nak. Kamu perempuan. Perempuan lebih cepat rusak dari laki-laki. Perempuan berbekas, laki-laki engga."
"Papa ikut campur banget sih sama percintaan Piyo. Papa itu tau apa?! Piyo udah besar! Piyo tau laki-laki mana yang terbaik buat Piyo. Lagijuga, banyak kok cowo yang baik sama Piyo. Banyak juga orang pacaran baik-baik aja tuh. Dibeliin apapun sama pacarnya. Papa aja yang suudzon, bilang pacaran itu zina, haram!"
"Astagfirullah,nak. Istighfar. "
Lama melamun sendirian, Piyo tak sadar dirinya telah sampai di depan mobil sedan berwarna hitam. Di bangku depan mobil ada pasangan yang saling merokok. Sang laki-laki menyetir, dan wanitanya duduk disamping laki-laki itu dengan kedua kaki diluruskan santai ke depan dashboard. Dengan santainya wanita itu merokok. Piyo menatap cara duduk wanita itu tidak sopan.
"Ini cewek lu, dan? Katro banget. Kok lu mau sih sama dia? Ga cantik, ga seksi, ga gaul, keliatan banget kampungan," ucap wanita itu meremehkan, ia menghisap puntung rokok itu kuat-kuat dan menghembuskannya.