Sigrid berdiri dari tempat duduknya di salah satu ujung meja keluarga besar itu dan mengetuk cangkir kopinya dengan sendok kecil. Bunyinya lirih, tenggelam dalam keriuhan di ruangan itu. Sigrid berdeham dan mengetuk di gelas, kali ini jauh lebih keras, dan mulai berbicara dengan tegas dan jelas di hadapan para hadirin.
“Keluarga yang kami sayangi! Teman-teman dan kolega Erik Lundin, dan para mantan mahasiswa yang kami hormati .…”
Aku merasa gugup lagi dan perutku terasa bergolak, ini bisa jadi runyam pikirku, tapi Sigrid melanjutkan:
“Nama saya Sigrid dan saya adalah cucu tertua Erik, anak Jon-Petter, yang duduk di sebelah kanan saya dan juga anak Erik yang tertua, yang saat ini sedang duduk memangku wakil generasi termuda. Namanya Morten .... Eh, jangan sekarang, Morten! Sekarang duduk dulu sama Kakek, ya .... Segenap keluarga kami berterima kasih kepada hadirin di saat-saat terakhir bersama Erik hari ini, dan kami bersyukur karena begitu banyak yang sempat menghadiri acara memorial ini. Kami memang mengantisipasi akan banyak yang datang, tapi tidak menyangka akan sebegitu banyaknya. Namun, ada satu orang yang tidak bisa hadir di sini … Kakek pasti senang sekali menyambut satu per satu hadirin sekalian!”
Terdengar isakan di antara hadirin, tapi Sigrid tidak ikut terpengaruh:
“Sebentar lagi akan disajikan makanan di meja, dan kita akan makan bersama dan mencoba lebih mengenal satu sama lain di tempat duduk masing-masing. Setelah itu, akan ada kesempatan untuk menyampaikan sepatah dua patah kata, dan saya mohon untuk memberikan tanda kepada saya terlebih dulu, karena seperti yang kita ketahui, sayalah yang ditugaskan memimpin acara sore ini. Di acara mengenang Erik ini, kita juga akan disuguhi sedikit pertunjukan seni, sesuatu yang sudah sepatutnya. Tapi, mari kita mulai dengan sajian daging yang diasinkan, sour cream, telur orak-arik, salad kentang, flatbread, bir, dan air putih. Kami tidak yakin apakah diizinkan di sini, tapi kami juga ada minuman keras bagi mereka yang menginginkan dan sudah cukup batas usia.”
Sigrid melemparkan pandangan ke arah mejaku, mungkin Mia-lah yang pertama ditatapnya, anak lima belas tahun itu, tapi kemudian dia melihatku, si orang asing. Dia meneruskan:
“Sungguh menyedihkan bahwa Kakek telah pergi, tapi sekarang saya mau mengatakan sesuatu yang mungkin kedengaran agak aneh: Saya sudah berjanji kepada Kakek untuk menyalami hadirin sekalian, satu per satu. Kakek sudah merasa bahwa dia tidak lama lagi akan meninggal dan ingin sekali salah seorang dari cucu-cucunya menjadi ‘toastmaster’, seperti yang Kakek bilang. Saat terakhir kali saya berbicara dengan Kakek, dia menatap saya dan berkata, Kamu, ya, yang nanti jadi toastmaster-nya. Saya mengangguk mengiyakan, sayalah yang tertua, dan ini sudah disepakati oleh seluruh keluarga. Kakek bilang, Salam, ya. Jangan lupa, kamu salami seluruh teman dan kenalanku untuk terakhir kalinya.
“Kakek sudah tinggal di Norwegia selama 45 tahun. Tapi, saat itu untuk pertama kalinya saya mendengar beliau berbicara bahasa Swedia. Saya mengangguk lagi dan menyeka air mata. Lalu Kakek menambahkan, Kalian semua harus bernyanyi! Jadikan seperti sebuah perayaan. Pesta yang sesungguhnya, Sigrid. Sebuah pesta perpisahan ala Nordik yang sesungguhnya! Janji, ya?
“Dan dengan kata-kata itu, dari Kakek langsung, kami mengucapkan selamat datang di acara mengenang Erik Lundin ini. Tidak perlu pergi ke mana-mana selagi Anda sempat dan sudi. Gedung ini telah direservasi sampai larut malam.”