Tidak mudah bagi Mena untuk meninggalkan istananya. Biasanya protokol mengharuskannya untuk membawa setidaknya setengah lusin pengawal. Karena itulah ketika Mena menghilang dari istananya demi mencari jasad burung falcon sebagai benda persembahan untuk Dewa Ra, semua orang panik mencarinya.
Firaun, tidak diberitahu soal itu sampai sehari setelahnya dan para pejabat yang bertanggung jawab pada dirinya bersyukur karena hati Firaun sedang senang. Mereka tidak menerima hukuman yang berarti selain dimutasinya kepala istana Mena menjadi budak.
Namun Kahotep seakan memahami keinginan Mena. Gadis itu ingin dengan leluasa menjelajahi pasar yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan dimana kapal-kapal asing ditambatkan. Kahotep meminta para pengawal berpakaian seperti petani dengan belati disembunyikan di balik pakaian mereka. Walaupun begitu, bagi mata yang awas dan teliti, identitas mereka mudah diketahui. Karena para pengawal itu berjalan dengan mata tidak lepas memandang putri Amen-ra.
Mena sendiri membalut kepalanya dengan kain yang dia lampirkan mirip kerudung untuk menyembunyikan pakaiannya yang terlalu bagus. Mena tidak punya stok baju rakyat jelata, dia bahkan tidur dengan gaun longgar bersulam benang emas. Di balik kerudung panjangnya, Mena mengenakan tunik sutra yang dicelup dengan warna putih gading. Kakinya yang jenjang indah dia biarkan telanjang.
Biasanya para bangsawan mengenakan sandal yang dianyam dari serat papyrus. Namun hari ini dia sedang menyamar menjadi rakyat biasa. Mena harus mengambil resiko pulang ke istananya dalam keadaan telapak kaki perih karena menginjak tanah pasir yang kadang menyimpan kerikil tajam di baliknya. Tapi itu lebih baik ketimbang melihat para pedagang dan pengunjung pasar menjadi gelisah dan malah tutup lebih cepat karena takut melihat prajurit istana Firaun berkeliaran di sana. Kalau seperti itu, Mena tidak bisa menikmati acara jalan-jalannya dan pulang tanpa membawa apapun.
Mena berkendara cukup jauh dengan kereta kudanya, yang Kahotep parkirkan agak jauh dari pasar. Mena dan Kahotep melanjutkan perjalanan dengan menumpang gerobak yang membawa gandum dan ditarik dua ekor keledai.
Pasar itu terletak di tepi sungai Nil, sangat ramai dan riuh. Mena bisa mencium aroma rempah yang tidak pernah dia temui sebelumnya selain di meja makan dalam bentuk masakan berbumbu. Aromanya membaur harmonis dengan sebuah toko yang memajang daging domba yang digantung dengan darah sudah mengering. Seharusnya baunya akan amis dan membuat mual, tapi Mena malah memikirkan hidangan domba panggang yang pernah dia cicipi dulu di kuil Karnak.
Mena melihat tenda-tenda berbaris rapat yang kainnya tampak rapuh dan sudah berlubang namun diabaikan oleh para pedagang. Sejak awal mereka membangun lapak tidak permanen di sana dan tidak berpikir untuk memperindah kios-kios mereka. Asalkan bisa membuat kepala mereka teduh, itu sudah cukup. Dan kebanyakan pembeli tidak peduli. Malah semakin lusuh kain tendanya, malah semakin ramai mereka. Karena pembeli menganggap kios yang lusuh biasanya dimiliki pedagang lama.
Kios-kios itu, menjual rempah yang didatangkan dari Asia, kain sutra serta linen dan benda kerajinan. Tidak luput juga ada penjual wewangian, minyak Atsiri serta kemenyan yang sangat penting dalam kehidupan rakyat Mesir yang rajin memuja ke kuil. Produk asli Mesir sendiri adalah kerajinan gerabah, perhiasan emas, lembar serat papyrus atau kain linen.
Pada sudut yang lain juga ada lumbung yang dikelola pemerintah. Lumbung itu menyimpan gandum-gandum dan barley para petani. Warga bisa mengambil dan menyimpan hasil panen mereka, ada petugas yang mencatat stok yang mereka miliki.
Masyarakat Mesir masih menggunakan sistem barter dalam transaksinya. Selain itu mereka juga sudah mulai menggunakan biji perak dan perunggu serta emas untuk bertransaksi.
"Putri, ada yang menjual boneka, mungkin para gadis bangsawan akan menyukainya," Kahotep menunjuk pada sebuah kios yang tampak temaram.
Mena mendekatinya dan melihat ke dalamnya. Selain boneka, mereka juga memajang benda-benda ritual serta wewangian beraroma menyengat. Mena seketika menggeleng. Sebagai pendeta kuil Karnak, dia langsung mengenali boneka macam apa itu.
"Kau tidak lihat? Itu toko yang menjual benda-benda sihir untuk ritual. Boneka itu bukan untuk anak-anak, apalagi gadis bangsawan. Mereka bisa berpikir kalau aku ingin mengutuk mereka," bisik Mena serius.
Kahotep menanggapi dengan dahi berkerut. Dia lalu berjalan menjauhi kios muram itu sambil menatap mata boneka yang dibuat dari jerami dan dibungkus linen itu ngeri. Semakin dilihat, boneka yang terlihat lucu kini menjadi menyeramkan.
"Bagaimana kalau ini?" Kahotep melirik pada tumpukan gerabah berlukis.
"Bagaimana caraku membawanya? Lagipula untuk apa para gadis bangsawan itu menggunakannya?" Kritik Mena.
"Err, sebagai tempat perhiasan? Tapi ya baiklah jangan yang ini, setelah kuperhatikan lagi, motifnya terlalu tua dan ketinggalan Jaman," kata Kahotep sambil menggaruk dagunya.
"Tidak mudah mencari hadiah untuk para bangsawan itu, karena mereka sudah punya semuanya, kalung manik-manik ini? Atau sandal ini? Atau bahkan tunik ini? Mereka mungkin sudah punya setumpuk di kamar mereka," Mena menyebut satu persatu aksesoris yang dia temukan di sana.
"Tidak, mungkin mereka tidak punya karena ini biasa dibeli oleh rakyat jelata, para bangsawan membeli kebutuhan mereka dari pedagang yang dekat dengan para pejabat istana atau gubernur," Kahotep mengelak.
"Karena itu, kalau aku membelikan semua ini untuk mereka, apakah mereka tidak akan berpikir kalau aku menyinggung mereka? Atau lebih buruk lagi, Firaun bisa saja menganggapku telah mempermalukannya," Mena menyimpulkan.
Kahotep tampak berpikir, dia tidak ingin Mena kembali ke istana dengan tangan kosong. Dia harus mendapatkan barang bagus sebagai buah tangan untuk acara sosialisasi di rumah putri gubernur.