The Queen of Egypt

Kanina Anindita
Chapter #8

Bab 7 - Ahmose Proposal

"Ini bukan lamaran pertama terhadap Amen-Ra sejak Akhenatum II meninggal dunia, jariku bahkan tidak cukup untuk menghitungnya. Tapi aku menolaknya tentu saja, selain karena mereka tidak pernah bertemu sang putri sebelumnya, mereka juga menunjukkan niat ambisius mereka. Apalagi kalau bukan karena ingin kekuasaan. Nah, bagaimana denganmu Ahmose? Itu namamu kan? Kau membawa ayahmu ke istanaku untuk melamar. Kau bahkan tidak menyiapkan cukup seserahan dan kalian membuat keramaian sampai harus memaksaku untuk membatalkan janji temu dengan menteri agrikultur demi kalian. Sekarang katakanlah, bagaimana cara kalian akan meyakinkanku untuk menyerahkan putriku?" Firaun menatap keluarga bangsawan itu dari atas singgasananya. Ketimbang rasa benci, dia tampak tertarik meskipun dia memulai bicaranya dengan nada yang intimidatif.

Ahmose dan ayahnya, yang salah seorang jenderal besar Mesir masih menundukkan kepala mereka. Mereka bukan keluarga sederhana tentu saja, keluarga Ahmose punya banyak properti bahkan kapal dagang besar. Tapi semua itu tentu tidak cukup menjadi modal yang bisa menggoyahkan pendirian Firaun yang kaya raya. Dia adalah entitas paling berkuasa yang bisa mengklaim kepemilikan atas setiap tetes air Nil dan setiap bulir kurma yang tumbuh di Mesir.

Firaun tidak akan gentar karena harta. Karena itu pembahasannya akan seserahan sebenarnya tidak terlalu menjadi perhatiannya. Dia pernah mendengar tentang Ahmose, ksatria brilian dan seorang ahli strategi yang secara misterius berhasil menguasai negara-negara kecil di pesisir Nil. Dia tahu kalau Ahmose adalah putra dari Jenderalnya. Tapi dia kira Ahmose tidak semuda itu, mungkin dia hanya lebih tua empat tahun dari Mena. Firaun awalnya mengira dia sudah berkeluarga.

"Kami sudah saling mengenal, Firaun, dan saya menyukainya," Ahmose menanggapi Firaun.

"Itu bukan alasan yang cukup kuat bagiku, Amen-ra memang seperti kembaran ibunya Anippe, yang kini sudah menungguku di gerbang Osiris. Siapa saja bisa dengan mudah jatuh hati kepadanya. Tapi dia adalah calon Firaun. Apakah kamu bisa menerima mendampingi wanita yang akan memiliki posisi di atasmu?" Akhenatum bertanya.

Ahmose mendongakkan kepalanya, memandang teguh mata Firaunnya yang segelap hutan tak tertembus cahaya.

"Saya tidak memiliki masalah dengan itu Firaun, saya bukan pria kolot seperti banyak bangsawan lain yang berpendapat kalau wanita tidak pantas memimpin," Ahmose meneguhkan maksudnya.

Ahmotep, sang Jenderal besar yang menguasai lebih dari lima ribu prajurit sendiri merasa bingung dengan tindakan anaknya. Ahmose adalah putranya yang paling muda, sejak awal memang para putranya sudah dirancang sebagai panglima-panglima berikutnya. Namun tidak dengan Ahmose. Pemuda itu cemerlang dalam bidang eksakta dan sudah mampu membaca dan menulis Hieroglif sebelum menginjak usia sebelas tahun. Dia sudah merancang karir untuk Ahmose sebagai negarawan, dan memastikan kursi untuknya setidaknya sebagai wakil menteri.

Ketika usianya enam belas tahun, dia meminta ikut berperang di garis depan. Memaksa ayahnya membiarkan dirinya mengendalikan para prajuritnya untuk mengatasi negara kecil yang memberontak dan enggan membayar upeti kepada Mesir. Ahmotep mengira putranya hendak bermain perang-perangan seperti bocah. Dia membiarkan Ahmose ikut dalam perumusan strategi serta memberinya kesempatan untuk bicara. Ahmotep sendiri tidak menyadari bahwa sampai perang berakhir, mereka ternyata menggunakan dan mengikuti seluruh strategi perang yang dirancang Ahmose.

Kemarin malam, sepulangnya dia dari pesta para bangsawan di rumah Gubernur, dia mengetuk pintu kamar ayahnya dan memintanya untuk melamar putri Firaun. Ahmose memang cemerlang dan kalau ingin disebutkan, satu-satunya kekurangannya adalah sifatnya yang terlalu percaya diri. Ahmose memang sudah diakui sebagai ahli strategi, tapi lamaran mendadak ini tampaknya bukan langkah yang bagus.

Si Jenderal masih menundukkan kepalanya yang plontos di hadapan Firaun, merasa cemas kalau-kalau Ahmose akan salah bicara. Entah bagaimana Ahmose berhasil meyakinkannya sebelum ini. Yang jelas saat ini—setelah sang Jenderal merasakan aura agung dan intimidatif dari sang Firaun—dia menyesali tindakannya.

"Apa yang kau bayangkan tentang Mesir di masa depan, Ahmose?" Tanya Firaun. Ahmotep tersentak, padahal anaknya yang ditanya. Ahmose sendiri masih tenang.

"Tidak ada yang lebih hamba inginkan selain Mesir yang tentram, sejahtera dengan gandum dan kurma tumbuh subur, lumbung penuh dan perut rakyat yang kenyang. Namun hamba juga berharap nama Mesir akan terdengar di seluruh pelosok Bumi akan kehebatannya," Ahmose menjawab.

Firaun tersenyum, menghargai keberanian dari Ahmose ketimbang jawabannya.

"Aku pernah berjanji pada Amen-ra, kalau dia boleh memilih calon suaminya sendiri. Aku tidak ingin mencabut kata-kataku, karena itu ketimbang diriku, Amen-ra yang seharusnya berusaha kau bujuk untuk menikahimu. Walaupun begitu, aku berharap kau akan mendampinginya memimpin negeri ini kelak," sahut Firaun bijak.

***

Siang ini, istana putri Firaun tampak lebih ramai dari biasanya. Pada generasi sebelumnya, Firaun biasa memiliki banyak anak dan selir. Tapi Akhenatum hanya punya dua orang anak. Putrinya sendiri—atas permintaan istrinya—dibesarkan di lingkungan para pendeta Karnak. Kuil Karnak letaknya masih di Thebes tapi gadis itu jarang berkunjung kecuali jika dipanggil oleh Firaun.

Karena itu selama belasan tahun istana itu dirawat seadanya. Tanpa penghuni, maka mereka hanya perlu mengelap debu di perabot atau membersihkan kotoran burung yang jatuh di atap dan pekarangan istana.

Setelah Mena tiba pun, tidak banyak yang berubah. Dia terbiasa hidup sebagai pendeta kuil Amun, bangun pagi dan melakukan persembahan lalu menjalani tugasnya sebagai calon Firaun. Dia tidak mengundang siapapun apalagi mengadakan pesta karena kebanyakan temannya adalah pendeta yang tidak tahu caranya bersenang-senang.

Namun sejak kepulangannya dari acara di rumah gubernur Thebes, istananya menjadi lebih sibuk. Mena menghabiskan sisa malamnya kemarin dengan rasa senang. Mengobrol dengan para gadis ningrat itu tidak seburuk yang dia duga. Mena paham kalau mereka mungkin hanya berusaha menyenangkan dirinya. Tapi sejujurnya gadis itu tidak peduli. Yang jelas dia senang dan berharap bisa kembali bercengkrama dengan teman-teman barunya.

Lihat selengkapnya