Mena jelas tersinggung. Dia adalah pendeta kuil Karnak, salah satu penyembah setia Dewa Amun. Dia memang belum pernah mendengar Wahyu atau bermimpi ada dewa bicara padanya dan memberikan petuah bijak. Tapi penyihir itu jelas tidak berhak bicara mewakili dewa. Dia adalah penyihir. Yaitu mereka yang bergaul dengan iblis atau roh yang berkeliaran di perbatasan kehidupan orang hidup dan mati.
Tentu saja para petinggi Mesir biasa memanfaatkan jasa mereka. Mulai dari mengirimkan kutukan ke musuh mereka sampai meramal. Walaupun Mena tidak pernah bersapa langsung dengan mereka sebelumnya, dia tahu kalau para Firaun juga kerap menjaga beberapa tukang sihir di dekat mereka.
Ada kisah yang pernah dia dengar ratusan tahun silam. Tentang seorang pangeran Mesir bernama Moses. Anak angkat dari Ramses II yang memiliki kulit terang—-tidak seperti kebanyakan penduduk Mesir kala itu. Ramses II adalah raja yang bijaksana, salah satu prestasinya adalah berhasil mengakhiri perseteruan panjang Mesir dengan bangsa Hittite dalam bentuk perjanjian damai.
Moses adalah salah satu pangeran dari 160 lebih anak dari Ramses II. Dia dikenal dekat dengan bangsa filistin dan belakangan mengaku adalah bagian dari mereka. Bangsa filistin kebanyakan bekerja sebagai budak atau petani yang tidak memiliki tanah. Ketika musim banjir, dan masyarakat Mesir tidak bisa bercocok tanam, maka mereka bekerja membangun kuil, patung atau makam.
Merneptah saudaranya, adalah Firaun berikutnya. Anak Ramses II yang ke tiga belas. Dia dikenal sebagai pribadi yang gemar berperang serta menyiksa. Ketika dia naik sebagai Firaun, dia tidak suka melihat Moses yang kerap melindungi para budak. Bahkan mencoba mengajarkan kepercayaan barunya kepada rakyat Mesir.
Merneptah adalah dewa bagi rakyat Mesir. Popularitas Moses mengancam kedudukannya. Dia pun meminta Moses menyembahnya sebagai Firaun dan dewa. Namun saudaranya itu menolak. Moses pun menunjukkan keajaiban-keajaiban dengan tongkat kayunya yang membuat iman rakyat Mesir goyah.
Merneptah melawan Moses dengan para tukang sihirnya, namun tidak berhasil menandingi Moses. Para penyihir itu bisa menghadirkan ular dari tongkat-tongkat mereka namun ular yang diciptakan Moses mampu menelan mereka semua.
Moses diceritakan hanya mempercayai satu Tuhan dan berkata bahwa Tuhannya akan menghukum Mesir akibat kezaliman Merneptah. Berbagai bencana pun muncul di Mesir namun Merneptah tidak kunjung introspeksi diri dan makin membenci Moses.
Merneptah pun tenggelam di laut merah dalam upayanya mengejar Moses dan bangsanya yang berusaha lari dari Mesir.
Itu adalah kisah yang tidak banyak diketahui rakyat Mesir. Kecuali oleh beberapa pendeta yang juga cukup menjaga kerahasiaannya. Mena sendiri hanya tahu kisah yang tidak lengkap tentang pangeran bernama Moses dan Firaun bernama Merneptah.
Yang Mena yakini setelah mengetahui kisah itu adalah, jika dia menjadi Firaun yang zalim, maka musibah tidak akan hanya menimpa dirinya, melainkan juga pada rakyat Mesir.
Karena itulah, walau keinginan untuk memberikan hukuman pancung bagi penyihir wanita bernama Nat itu sangat menggoda dalam pikirannya—-Mena memutuskan untuk mengabaikannya dan memberinya satu kali lagi kesempatan.
Belakangan Mena pun berpikir, apakah karena sikapnya yang terlalu berwelas asih dan mudah bersimpati maka orang-orang di sekitarnya mudah meremehkannya?
Orang Mesir, termasuk penyihir itu kadang lupa status dirinya. Dia adalah Amen-ra yang namanya mengandung gelar dewa matahari yang bernama Ra. Tidak semua rakyat Mesir berhak menggunakan nama yang serupa dengan dewa mereka. Dia adalah putri satu-satunya Akhenatum, Firaun yang berkuasa saat ini dan juga calon Firaun berikutnya.
Termasuk saat ini, ketika Mena memasuki tenda yang sedang diisi oleh para panglima pasukan Ptah. Mereka duduk nyaris melingkar dengan posisi santai di atas permadani yang sedikit berpasir. Mereka tidak bisa manja berharap menikmati hunian nyaman seperti di kota, apapun status mereka. Para petinggi militer itu tampak sudah puas dengan piring-piring penuh buah dan roti segar serta anggur yang tidak mudah tengik.
Para panglima itu bersikap seolah tidak melihatnya. Mena hanyalah gadis belia yang usianya baru genap tujuh belas tahun. Mena bagi mereka bagaikan perhiasan cantik yang memanjakan mata namun tidak berguna dan tidak bisa apa-apa. Mereka tadinya riuh bertukar pikiran dengan Jenderal mereka namun berubah terdiam ketika Mena datang.
Semua yang mereka bicarakan, seharusnya tidak pernah didengar oleh seorang putri yang tidak mengerti soal perang. Setengah dari sikap mereka didasarkan oleh empati, setengahnya lagi adalah sikap meremehkan.
Mena tersenyum, setelah meminta para pelayannya menunggu di luar, Mena berjalan anggun ke arah Ahmose dan duduk di sampingnya.
"Kenapa kalian diam? Lanjutkan apapun yang sedang kalian bahas, saya akan mendengarkannya," kata Mena tenang.
"Anda tidak akan mengerti, ini—-" salah seorang dari panglima Ptah yang menumbuhkan kumis di wajahnya mencoba membuat Mena paham.
"Saya seorang putri dan juga calon Firaun, saya di sini untuk berbagi pengalaman militer dengan kalian, bukan hanya untuk bersenang-senang," Mena memotong kalimatnya dengan sorot mata tidak suka.