Mena enggan melihat wajah Ahmose, betapa pun pria itu menghiba memintanya untuk memahami keputusannya. Mena tahu dia mungkin meminta tunangannya untuk menyingkirkan si penyihir atas dasar ketidaksukaan belaka. Dia tahu, dia mungkin sudah berlebihan. Dia pikir Ahmose, yang terlihat memujanya, bersedia melakukan apa saja untuknya. Tapi Mena salah. Dia malu dan terluka atas penolakan itu. Namun gadis itu enggan membiarkan Ahmose mengetahuinya.
Mena menutup Kerai tendanya rapat-rapat, menjaga jarak dengan Ahmose. Beberapa kali sang jenderal mengunjungi tendanya untuk bicara, namun Mena menolaknya. Mena bisa melakukannya sampai kapan pun. Kalau perlu dia bisa saja membatalkan pernikahan mereka. Mena masih punya harga diri, betapa pun egoisnya tindakannya. Ahmose sebagai calon suaminya, seharusnya membelanya.
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terbit. Udara yang sangat dingin dan menusuk kulit telah memaksa Mena untuk mengetatkan jubah bulu dombanya. Namun Mena tidak mengizinkan embun yang terasa membeku di kakinya mencegahnya untuk meninggalkan tendanya.
Mena sedang berada di barak militer pasukan Ptah. Mustahil untuk menemukan suasana sepi apalagi mendapati seluruh tentara terlelap. Hampir setengah dari mereka, mungkin terjaga. Mereka bergantian berpatroli di tengah udara yang seakan membeku untuk memergoki mata-mata atau serangan gerilya musuh.
Musuh mereka tahu dimana markas Ptah, karena mereka tidak terlalu berusaha menyembunyikannya. Namun ribuan tentara tambahan yang Mena tahu dikirimkan ke markas Ptah, tidak terlihat dimana-mana. Padahal Ahmose sepintas tidak mengelak dan seakan mengkonfirmasi tuduhan Mena.
"Putri Amen-ra, anda hendak kemana?" Salah seorang prajurit yang bertugas menjaga tenda Mena menghentikan langkahnya.
Dia melihat Mena, dengan tubuh terbalut lebih dari dua lapis jubah yang membuatnya seakan tenggelam. Mena didampingi dua orang pengawalnya yang membawa sebuah kandang anyam di tangan salah satu dari mereka.
"Saya ingin berjalan-jalan dan melepaskan Nima keluar kandangnya, mungkin mencari telaga atau oasis di sekitar sini," Mena menyahut dengan tenang.
Nima adalah nama seekor burung Ibis yang dibawa sang putri. Dia adalah jenis burung Ibis yang jarang terlihat di sungai Nil. Bulunya merah terang dengan paruh hitam. Ukurannya juga cukup besar sehingga Mena tidak bisa membawa kandangnya sendiri.
"Jenderal meminta saya untuk mencegah Anda meninggalkan area barak tuan Putri," prajurit itu tampak menyesal.
"Saya akan pergi, kau bisa sampaikan pada Jenderalmu itu untuk tidak perlu mengkhawatirkanku," Mena memaksa, dia tahu kalau para prajurit itu tidak bisa melarangnya. Secara hierarki, kedudukannya berada di atas Ahmose sang jenderal Ptah.
"Saya tidak akan pergi jauh," ujar Mena lagi kepada sang prajurit yang tampak luar biasa cemas memikirkan hukuman yang mungkin diterimanya.
***
Mena belum lama memelihara Nima. Secara teknis, burung Ibis itu bukan miliknya. Cyllenius menitipkannya kepadanya untuk membantunya menyampaikan pesan. Mena sempat heran, karena biasanya manusia menggunakan merpati. Burung Ibis adalah unggas yang biasa hidup liar dan berkelompok dengan habitat di perairan dangkal seperti tepian sungai Nil.
Mena membuka kandang si burung dan melihatnya mulai melangkah keluar. Dia menampilkan gestur sedikit bingung sebelum akhirnya mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh. Sebelumnya Mena telah bersusah payah menulis pesan untuk Cyllenius. Itu hal yang sulit, Mena tidak handal menulis Hieroglif. Simbol burung layang-layang yang dia gambar—-entah bagaimana malah mirip dengan burung hantu.
Sang putri melihat Nima yang terbang menjauh, kembali terbang ke arahnya. Mena pun memiringkan kepala bingung. Cyllenius bilang cukup lepaskan Nima dan dia akan menemukan sendiri tuannya. Tapi kenapa dia kembali lagi?
Nima mengepakkan sayapnya yang indah dan lebar, menciptakan hembusan angin kasar bercampur pasir kemudian dia hinggap di pundak seseorang yang entah kapan dan bagaimana bisa berada di samping Mena.
"Cyllenius?" Mena terperangah.
"Selamat pagi Amen-ra," Cyllenius menyapa. Nima si burung Ibis bertengger nyaman di bahu sang wakil gubernur Athena. Sebuah kombinasi yang janggal namun entah bagaimana terlihat indah di mata Mena.
"Kau bilang, kita tidak akan bertemu di Medan perang," Mena melihat ke sekelilingnya. Para pengawalnya tidak bereaksi. Mereka memang orang-orang yang terlatih menjaga rahasia. Melihat putri mereka diam-diam bertemu pria lain selain tunangannya bukan hal yang aneh. Pengawal kerajaan seperti mereka, biasa menemukan yang lebih berbau skandal. Seperti perselingkuhan para ningrat atau kegemaran menyimpang mereka terhadap para budak.