Ahmose, terlalu tenang. Seakan tidak memikirkan nasib istrinya yang mungkin akan kehilangan kepalanya di malam pernikahannya. Dia hanya berdiam di kamar Mena, makan dan minum apapun yang dia sukai dan membahas hal-hal remeh yang tidak berhubungan dengan tafsir mimpi Firaun.
Jenderal itu mungkin sengaja mengabaikannya karena tidak ingin membuat wanitanya cemas. Tapi Mena cukup cerdas untuk bisa membedakan, apakah seseorang sedang berbasa-basi atau benar-benar tidak memikirkannya. Gestur Ahmose menunjukkan, kalau dia tidak khawatir.
"Apa kamu percaya kalau aku diutus oleh Thoth? Karena itu kamu yakin kalau aku tidak akan dihukum Firaun?" Mena bertanya, sambil menyandarkan tubuh indahnya yang masih belum menanggalkan seluruh riasan pernikahannya.
"Mungkin," sahut Ahmose dengan seulas senyuman tipis. Bibirnya sedikit lembab karena banyak minum, Mena juga bisa melihat ada rona kemerahan di wajahnya, pertanda kalau dia mungkin mulai mabuk.
Firaun menetapkan waktunya sampai besok. Ketika bulan sudah berganti dengan matahari fajar dan tafsir mimpi Mena tidak terjadi, maka Firaun akan menghukumnya. Beberapa orang di sekitarnya—yang peduli pada Amen-ra—tampak cemas dan berusaha meyakinkan Firaun agar memberi keringanan hukuman. Tapi Akhenatum tidak bergeming. Kalau Mena salah, dia tetap akan dihukum mati.
Mena sendiri hanya bisa pasrah percaya pada perkataan Thoth dan Baba. Mena harus membuat semua orang percaya kalau dia adalah manusia pilihan dewa Thoth. Dewa pengetahuan itu bilang, Mena akan lebih dipercaya dan didukung oleh rakyat sebagai Firaun. Setidaknya para pendeta dan rohaniawan Mesir pasti mendukung penuh dirinya. Calon Firaun atau Firaun yang bisa meyakinkan rakyat kalau dia benar-benar bicara pada dewa, jumlahnya tidak banyak. Mungkin Mena adalah yang pertama sejak ratusan tahun terakhir.
Beruntung, peristiwa gelombang besar yang ditafsirkan Mena dari mimpi sang firaun, sudah terjadi. Mena mendengarnya dari Kahotep yang memberanikan diri mengetuk kamar pengantin baru itu. Ahmose yang membuka pintunya dan menerima pesan dari si kepala pelayan istana putri.
Nyawa Mena dipastikan selamat untuk beberapa waktu ke depan. Ahmose bilang, dengan menikahi dirinya, serta menjadi pendeta suci pilihan dewa, tidak akan ada yang berani nekat menyakiti Mena. Selain Ahmose yang tempo hari menghukum mati beberapa orang yang terlibat dalam insiden sungai Nil dan mencelakakan Mena, mereka juga takut dikutuk oleh dewa.
Apakah ini artinya Mena sudah bisa berdamai dengan istana Firaun? Apa Mena sudah bisa menyingkirkan segala dupa dan lilin beraroma sereh serta Cendana yang selalu di pasang di istananya sebagai penangkal ular? Yang juga tidak kalah penting, apakah Mena akan sepenuhnya menerima Ahmose sebagai suami sekaligus sekutunya untuk memimpin Mesir nanti?
Mena menoleh ke arah suaminya, yang tetap menawan seperti biasanya. Thoth bilang untuk berwaspada dengan Ahmose, dan menyarankan untuk menghindarinya. Mena sendiri sejak awal sudah berniat untuk memutuskan pertunangan mereka. Namun dengan licik, jenderal tampan itu berhasil membuat situasi yang memaksa Mena terikat pernikahan dengannya. Walaupun itu artinya dia harus menerima pukulan menyakitkan dari Firaun. Lebam samar masih terlihat di bahunya yang bidang. Mena meraihnya dan memberi usapan pelan di kulitnya.
"Kenapa?"
"Apakah masih sakit? Padahal sudah lebih dari dua hari," tanya Mena dengan ekspresi prihatin.
"Kamu khawatir padaku?"
"Kamu suamiku, aku merasa wajib untuk memedulikanmu," tanggap Mena.
"Ini bukan apa-apa, Mena. Aku pernah mengalami yang lebih buruk. Bagaimana denganmu? Apakah kau ketakutan selama ini? Dan Thoth, seperti apa rupanya?" Mena tidak yakin apakah suaminya sedang berbasa-basi atau serius bertanya.