Ketika Mena masih berdiam di kuil Karnak dan menyembah dewa setiap harinya, kadang ibunya berkunjung untuk menyapanya, atau sekedar menunjukkan kalau dia masih mengingat anaknya. Mena tidak pernah bisa menyingkirkan rasa takjubnya setiap melihat Anippe, ibunya yang memiliki paras seindah Dewi Hathor serta gerak gerik seanggun bangau air. Orang bilang mereka berdua sangat mirip, tapi Mena tidak ingin terlalu percaya diri. Dia tidak pernah merasa bisa menyaingi kecantikan ibunya.
Selain Firaun yang berlutut mencintainya, ada banyak pria lain yang menyembahnya sebagai Dewi. Mena yakin tidak pernah ada pria yang memujanya seperti itu.
Ibunya seringkali menyelipkan beberapa petuah bijak, yang membuat Mena percaya kalau dia bukanlah putri yang dibuang.
Katanya Anippe lah yang memaksa Firaun untuk menempatkannya di kuil. Dia khawatir kalau segala perdebatan dan hawa permusuhan di istana akan mengganggu tumbuh kembangnya. Semua karena tindakan Akhenatum dan sekutunya di masa muda, yang memenjarakan dan membunuh beberapa saudaranya dulu demi menyingkirkan pesaing untuk tahta.
Akhenatum bukan pangeran pertama, Firaun sebelumnya memiliki lebih dari selusin anak dari empat wanita yang berbeda. Para prianya, berusaha tampil sebagai putra terbaik untuk menduduki tahta Firaun. Jalan Akhenatum menuju singgasananya tidak terlalu suci dan bebas cela. Tangannya kotor oleh darah dan dia berharap mendapatkan pengampunan di sisa hidupnya dengan rajin menyembah ke kuil.
Walaupun Mena jarang bertemu sapa dengan ayahnya, ibunya sempat menegaskan rasa cinta yang dimiliki oleh Akhenatum pada dirinya. Rumor yang bilang, kalau Firaun tidak bisa punya banyak anak, sebenarnya tidak sepenuhnya tepat.
Firaun sengaja menjaga anaknya dari konflik antar saudara dan permusuhan yang berujung pertumpahan darah. Dia yang memutuskan untuk hanya memiliki dua anak yaitu Akhenatum II dan Amen-ra. Berbeda dengan Firaun sebelumnya yang punya puluhan anak dan membiarkan mereka berlomba menjadi yang terbaik, dia memilih mendidik Akhenatum II untuk menjadi Firaun yang bijak.
Meninggalnya sang pangeran di usia muda, disebut membuatnya cukup terguncang dan mengganggu kesehatannya. Dia tidak lagi terlalu peduli akan penerusnya yang lain yaitu putri Amen-ra dan seakan kehilangan minat melanjutkan pekerjaannya sebagai Firaun.
Melihat Firaun Akhenatum yang terbujur kaku di ranjangnya yang mewah, telah menyadarkan Mena akan satu hal.
Dia sendirian, dia tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu, kakak dan ayah kandungnya semua telah pergi meninggalkannya. Menyisakan tumpukan beban dan tanggung jawab yang menjerat bagaikan belenggu rantai di perut dan kakinya—-membuatnya sesak dan sulit bergerak.
Mena sudah berulang kali meyakinkan dirinya. Dia tidak punya sekutu, atau apapun itu yang bisa disebut sebagai teman sejati di istana Thebes ini. Kecuali Firaun, dan dia kini sudah meninggal dunia.
Sebentar lagi para pendeta kuil akan membawanya ke rumah pembalsaman. Dimana mereka akan merapal mantra dan puja puji kepada para dewa. Sebelum mereka mulai membedah jasadnya dan mengeluarkan seluruh isi perutnya. Memindahkan usus, paru, hati dan lambungnya ke dalam gerabah. Kemudian mengeringkan dan mengawetkan jantungnya untuk disimpan kembali ke dalam jasadnya.
Mereka akan menaburkan rempah dan garam, mengeringkan segala darah dan cairan yang masih menetap di dagingnya, sebelum membungkusnya dengan kain linen. Para pendeta akan memastikan tubuhnya berubah kering seperti kayu mati di gurun Sahara sebelum membuatnya tidur abadi dalam Sarkofagus mewah dan bersemayam dalam keabadian di komplek pemakaman khusus para raja.
Setelah itu semua selesai, walau akan memakan waktu lebih dari seminggu, Mena akan benar-benar sendirian.
Gadis itu terpaku di sisi ranjang sang Firaun. Sementara semua orang di kamar Firaun terisak bahkan menangis keras sambil menjatuhkan diri mereka. Mena hanya terdiam.
Kenapa ayahnya harus pergi dengan cepat? Dia belum membekalinya apapun yang bisa berguna dalam kehidupannya nanti sebagai Firaun.
Mena berdehem, kemudian melihat tajam kepada beberapa orang penting di sekitarnya.
"Firaun Akhenatum sudah tiada, siapa menurut anda yang akan memegang kendali Mesir sekarang?" Mena bertanya.
"Kalau anda bicara soal Firaun berikutnya, tentunya dia adalah anda, putri Amen-ra. Tapi seingat saya, anda sedang lupa ingatan. Saya menyarankan untuk menunda penobatan anda sampai—-" menteri utama Firaun berbicara.
"Saya baik-baik saja, lupa ingatan itu hanya sementara. Anda semua bisa mengeceknya pada tabib," Mena memotong kalimatnya tegas.
"Tapi anda masih muda, putri Amen-ra, para menteri dan bangsawan harus membicarakannya dulu sebelum—-" menteri itu menyanggah.
"Putri Amen-ra adalah pewaris tahta Firaun yang sah, Firaun Akhenatum sudah membuat wasiat yang jelas soal itu, dia sudah cukup umur jadi anda semua tidak bisa menahan haknya." Ahmose berjalan masuk ke kamar Firaun dan menghampiri Mena. Pria itu memijat bahu istrinya lembut menunjukkan gestur simpati sekaligus menegaskan intimasi antara mereka berdua.
"Selain itu, anda semua tahu soal putri Amen-ra yang bisa menerjemahkan mimpi Firaun dan pengakuannya sebagai pendeta suci yang dipilih oleh dewa Thoth. Apa anda semua berani mencelakai seorang utusan dewa?" Ahmose menambahkan.
Hening tercipta di antara mereka. Walau masih ada suara tangis dan ratapan parau dari para pelayan dan orang dekat Firaun, para pejabat tinggi Mesir itu tidak bisa membantah perkataan Ahmose.
"Bagus, kalau begitu putri Amen-ra akan menunggu prosesi penobatannya segera. Kami harap tidak terlalu lama," Ahmose tersenyum merasa puas menyaksikan ekspresi pasrah dari para petinggi itu. Mereka mungkin berpikir bisa digantikan. Satu-satunya cara agar tetap bisa menikmati kekuasaan adalah dengan bersikap baik pada Mena. Adanya Ahmose membuat mereka sulit mengulur waktu. Awalnya mereka berpikir untuk menunda penobatan Amen-ra dan menunjuk salah satu dari para menteri itu sebagai Firaun sementara.
"Aku akan kembali ke kamarku kalau begitu," sahut Mena tegas, mulai membiasakan diri dengan gelar barunya nanti sebagai Firaun.
"Apakah aku perlu mengantarmu, Firaun?" Ahmose bertanya sambil menggandeng tangannya.
"Aku ingin berduka sendirian di kamarku, aku akan memanggilmu nanti jika aku membutuhkanmu," Mena bicara sambil mengelus rahang suaminya, meminta pengertiannya.
"Aku akan berdiam di istana Firaun untuk memberikan penghormatan terakhirku. Kuharap aku tidak perlu menunggu lama," Ahmose memberikan kecupan pelan pada telapak tangan Mena yang menimbulkan sapuan rona kemerahan di area pipi sang putri.
***