Ketika malam hari di Mesir, dewa Amun akan menghembuskan nafasnya yang dingin membeku ke sepanjang sungai Nil. Penduduk Mesir yang sudah terbiasa, tidak akan terganggu karenanya. Termasuk para bangsawan yang tidur dengan selimut domba tebal mereka dan menutup celah jendela di dinding mereka dengan kain atau papyrus agar terjaga dari dingin.
Namun malam ini, entah kenapa hawa terasa jauh lebih dingin dan membuat Mena tidak nyaman. Selimutnya ternyata tersingkap, dia merasa seakan ujung kakinya membeku. Mena mengerjapkan kelopak matanya yang indah dan berniat turun dari ranjang besarnya untuk mencari air minum demi membasahi mulutnya yang terasa kering.
Ketika dia menapak ke lantai batu kamarnya. Mena mungkin merasa menghadapi teror paling mengerikan di sepanjang masa tinggalnya di komplek istana Firaun. Dia beberapa kali melihat ular berbisa, namun itu sudah lama tidak terjadi. Terutama sejak dia menjadi Firaun. Tapi kali ini, Mena melihat puluhan ular kobra berukuran besar tengah melihatnya fokus seakan Mena adalah seekor tikus ladang buruan mereka.
Sang Firaun berteriak sekuat-kuatnya dan berusaha berlari menghindari serangan mereka. Para kobra itu mematuk dan mendesis marah padanya, walau tahu yang Mena lakukan semata adalah upaya membela diri. Sang Firaun menjatuhkan guci anggur dan pajangan mewah di kamarnya ketika dia panik. Kemudian salah seekor ular itu membelit kakinya dan menjatuhkannya ke lantai.
"Mena! Mena!" Dia mendengar Ahmose memanggil namanya.
Posisinya masih di lantai, tersungkur lemah dengan keringat dingin mengucur dari dahinya sampai membuat rambutnya terasa lepek. Ahmose membantu istrinya yang masih gemetar berdiri.
"Kenapa berteriak? Kenapa kamu tidur di lantai?" Ahmose bertanya sambil menggendongnya kembali ke tempat tidur.
Mena melihat ke sekelilingnya. Para ular itu menghilang. Tapi Mena yakin kalau dia tidak bermimpi. Dia masih merasakan nyeri akibat bahunya membentur keras dinding. Dia juga melihat guci anggur yang pecah serta pajangan yang jatuh. Mena pun melirik ke arah pergelangan kakinya, ada lebam berbentuk belitan ular di sana. Mena tidak bermimpi.
"Ahmose, aku melihat ular, banyak sekali. Mereka mau menangkapku," Mena memandang mata suaminya bersungguh-sungguh.
"Ah, Mena, lagi? Tidak ada ular dimana pun," Ahmose menggeleng.
Sudah seminggu lebih Mena merasa kewarasannya diuji. Dia melihat aneka hal yang menyeramkan dan aneh. Mulai dari patung sphinx yang berjalan melintasi beranda kamarnya. Bayangan hitam yang menyapanya ketika dia sedang menerima tamu penting di singgasananya, sampai air mandinya yang berubah seperti darah.
Belasan penyihir resmi kerajaan telah dikerahkan untuk mencari tahu kebenaran itu. Mena menduga seseorang telah mengirimkan sihir kepadanya. Namun semua penyihir itu meyakini kalau tidak ada serangan sihir. Para dokter bilang, Firaun mungkin terlalu banyak pikiran sehingga berhalusinasi.
Gadis itu menggenggam tangan suaminya. Hangat dan nyaman. Ahmose jelas berada di sisinya sekarang. Menjaga dan menemaninya. Mena menggunakan kuasanya sebagai Firaun untuk memaksa jenderal Ptah tetap disisinya, sejak dia melihat ragam penampakan aneh.
"Kamu akan baik-baik saja Mena, aku di sini menemanimu. Tapi kalau boleh tahu, kapan aku bisa kembali ke perbatasan? Aku cemas para wakilku tidak bertugas baik di sana," Ahmose bertanya sambil memeluknya dan membelai rambutnya.
"Tidak Ahmose! Aku tidak peduli dengan urusan perbatasan. Para monster itu mungkin mengincar nyawaku," Mena melarang.
"Mena, kau baik-baik saja. Tidak ada monster atau ular. Kamu dilindungi ratusan prajurit terbaik dan penyihir tersakti di mesir. Aku juga selalu mengawasimu. Aku punya banyak mata di istana ini," Ahmose menjelaskan.
"Katanya kau mencintaiku, kenapa kau suka sekali pergi meninggalkan istrimu? Aku membutuhkanmu di sini," gerutu Mena emosional.
"Kau juga masih berutang penjelasan kepadaku tentang para tentara yang menghilang itu. Kau tidak pernah membahasnya. Apa kau pikir aku lupa?" Lanjut Mena lagi.
"Kondisi mentalmu masih belum cukup baik untuk mencerna penjelasanku. Aku enggan membahasnya," Ahmose menggeleng.
Percakapan mereka terhenti tatkala Mena mendengar sesuatu mengetuk daun jendelanya. Dua kali ketukan samar, diikuti tiga kali ketukan yang lebih keras. Itu jelas bukan suara yang ditimbulkan oleh ranting yang menabrak jendela karena tiupan angin.
"Ahmose, keluar sebentar dari kamarku," Mena melepaskan pelukannya pelan.
"Apa? Kenapa?"