"Apa yang kau lakukan di kamarku? Keluar!" Hardik Mena emosional tatkala melihat daun pintu membuka dan pria yang masih menjadi suaminya melangkah pelan mendatanginya.
Mena tidak menyangka kalau Ahmose masih berani mendatanginya, bahkan bertatap mata saja seharusnya dia malu. Dia telah merebut tahta Firaun dengan cara yang licik dan memanfaatkan keluguan istrinya. Aksi Ahmose hari ini, sama sekali diluar perkiraannya. Mena tidak tahu sudah berapa banyak menteri dan pejabat yang dipengaruhinya ketika merencanakan kudeta tidak berdarah itu.
Perempuan jelita itu dikalahkan, bahkan sebelum dia berjuang maksimal. Dukungan dewa atau apapun itu terasa sia-sia dan tidak bermakna. Ahmose selalu berjalan dua langkah di depan Amen-Ra, seakan bisa memprediksi apapun tindakan yang akan dilakukan istrinya.
Menceraikan Ahmose, sebenarnya perkara mudah. Hukum Mesir menyatakan bahwa hanya ada dua hal yang membuat pasangan bisa berpisah. Yaitu jika mereka belum punya anak. Atau jika sang wanita terbukti melakukan perselingkuhan. Ahmose adalah pria yang setia, setidaknya dia belum menunjukkan indikasi ingin menikahi gadis lain. Mena sendiri terlalu sibuk memikirkan Mesir dan walaupun Thoth terkesan bersedia menjadi pria keduanya, Mena tidak berani melakukannya.
Namun pernikahan mereka masih sangat muda. Mena disarankan menunggu sedikit lebih lama sebelum mengajukan cerai. Tapi setelah kejadian hari ini. Mena tidak peduli walaupun tinta dokumen pernikahannya belum mengering. Dia harus berpisah.
"Maukah kau mendengarkan aku?" Tanya Ahmose dengan ekspresi muram bercampur cemas.
"Hanya untuk membahas perceraian kita," sahut Mena dingin.
"Aku ingin menjelaskan semua ini kepadamu, tentang kenapa aku melakukan ini," Ahmose berbicara dengan hati-hati. Kepercayaan dirinya di hadapan para pejabat tadi seolah menguap.
"Aku tidak peduli, perasaanku terlalu sakit bahkan hanya dengan berbicara denganmu seperti ini. Bisakah kau tinggalkan aku? Kurung aku di kamar seperti biasa dan biarkan aku membusuk di ranjangku sambil menyesali kenapa aku menikahimu?" Gertak Mena dingin dengan suara tercekat.
Mena tentu tidak benar-benar berencana mati. Dia tidak ingin membuat suaminya terlalu senang. Kematian Mena adalah kemenangan yang mudah bagi Ahmose.
"Tidak mungkin aku akan membiarkanmu mati, Mena, aku membutuhkanmu," suara Ahmose terdengar getir dan pria tangguh itu berusaha menggapai istrinya.
Mena menepis tangannya dan memandangnya emosional.
"Simpan kata-kata manismu di pemakamanku nanti, kau perlu meyakinkan rakyat Mesir kalau kau berduka atas kematianku agar tahtamu kokoh," Mena berkomentar sinis.
"Aku melakukan semua ini demi kesejahteraan dan kejayaan Mesir," ujar Ahmose.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu. Bisa keluar dan tutup pintunya? Atau aku akan berteriak mengaku kau memukuliku? Ah iya tidak bisa, karena sekarang semua orang menganggapku perempuan gila!" Sergah Mena lagi.
Wanita itu pun melepas wig dan sanggulnya emosional. Membiarkan rambut indahnya jatuh tergerai di bahu telanjangnya yang ramping. Dia mengacak rambutnya membuatnya kacau kemudian memandang suaminya galak.
"Bagaimana kalau begini? Aku sudah terlihat cukup tidak waras bagimu? Firaun?" Mena bertanya sarkastik.
"Hentikan itu Mena, kau bersikap konyol," Ahmose menggeleng.
"Makanya! Keluar dari kamarku!"
"Tidak! Aku sekarang Firaun! Aku punya hak atas segalanya di sini! Termasuk terhadap dirimu!" Ahmose terusik akan sikap istrinya.
"Kamu tahu kan kalau aku tidak benar-benar gila?" Mena menanggapi dengan suara dipelankan.
Ahmose diam sejenak dan mengangguk.