Ahmose mengetukkan jemarinya pada dudukan singgasana Firaun dengan perasaan gusar. Ada sesuatu di dalam hatinya yang terus menghantuinya. Dia tidak merasa nyaman sama sekali. Meskipun seluruh kendali dan kekuasaan Mesir sudah berada di tangannya, anehnya dia tidak merasa bahagia.
Pria itu melihat Nat, penyihir yang merupakan sekutu sekaligus mentornya berjalan mendekat. Perempuan jangkung dengan riasan mata gelap itu melontarkan pandangan emosional dan tanpa rasa takut mengangkat wajahnya melihat sang Firaun.
"Kenapa kau tidak bunuh saja dia?" Kata Nat dengan nada menuntut.
Ahmose segera mengangkat tangannya kemudian seluruh orang di ruangan itu membungkuk dan meninggalkannya.
"Hati-hati kalau bicara Nat, seseorang bisa mendengarnya," kata Ahmose.
"Kau ini firaun, apa yang kau takutkan? Kekuasaanmu sangat kokoh. Bukankah kau sudah mendapatkan dukungan dari mayoritas pejabat Mesir untuk ini? Mereka tidak akan peduli walau kau berkata buruk soal Amen-Ra atau berencana membunuhnya," ujar Nat.
"Mena juga masih punya pendukung setia. Rakyat jelata dan para pendeta menyukainya. Kalau mereka tahu perpindahan kekuasaan ini direncanakan, bisa saja terjadi masalah," Ahmose menggeleng dan membahasnya dengan suara pelan.
"Tentang Amen-Ra yang didukung dewa Thoth? Tapi kau sendiri punya dukungan dari dewa Seth dan para dewa lain sekutunya. Thoth yang berkomunikasi dengan Amen-Ra, diragukan identitasnya. Lagipula dia bukan seorang dewa yang punya kekuatan besar. Thoth adalah seorang agamawan dan dewa yang netral. Dulu dia kami percaya untuk mengurus Sarkofagus kami, karena kami menganggapnya tidak berpihak. Tapi kenyataannya dia menyingkirkan makam Seth dan sekutunya. Membuatnya sulit terdeteksi. Membuat kita semua kerepotan dan nyaris menyerah untuk membangunkan dewa Seth," Nat mengeluh sambil mencengkram kulit lengan kirinya yang gelap namun pucat merasa marah.
"Kapan dewa Seth akan kembali ke Thebes? Dia menjanjikanku kekuatan. Sebelum niatku goyah, aku harus segera bergerak. Yang Amen-Ra katakan tidak sepenuhnya salah. Mesir memang tidak dirancang menjadi negara militer. Tapi sebelum kerajaan lain menjadi semakin kuat dan mengalahkan mesir, aku harus melemahkan mereka lebih dahulu," kata Ahmose.
"Di rencana awal, kau seharusnya membunuh Amen-Ra begitu kekuasaan resmi di tanganmu. Aku bisa melakukannya. Membuatnya mati lemas seperti sakit alami atau membungkamnya dengan merusak saraf otaknya," Nat mengingatkan sekaligus memberikan penawaran.
"Aku akan membunuhmu kalau kau menyentuh Mena," sahut Ahmose sambil memandangnya tajam.
"Sudah sejak awal kuperingatkan. Kau mendekatinya demi tahta Firaun! Kenapa kau biarkan dirimu jatuh cinta dengannya! Dia kini menjadi kelemahanmu Firaun Ahmose!" Nat berkata marah.
"Aku sama sekali tidak bisa membayangkan masa depanku tanpanya. Seharusnya kau menjadi yang paling paham akan diriku, dewi Anat," Ahmose menyebut nama asli dari penyihir itu. Dia adalah Anat sang Dewi perang.
Anat adalah salah seorang istri dari Seth yang setia. Dia dinikahkan dengan Seth oleh Ra setelah peristiwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Nephtys istri pertama Seth. Nepthys yang jatuh cinta pada Osiris, kakak kandung dari Seth, menyamar menjadi Dewi Isis—-istri Osiris, kemudian tidur dengannya. Seth yang murka dan merasa dikhianati pun mengejar Osiris dan membunuhnya kemudian memutilasi tubuhnya. Seth menyebarkan potongan tubuhnya ke seluruh dunia dan membuat Isis sibuk mengumpulkannya. Nepthys sendiri meninggalkan Seth dan bersama Isis berusaha menghidupkan kembali Osiris.
Tatkala seluruh potongan tubuh Osiris ditemukan. Isis pun menyembuhkannya dan membuatnya hidup kembali. Namun karena Osiris sudah menyentuh dunia kematian, maka dia hanya bisa menjadi dewa alam bawah dan menguasai dunia orang mati. Seth pun mendapuk dirinya sebagai penguasa mesir berikutnya dan mengklaim singgasana Osiris.
Seburuk apapun pengkhianatan Nepthys, Seth tetap mencintainya dan tidak kuasa berbuat buruk terhadapnya. Anat mendampingi Seth dengan penuh kesetiaan meskipun hatinya terluka mengetahui suaminya tidak benar-benar menginginkannya.
Ketika semua dewa Mesir tertidur dalam Sarkofagus mereka lima ribu tahun silam, mereka semua memutuskan menyerahkan nasib mereka pada takdir. Baik kubu Osiris maupun Seth sepakat untuk menunggu. Selain metabolisme tubuh mereka mengharuskan mereka untuk mengistirahatkan tubuhnya sementara—-mereka juga sama-sama berusaha memahami ramalan terakhir dari Dewa Ra sebelum dewa matahari itu meninggalkan Bumi.