Gurun Sahara, Mesir.
Tiga Bulan Setelahnya.
"Thoth! Aku sudah menguasainya! Aku sudah memahami Hieroglif!"
Hermes berseru di luar kuilnya. Pria Titan itu menggenggam gulungan papyrus yang tampak lembab karena tangannya berkeringat. Hermes berpenampilan layaknya orang Mesir—- walau dia enggan menyembunyikan kulit putih pucat serta mata birunya. Hermes melilitkan kain ke dahinya untuk menyerap keringat yang menetes. Kakinya yang menjejak pasir gembur dibalut oleh alas kaki sederhana. Dia serupa dengan kaum musafir yang hidup berpindah-pindah di padang pasir.
Thoth menyambutnya dengan pandangan mata datar sambil melipat tangannya di perutnya. Dia muncul dengan misterius dari balik celah reruntuhan batu-batu besar bertumpuk yang memiliki beberapa ukiran rumit terpahat di sana.
"Hermes, bukankah kau dewa Yunani yang sibuk?"
"Aku sudah melakukan semua tugas dari Zeus. Dia juga bisa menyuruhku kapan saja. Aku tidak sabar untuk melihat isi kuilmu. Izinkan aku masuk!" Hermes bersikeras.
"Bukan hanya tugas dari Zeus. Aku tahu kalau pemimpin Titan itu tidak banyak memberi pekerjaan padamu. Dewa Yunani enggan terlalu terlibat dengan hidup manusia. Aku bertanya tentang tugas yang kuberikan kepadamu, Hermes," ujar Thoth mengingatkan.
Hermes—-yang merasa terik matahari mulai mengikis nalarnya—-tersenyum.
"Aku sudah mengamati dan memberi pesan di kuil-kuil dewa Thoth yang tersebar di Delta Nil. Ada yang menarik, ternyata mulai ada pemukim Yunani di sekitar kota Khnum. Mereka menyebut kota itu sebagai Hermopolis. Orang-orang itu menganggap kalau aku dan dirimu adalah dewa yang sama," Hermes menjelaskan hasil dari pengamatannya.
"Baiklah, kau kuizinkan masuk. Tapi hanya di lantai pertama," Thoth menyanggupi dan meminta Hermes mengikutinya.
Hermes merasa kesejukan segera menerpa kulitnya begitu dia menjejakkan kakinya yang berpasir ke antara celah lempeng batu raksasa itu. Ada sebuah pintu yang disamarkan dan Hermes melihat gurunya membuka dengan menempelkan telapak tangannya. Hermes ingat kalau Hades memiliki teknologi serupa di kediamannya. Artinya hanya Thoth sendiri yang bisa memasuki kuil rahasianya itu.
Nuansa serba putih dan hening pun menyapanya. Thoth menyebutnya sebagai lantai satu. Walau tidak terlihat sama sekali dari luar—-kuil milik thoth ternyata sangat luas. Namun lantai satu adalah ruangan kosong yang sangat besar. Hermes sendiri ragu dimana dia bisa duduk. Ketika dia melihat Thoth duduk bersila di hadapannya. Hermes pun mengikutinya. Walau duduk bersila ternyata menjadi hal yang cukup sulit baginya.
"Apakah karena itu, kau memintaku mengamati kehidupan di Khnum? Kau ingin aku tahu tentang dirimu di pandangan para manusia yang tinggal di sana?" Hermes bertanya. Suaranya bergema berulang kali, padahal dia bicara cukup pelan.
"Kau tahu, sebenarnya aku bukan orang yang ramah. Pekerjaanku sudah sangat banyak dan berteman tidak pernah masuk agendaku selama ribuan tahun ini. Tapi aku menghargaimu dan merasa kalau kau bisa memahamiku serta berbagi pemikiran denganku sejak aku tahu kalau namamu adalah Hermes,"
"Karena kau tahu di delta Nil dewa Hermes dan Thoth dianggap orang yang sama?" Tebak Hermes.
"Ya, kita berdua sama-sama disembah sebagai dewa yang memandu jiwa orang mati serta dipercaya mengajari manusia tentang ilmu dan menulis," Thoth mengangguk.
"Tapi itu hanya kebetulan, manusia cukup cerdas untuk membuat deskripsi tambahan tentang Hermes. Kami membebaskan para manusia itu untuk melakukan interpretasi terhadap kami. Orang Yunani yang tinggal di delta Nil, mungkin menjadi mengenali Thoth dan menyamakan dirimu denganku,"
"Aku tidak percaya akan adanya kebetulan di dunia ini. Ada sesuatu yang mengendalikan kehidupan semua mahkluk di semesta ini. Mungkin ini sebuah pertanda kalau kamu akan membantuku di masa depan," Thoth berandai-andai.
"Aku bersedia menjadi murid dan pelayanmu, karena aku ingin tahu tentang bangsamu. Kapan kau akan menceritakannya?" Hermes bertanya.
"Aku sudah menyuruhmu mempelajari hieroglif,"
"Aku sudah melakukannya. Itu mungkin salah satu tantangan paling berat selama puluhan tahun terakhir. Aku benci belajar," keluh Hermes.
"Tapi kau bisa melakukannya dalam waktu yang terbilang singkat. Kalau yang kau bilang itu benar, kau seharusnya bisa membacanya," Thoth menjentikkan jemarinya.
Sesuatu muncul dari lantai yang seharusnya padat. Namun saat ini, Hermes melihat sebidang lantai putih itu beriak seperti pasir hisap. Sebuah lempeng batu emerald besar pun perlahan muncul ke permukaan. Lantainya kembali memadat dan menyisakan benda mirip prasasti yang dipahat dengan huruf mirip hieroglif berdiri kokoh di hadapan mereka berdua. Ukurannya cukup besar, nyaris setinggi pinggang Hermes.
"Apa ini?" Hermes bangun dari duduknya dan segera mengamatinya. Hermes menyentuhnya dan kesejukan segera menjalar ke jarinya.
"Itu adalah prasasti yang kubuat untuk mengabadikan peradaban kaumku. Terbuat dari batu emerald hijau yang langka dan tidak mudah rusak. Kalau kau sudah menguasai hieroglif, kamu akan bisa membacanya," Thoth tersenyum.
Hermes menarik napas dan mengakses salah satu bagian otaknya yang selama beberapa bulan ini bekerja keras untuk mempelajari dan menghafal lebih dari tiga ratus karakter huruf hieroglif. Dia memundurkan sedikit tubuhnya agar bisa melihat keseluruhan lempeng itu.
"Ini bukan hieroglif!" Protes Hermes merasa sia-sia.
"Tidak tentu saja, ini bahasa kaumku. Induk dari hieroglif. Kau akan memahaminya. Itu, kalau kau memang ditakdirkan bisa membaca tablet ini," Thoth menanggapi santai.
Hermes pun mulai mengeja dalam hatinya.
Aku, THOTH, Atlantean, penguasa misteri,