Aku baru menginjak usia 13 tahun saat pertemuan keduaku dengan Leith. Dia hanya sekitar 3 atau 4 tahun lebih tua dariku, dan menunjukkan reaksi yang sama seperti anak-anak lain saat melihatku. Melangkah mundur, terpaku dalam ragu, antara takut untuk tetap berdiri di tempat dan takut untuk melarikan diri. Maka mereka memasang strategi pertahanan berupa gertakan.
“A-apa yang kau inginkan?!” serunya sambil memasang kuda-kuda. Mata kelabunya menatapku tajam, menyelidik. “Apa kau berniat menjadikanku budakmu?”
Ya, reaksi siaga dan gertakan seperti itu sudah biasa kuterima setiap kali berpapasan dengan anak lain yang mengetahui identitasku sebagai pangeran. Sewaktu kecil dulu, reaksi mereka pernah membuatku bertanya-tanya apakah gelar pangeran sama menakutkannya dengan penjahat. Kini setelah memahami penyebabnya, aku tidak bisa menentukan apakah sama atau tidak, atau manakah yang lebih buruk.
“Tidak. Aku tidak butuh budak,” kataku sambil melanjutkan perjalanan dengan kuda putihku, Hercules. Kehilangan minat pada vampire berambut kelabu-putih itu. Tadinya aku berniat menanyakan mengenai perubahan penampilannya.
Leith meneriakkan beberapa kalimat gertakan lain, yang tak kuhiraukan sama sekali. Aku bukan hanya tidak butuh budak atau pelayan. Aku membencinya—takut, lebih tepatnya. Pasalnya, sebelum usiaku bertambah tahun ini, kupikir hidupku akan berakhir. Kejadiannya tepat setelah sebuah pesta dansa tahunan kerajaan. Seperti biasa, aku undur diri lebih dulu, memilih menghabiskan waktu di ruang kerjaku. Tanpa terpikirkan sama sekali, seorang pelayan kerajaan yang sudah melayaniku selama 10 tahun ini, menaruh racun dalam darah yang disajikannya malam itu.
Karena bukan yang pertama kali diracuni, aku langsung mengenali gejalanya beberapa menit kemudian. Sialnya, racun yang baru kuminum jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dan lagi, jika pelayan yang kuanggap bisa dipercaya adalah pelaku utama, artinya aku tidak bisa mempercayai satu pun di antara pengawal dan pelayan di sekitarku.
Sensasi terbakar dan sakit mulai menjalar keluar dari setiap pembuluh darah di sekujur tubuhku. Aku membekukan pengawal dan pelayan yang berjaga di koridor depan ruang kerjaku. Berlari mengendap menuju bagian keep istana, tempat kamar pribadi raja dan ratu berada. Mengutuk kenaifanku sendiri. Seharusnya aku sudah tahu bahwa tidak ada siapa pun di dalam kerajaan ini yang bisa kupercayai selain ayah dan ibu.
Sang ratu, ibuku, tidak ada di kamarnya. Aku membentak dua pengawal yang berjaga di pintu depan untuk segera memanggilkannya. Sensasi terbakar makin menjadi, dapat kurasakan beberapa pembuluh darahku pecah di balik kulit dan daging. Dan racun tadi menyerang ke dalam organ dan jantung. Aku terbatuk, menumpahkan darah dari mulutku. Tidak yakin berapa banyak lagi waktu yang kumiliki.
Kekuatanku adalah pengendalian berbagai unsur elemen. Dan dalam kondisi normal, aku bisa mengendalikan unsur dalam racun. Tapi berbeda cerita jika tubuhku sendiri terdampak. Musuhku tidak bodoh. Mereka memberikan racun dalam dosis yang sangat kuat. Mungkin vampire biasa akan mati dalam hitungan detik.
Di antara sisa kesadaran dan pandangan yang kabur, aku melihat sosok ibuku berlari mendekat. Tangannya menyentuh bagian sisi leherku, memeriksa denyut nadi. Lantas diambilnya sedikit darah dari tepi bibirku dengan ujung jemari lentiknya. Ibuku sangat mahir mengenali obat-obatan, ia hanya perlu mencium baunya. Detik berikutnya, ibuku berlari menghampiri sebuah lemari super besar yang dipenuhi laci-laci kecil, membuka beberapa laci dan mencari.
Kesadaranku nyaris hilang saat ibu menyuntikku.
“Arch, kau bisa mendengarku?” tanya ibu mengecek. Suaranya terdengar datang dari tempat yang sangat jauh meski aku tahu ia tepat di sampingku.
Aku memaksakan diri mengangguk, tidak boleh sampai lengah dan kehilangan kesadaran. Meraih bagian atas kepalaku dan mencengkeramnya, berusaha memaksa isi kepala kembali bekerja. Jika aku pingsan, orang-orang yang aku bekukan bisa melarikan diri.
“Tidak apa. Ayahmu sudah mengurus mereka,” ujar ibuku seolah mengerti yang kupikirkan.
“Maaf, aku lengah ….”
Ibuku tidak mengatakan apa pun. Beliau meraihku dalam pelukannya yang hangat, membelai bagian atas kepalaku. Aku kembali mengeluarkan batuk darah. Membuat jubah kerajaan yang dikenakan ibuku terkena cairan merah di bagian perut hingga dada.