The Queen of Vampires

Laila NF
Chapter #3

Arch: Wounds from the Night of Rebellion

Rasanya seperti mimpi. Gadis yang kucintai ada di sini, di pelukanku. Aku tidak perlu bunga tidur lagi dengan dia di sini. Aku merentangkan lengan, mencari sosok hangat yang berbagi selimut denganku malam ini. Mengerjap ketika mendapati sisi lain ranjang yang kosong. Mengedarkan pandangan menyapu kamarku yang luasnya lebih dari 30 m2 dengan tiga jendela tinggi bertirai ganda berwarna putih dan keemasan di salah satu sisinya.

Key berdiri di depan sebuah cermin besar yang terletak di samping pintu menuju ruang pakaian. Dia menyibakkan baju, memperhatikan luka di perutnya yang masih terlihat merah segar. Aku turun ke tepi ranjang, menghampirinya.

“Masih sakit?” tanyaku.

Key menggeleng pelan dengan sebuah senyum canggung. Menutupkan kembali kaos yang disibakkannya. Pasti masih sakit, batinku meraih salah satu laci pada sebuah lemari kecil di dekat dinding. Mengambil sekotak obat luka. Mengernyit sebentar mengingatkan diri untuk melihat expired date pada kemasan—hampir lupa bahwa sudah dua tahun kamar ini tidak berpenghuni. Safe.

Aku kembali mengajak Key duduk di sebuah sofa panjang berbusa gempal. “Boleh aku lihat?”

Key terlihat sedikit ragu, tapi dia mengangguk lalu kembali menyibakkan kaosnya. Aku membuka tutup kemasan obat berupa krim buatan elf, mengambil sejumput dengan tiga jari tangan kanan. Lalu mengoleskannya perlahan pada luka di perut Key.

“Arch, kenapa luka ini belum sembuh?”

Aku mengambil kembali krim dan mengoleskannya. “Pedang hitam yang menusukmu bukan pedang biasa,” jawabku. “Cursed blade. Sudah lama aku tidak melihat yang sepekat itu.”

Cursed?” gumam Key. “Apakah kutukan itu membuat kemampuan penyembuhan vampire tidak bekerja? Bahkan bakat Efterpi?”

Aku mengangguk. “Mungkin.” Jujur saja, aku sendiri tidak tahu banyak tentang cursed blade. “Itulah kenapa kau seharusnya tidak melompat begitu saja menghadang bahaya”

“Firasatku sangat buruk sewaktu melihat bagaimana pedang itu bisa dilempar lurus seolah terbang ke arahmu. Ketepatannya mengerikan,” ujar Key. “Jika waktu itu aku tidak menghalanginya, apakah benar-benar bisa mengenaimu?”

Gerakan tanganku terhenti, mendongak menatap sepasang mata light brown hazelnut miliknya. “Mungkin.”

Mata Key menyipit, tajam. Seolah berusaha menggali ke balik mataku.

“Kau tidak takut?”

Aku membentuk simpul kecil di ujung bibir, menggeleng. Takut, ya? Ini tidak seperti aku baru pertama kali mengalami percobaan pembunuhan. Musuhku terlalu banyak untuk ditakuti. Dan serangan dari belakang punggung semacam itu sudah terlalu biasa untuk membuatku terkejut. Yang mengagumkan justru bagaimana seorang gadis seperti Key melompat dan mengorbankan diri untuk melindungiku.

“Ini pasti masih sakit,” ujarku.

Key mengangguk. Aku kembali mengamati luka tusuk di perutnya. Masih merah dan sedikit menganga. Bakat healing Efterpi tidak dapat memulihkannya jadi dia melakukan pertolongan pertama secara manual, dijahit. Namun itu hanya menutup bagian luarnya dan menghentikan pendarahan saja. Sejujurnya, mengingat ludah vampire yang juga tidak bekerja untuk memulihkannya, mungkin obat buatan elf juga tidak akan membantu.

Aku menunduk, meniup pelan luka merah di perut Key. Membuatnya sedikit berjengit terkejut.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Key. Kedua pipinya terihat lebih merah dari yang kuingat. Entah untuk alasan apa. “M-maksudku, healing Efterpi dan ludah vampire saja tidak bekerja ….”

“Justru karena keduanya tidak bekerja,” ujarku, kembali meniupkan udara ke atas luka di perutnya.

Aku sendiri tidak yakin apa yang kulakukan. Tapi aku melanjutkannya meski tanpa alasan jelas. Sampai suara pintu terbuka dan langkah-langkah kaki yang tergesa mengagetkan kami.

Zane yang muncul dari balik pintu memanggilku dengan keras. Ada rasa urgensi tidak biasa di dalam suaranya. “Arch, bangun! Kau harus ikut denganku ….”

Perkataan Zane terhenti ketika matanya mendarat pada Key yang duduk di sofa, dengan aku berlutut di depannya. Aku bisa melihat sebuah kerutan kekesalan muncul di pelipis kirinya yang tidak tertutupi anak-anak rambutnya yang hitam legam.

“Apa yang …..?” Zane menahan pertanyaanya. Atau mungkin dia hanya mengurungkannya karena tidak ingin mendapat jawaban. “Your Highness, ada keadaan mendesak. Terjadi keributan di distrik 13.”

Aku meletakkan kotak obat di atas sofa, bangkit berdiri. Mengalihkan tatapanku dari Zane kepada Key. Aku mungkin harus menunda janjiku untuk menemaninya keluar besok lusa.

“Key ….”

“Pergilah,” kata Key mendahuluiku. “Aku akan menunggu.”

Aku mengangguk lalu berbalik menghampiri Zane. “Kita berangkat.”

Zane mengangguk, membiarkanku berjalan di depannya. Aku meraih mantel hitam dan jubah kerajaan yang digantung di samping pintu sambil berjalan keluar. Tidak mau membuang waktu untuk berganti pakaian. Zane menutup pintu di belakang punggungnya begitu kami keluar dari kamarku. Kerutan kekesalan di pelipisnya belum juga memudar. Kami terus berjalan, melewati koridor-koridor panjang dengan lampu-lampu kecil terang yang menempel di sepanjang dinding, bergegas menuju markas warrior di sayap kanan istana. 

Lihat selengkapnya