The Queen of Vampires

Laila NF
Chapter #4

Arch: Grave of Her Grieves

Mundur sehari dari rencana, tapi untunglah aku bisa keluar hari ini untuk menemani Key menemui Karen. Dua kakak beradik ini cukup sulit dipahami. Karen yang manis dan polos memiliki sebuah bakat yang bahkan tidak ditemukan di antara kami, para penduduk di underworld. Future vision, dan lagi hampir absolut. 99% peristiwa yang dilihatnya melalui bakat itu benar-benar terjadi. Bukan hal yang mengherankan bahwa dia menjadi incaran inhumans, termasuk seorang vampire dari klan pembelot, Wolfgang vanBlood. Vampire busuk itu membunuh kedua orang tua Key dan Karen, lalu mengubah Key setelah dia nyaris menguras habis darahnya.

Saat aku datang di gua tempat Key bersembunyi, detak jantungnya melemah dan menghilang. Bahkan menurut Karen, dalam future vision-nya, jantung Key memang berhenti berdetak saat itu. Namun Key secara ajaib kembali, mematahkan keabsolutan future vision Karen.

Jika dipikirkan lagi, mungkin yang seperti itu memang diri Key yang sesungguhnya. Tidak terduga, tidak dapat diprediksi. Dia selalu mengejutkanku dengan caranya sendiri. Dan menurutku, Key memiliki hal yang lebih berharga daripada bakat future vision Karen. Key orang yang realistis. Dia menganalisa keadaan dan lebih memilih menghadapi kenyataan di depan mata, seburuk apa pun itu. 

Tentu saja, dia juga seorang gadis yang mempesona. Hari ini Key memilih sebuah mantel navy sepanjang lutut, celana denim panjang, dan kemeja biru muda. Mengikat rambutnya ke belakang—kali ini dengan sisiran rapi. Seperti biasa, Key tidak memakai riasan tebal, which is suits her. Aku bahkan mengagumi bagaimana dia tetap terlihat cantik dengan wajah tanpa riasan sama sekali—yang dilakukannya setahun belakangan karena terlanjur larut dalam depresi.

Aku memilih memakai Chevrolet Fleetmaster, sebuah mobil Sport Sedan dengan 4 tempat duduk yang—tentu saja—merupakan model terbaru keluaran tahun ini. Chevrolet warna hitam ini memiliki moncong yang cukup panjang, bagian tengah tempat hood lebih tinggi dan menonjol dari dua sisinya di mana sepasang lampu bulat dipasang. Setelah sampai di 19th Street Denver, Colorado, aku menepikan mobil di sebuah lahan parkir yang cukup luas. Tepat di depan tempat pemakaman umum yang sempat kami datangi tahun lalu—saat pemakaman Key lebih tepatnya. Key mengambil masker wajah berwarna hitam dari tas lalu mengenakannya untuk menutupi mulut dan hidung. Berjaga-jaga jika ada orang yang mungkin mengenalinya.

Pemakaman umum yang dikelilingi pagar dinding kelabu itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Sunyi dan senyap, padahal lokasinya tidak jauh dari pusat kota. Walau memang 19th Street terhitung lebih lenggang dibandingkan jalan raya lain. Di bagian dalam pagar dinding pemakaman ditanami pohon-pohon beranting kering dengan sedikit daun, memberikan penampakan seperti jemari yang menggapai-gapai keluar dari liang kubur—tentu saja ini hanya imajinasiku.

Vampires have no grave. Well, bangsa kami memang tidak secara harfiah berubah menjadi abu ketika mati, tapi yah, we do turn to ashes. Ini karena jasad vampire harus dikremasi, diubah menjadi sekumpulan abu tanpa bentuk lalu disebarkan ke aliran sungai atau lautan. Menurut folklore lama yang biasa diceritakan untuk anak-anak vampire, proses pembuangan abu bertujuan agar yang sudah mati dapat kembali ke sisi dewa dengan segera—lebih tepatnya kembali ke bumi. Tapi tradisi ini bukan sekedar tradisi. Aku menyadarinya saat berusia 7 tahun, tujuan kremasi dan pelarutan abu vampire adalah agar tidak ada yang dapat menemukan jejaknya. Hal ini menjadi krusial karena tidak sedikit dari bangsa vampire yang diberkati bakat-bakat supranatural, yang bukan tidak mungkin masih diincar oleh vampire lain bahkan setelah kematian.

“Arch, ada apa?” tanya Key, kembali keluar melewati gerbang depan area pemakaman.

Aku mengerjap, tanpa sadar kakiku berhenti melangkah. Sepertinya aku sedikit nervous.

“Tidak ada,” kataku. “Kupikir kau mungkin menginginkan sedikit privasi.”

So … you’re not coming?”

Coming.”

Aku bergegas ke samping Key yang membentuk sebuah senyum tipis.

“Apa rasanya begitu aneh masuk ke pemakaman manusia?” tanya Key yang entah bagaimana bisa membaca isi kepalaku.

“Sedikit.”

Jujur saja, tidak sedikit. Aku bukan belum pernah masuk ke pemakaman manusia. Sudah beberapa kali aku masuk ke tempat seperti ini untuk menjemput orang-orang tertentu—orang yang kami palsukan kematiannya dan bersedia hidup sebagai vampire. Hanya saja, yang terakhir kali sudah sekitar 10 tahun lalu.

“Bohong,” gumam Key. “Bahkan ini benar-benar aneh dan canggung untukku, padahal aku dulu juga manusia”

Sudah pasti Key merasa canggung, mengingat bahwa di tempat ini terdapat sebuah makam dengan namanya terukir di batu nisan. Dan itu adalah ulahku. Tanpa berdiskusi dengannya lebih dulu, aku dan Karen memutuskan untuk memalsukan kematian Key. Karena inilah satu-satunya cara untuk menyembunyikan fakta bahwa Key masih hidup sebagai vampire.

Kami berhenti di depan sebuah nisan berbentuk kotak selebar 40 cm, dengan dua nama ditulis bersandingan di sana. Alistair Wilder & Beatrice Clarkson. Tepat di sebelahnya, batu nisan lain dengan ukuran lebih kecil, berukirkan nama Keyra Scarlett Wilder.

Key sempat memperhatikan nisan ‘miliknya’. “A bit creepy, right? Berdiri di sini dan melihat namaku di sana.”

“Maafkan aku,” gumamku selirih desau angin lalu.

Key melempar pandangan sedikit terkejut padaku. “Kau tidak salah apa-apa. Aku sendiri yang menyetujuinya.”

Sepertinya Key tidak mengerti bahwa aku tidak pernah menunggu persetujuannya saat memalsukan data kematiannya. Tapi mungkin begini lebih baik. Key membuka masker yang menutupi wajahnya, berjongkok di depan nisan orang tuanya.

I’m here, Dad, Mom.” Key berkata pelan. “Maaf karena butuh waktu lama untukku datang ke sini. Sebenarnya ada hal yang belum sempat kusampaikan pada kalian. Thank you, for protecting me ….”

Key tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku bisa melihat lapisan air yang muncul perlahan pada kedua matanya, membuatnya tampak seperti kaca yang berkilat-kilat. Mungkin terlalu berat untuk dikatakannya. Mungkin sebaiknya aku tidak mengusulkan untuk datang ke sini. Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal, tidak yakin harus berbuat apa di saat seperti ini. Tapi mungkin ada satu hal yang bisa kulakukan.

Aku ikut berjongkok di samping Key, mengarahkan sebelah tangan ke atas gundukan tanah di depan batu nisan. Detik berikutnya kristal-kristal bening mulai keluar dari udara, berkumpul di satu titik dan perlahan membentuk beberapa tangkai bunga-bunga kecil putih bercabang banyak.

“Aku sudah bilang tidak perlu bunga,” kata Key.

Aku yakin dia mengenali bunga yang kubentuk dari sekumpulan kristal es. Baby’s breath, her favourite. “Aku tahu.”

Key membuang napas pelan, menepis air matanya yang nyaris menggelinding. Seharusnya kami membawa beberapa kuntum bunga, namun Key menolaknya dengan alasan tidak ingin meninggalkan jejak apa pun. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan. Meski menurutku dia bisa sedikit santai mengenai hal itu, mengingat keluarga Pamannya tinggal di Minnesota, 756 mil dari tempat ini. Dan kemungkinan Pamannya menemukan seikat bunga yang ditinggalkan di makam orang tuanya bahkan lebih kecil dari 0,01%.

Lihat selengkapnya