Sebenarnya, kami bisa tinggal lebih lama, maksudku, Key bisa tinggal lebih lama di tempat Shine. Aku menyarakan padanya untuk menginap satu malam di sana, kami bisa kembali ke Lucania besok, lagi pula ada seseorang yang harus kutemui di daerah pantai Barat, tepatnya di teluk San Fransisco. Perjalanan lebih dari dua ratus mil, atau kurang lebih 8-9 jam. Kupikir Key tidak akan ikut mengingat dia mungkin membenci perjalanan setelah semua kegiatan pindah rumah berkali-kali yang membuat dia hampir menjelajahi separuh benua Amerika. Tapi Key memilih ikut.
Aku mengintipnya dari bagian ekor mataku, mencoba menerka jalan pikirannya. Gadis ini berbeda. Dia sangat realistis dan tegas, sampai sering kali pikiranku yang terbiasa berputar-putar menjadi terlambat mengikutinya.
Sehabis sidang kejujuran di hari pemberontakan dua minggu lebih tiga hari lalu, Key membuatku terpana setengah tidak percaya.
“Kau tidak akan bertanya apa pun? Bahkan tentang ingatanmu yang kucuri?” tanyaku, sambil sedikit takut menunggu jawabannya. Bagaimana tidak? Aku baru mengakui bahwa kami sudah kenal tiga tahun lalu. Tapi berkat kepengecutan dan ketololan luar biasa, diriku memutuskan untuk berhenti bermimpi macam-macam dan mengakhiri hubungan kami—yang bahkan belum dimulai. Waktu itu Key masih manusia biasa. Dan aku, seperti yang sudah ditakdirkan sebelum kelahiranku, calon pewaris tahta kerajaan vampire.
“Tidak,” ujar Key. “Semua itu sudah berlalu, kan. Apa gunanya mempermasalahkannya sekarang?”
Apa gunanya? Jujur, aku juga tidak tahu. Tapi normalnya siapa pun akan marah dalam posisi Key. Aku sudah bersiap menerima tamparan di pipi, atau mungkin tinju dan tendangan, dan sederetan sumpah serapah memekakkan.
Tidak mungkin Key tidak marah. Aku menelan ludah pelan, mencoba menurunkan ketegangan yang mencekikku. “Aku menipumu selama ini ….” Aku berhenti, tidak ingin membuka kebusukan lain yang selalu kututupi rapat-rapat. Ini hampir sama menakutkannya dengan saat menghadapi amarah ayah.
Key berjalan ke kursi, membanting dirinya sambil mendengus. Ya, sudah pasti dia marah.
“I know, but I love you. And I’m here with you now”
Sumpah, jantungku sempat berhenti selama dua detik penuh. Dia menyalin kalimatku, tapi kedengarannya jauh berbeda. Kalimat itu terdengar lebih hidup dalam suaranya.
Aku menginginkan Key.
Jemariku mengepal kuat sampai terasa kebas, dan rahangku berubah kaku. Tidak bisa membiarkan keinginan egoisku keluar. Aku tidak bisa meminta Key untuk tinggal meski aku ingin, sangat ingin. Masih banyak yang ingin kupahami tentangnya.
“Hei …,” panggil Key membuyarkan pikiranku yang kusut. “Boleh aku tinggal di sini? Maksudku, di Lucania, kotamu.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Key mengucapkannya begitu saja. Kami punya keinginan yang sama. Tapi seperti biasa, aku kembali bersikap pengecut.
“Aku selalu ingin hidup mandiri di daerah metropolitan, mungkin mencari beberapa pekerjaan paruh waktu dan menyewa satu kamar untukku sendiri. Kupikir sekarang mungkin aku harus memikiikan diriku sendiri karena Karen sudah menemukan tempatnya bersama para hunter,” lanjut Key. “Jadi ya, mungkin saja kita bisa nonton sesekali, hang out.”
Aku masih terpaku, membiarkan Key mengatakan semuanya mewakili diriku.
“Or date?” ujarnya dengan suara lebih lirih. “Or, maybe not ….”
“Ya,” mulutku bergerak sendiri. Aku mengerjap, perubahan raut wajah Key menyadarkanku untuk memperjelas. “Bukan. Maksudku, tentu, kau bisa tinggal. Dan kita bisa jalan, atau nonton, saat ada waktu nanti. Tapi aku tidak setuju idemu untuk kerja paruh waktu dan sewa kamar.”
Key menaikkan satu alisnya. “Kenapa tidak?”