Untuk alasan tertentu, Key tidak menanyakan mengapa kami kembali ke istana bersama Leith. Sama seperti sehabis sidang kejujuran tempo hari, anehnya tidak ditanyai malah membuatku merasa ada yang mengganjal. Aku bahkan tidak berani menerka-nerka sejauh apa yang disadari olehnya.
Esoknya, aku membawa Leith ke hadapan Council of Elders. Kumpulan orang tua yang memegang kendali dalam istana itu tidak akan membiarkan satu celah pun lolos dari pengawasannya. Untunglah aku sudah mengamankan sebuah daftar panjang nama yang terlibat dalam pemberontakan Aaron. Aku sendiri cukup terkejut karena separuh dari mereka ada dalam daftar itu.
Kecewa, tentu saja, tapi tidak ada yang bisa dilakukan selain memanfaatkan apa pun yang kumiliki sebagai senjata. Termasuk daftar hitam itu. Kali ini kugunakan untuk membebaskan Leith dari hukuman, meski tidak bisa membebaskannya dari interogasi.
Aku menutup dokumen di depanku, membuang napas. Tidak bisa berkonsentrasi pada lembar-lembar tumpukan tugas di meja mengingat Leith masih terjebak dengan Council of Elders.
“Mau kuambilkan minum?” tanya Zane yang berjaga di samping pintu ruang kerjaku.
Aku mengangguk, menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Memejamkan mata sebentar. Mengutuki kebodohanku sendiri dengan menggunakan Leith sebagai umpan. Dari awal harusnya aku tahu, jika keberadaan Leith diketahui kerajaan, dia akan diinterogasi. Sudah pasti, mereka akan mencoba mengorek semua informasi yang ada di kepala Leith sampai habis. Entah berapa banyak rahasiaku yang akan terkuak kali ini.
Punggungku kembali tegak melihat pintu berayun terbuka. Bukankah terlalu cepat bagi Zane untuk kembali?
“Yo,” kata pria bermata emerald yang sedang menutup pintu di belakang punggungnya.
Arion. Aku tidak punya waktu untuk menemuinya setelah kembali ke istana. Malah sebenarnya aku tidak benar-benar ingin menemuinya mengingat bagaimana aku mengacuhkannya selama di permukaan. Dia juga menghindariku dengan berhenti menempeliku atau pun muncul semaunya sendiri.
“Apa para pengawal di luar mati? Mengapa mereka membiarkanmu masuk ke sini?”
Arion mendengkus kecil. “Tidak ada yang beranai menghalangiku di istana. Sepertinya posisi tangan kananmu masih ada padaku, Your Highness.”
“Apa maumu?” Menyebalkan mendengar panggilan yang tidak pernah dia gunakan itu.
Arion melangkah ke salah satu kursi dan menaruh pantatnya di sana tanpa menunggu dipersilahkan. Dia menggosok belakang lehernya pelan sebelum bicara lagi, dengan nada yang lebih serius.
“Arch, apa kau marah padaku?”
“Tidak tahu.” Jujur, aku memang tidak tahu. Mungkin aku memang marah. Tapi sepertinya salah jika aku marah. “Bukannya kau yang marah padaku?”
Arion mengangguk, menoleh ke arahku seolah mencoba memastikan aku masih mendengarkannya. “Benar. Kau tidak mau minta maaf?”
Aku menelan ludah. Memandang ke dalam mata Arion lekat-lekat. “Tidak.”
Terlalu banyak yang terjadi di antara kami. Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin Arion marah untuk masalah yang mana. Apa karena aku tidak menghubunginya sama sekali saat menghilang, atau karena aku tidak mengacuhkannya saat kami bertemu, atau lebih buruk lagi, masalah setelahnya.
“Baik. Aku akan akui perasaanku sendiri,” ujarnya. “Aku sudah tahu sejak awal kalau kau menyukai Key. Karena penasaran, aku pun mendekatinya, lalu tanpa sadar malah jatuh cinta padanya. Dan, aku akui, meskipun aku sudah tahu perasaanmu, aku berusaha mendapatkannya untukku sendiri.”
Ah, jadi tentang Key lebih dulu, ya tentu saja. “Aku sudah tahu.” Walau bagian terakhir kalimatnya sedikit mengejutkan.
Arion mendengus, kembali memastikan aku masih duduk mendengarkannya. Dia bahkan terlihat berusaha menancapkan matanya ke mataku. “Ok, kau sudah tahu. Dan kau juga berusaha membuatnya tetap bersamaku. Aku baru sadar saat menerima pesanmu sebelum kau muncul terakhir kali di Humphire. Kau selalu mengharapkan Key untuk bersamaku.”
Aku mengangguk.