Terlahir sebagai pangeran memang bukan pilihanku. Tapi kupikir aku bisa menapaki jalan itu dengan caraku sendiri. Karenanya aku belajar dengan giat mengenai segala macam urusan kerajaan, bahkan semua hal lain yang dapat kutemukan. Meski setelah memiliki niat itu, tetap saja ada saat-saat di mana aku merasa ingin melarikan diri dari kungkungan kerajaan.
Alasan terkuatku dapat terus bertahan adalah ayah dan ibu. Dan harapan yang mereka percayakan padaku. Tentu saja, sebagai pemegang posisi tertinggi di dalam keluarga kerajaan, ada banyak aturan yang menjadi sekat pemisah di antara kami. Namun begitu, aku sadar bahwa aku beruntung terlahir sebagai anak mereka.
Bukan soal posisi, namun kepribadian keduanya. Ayah dan ibu adalah orang baik. Jenis yang amat langka di antara keluarga kerajaan yang dipenuhi kebusukan. Atau mungkin kami hanya beruntung, orang tuaku dan aku. Ayah ditunangkan dengan ibuku sebelum penobatan. Mereka berdua berusaha menolaknya, tapi entah bagaimana keduanya justru bertemu di luar acara resmi kerajaan dan saling jatuh hati. Tidak ada pertentangan dalam pernikahan mereka.
Aku yang terlahir dari pernikahan itu juga terhitung beruntung—jika mengabaikan soal posisi kami. Mereka saling mencintai, dan teramat menyayangiku. Mungkin kasih sayang mereka memiliki bentuk yang berbeda dan seringkali lebih tak kasat mata dari debu. Tapi jika dibandingkan dengan keluarga kerajaan lainnya, itu sudah termasuk berlimpah.
Aileen tidak seberuntung aku. Dia bahkan tidak mengenal kasih sayang orang tua. Ayahnya, Rupert Rainier menikahi ibunya, Savenna Rainier, hanya demi menjaga keberlangsungan darah pureblood, demi menghasilkan keturunan dengan darah seorang Rainier. Bukan, sebenarnya bahkan lebih buruk lagi. Kedua orang tua Aileen menginginkan kekuasaan, jadi saat mengetahui seorang pangeran berdarah Rainier—aku—dilahirkan, mereka pun segera terobsesi untuk menguasai kursi ratu masa depan.
Benar sekali, Aileen dimaksudkan untuk menjadi calon ratu ketika aku mewarisi tahta nanti. Setelah sukses melahirkan seorang putri, kedua orang tuanya langsung mengumpulkan pendukung, termasuk anggota Council of Elders. Usaha yang menghabiskan seluruh waktu dan tenaga itu berbuah manis yang dipanen lima tahun lalu. Council menyetujui Aileen Rainier sebagai tunanganku. Tentu saja, semua keputusan itu ditetapkan tanpa menanyakan pendapatku atau pun Aileen.
Saat pertama kali mencium bau kebusukan Rupert Rainier, aku membenci Aileen yang tinggal di istana pusat sama sepertiku. Aileen tidak tinggal bersama orang tuanya di distrik 13, alih-alih dia dirawat oleh seorang pelayan kerajaan.
Aku sering melihatnya bermain sendirian di taman bunga di bagian timur istana. Gadis kecil berambut keperakan dengan kulit sepucat salju, bibir kecil yang ranum dan mata berwarna biru sapphire, duduk di antara bunga dengan hanya berteman beberapa boneka. Terlihat sama kesepiannya denganku. Tidak, mungkin lebih buruk dariku.
Suatu sore, aku berniat menyusup keluar istana dan tidak sengaja mengambil jalan di bagian timur. Saat itu aku melihat sekelebat rambut keperakan dibawa oleh beberapa orang tua mencurigakan. Awalnya aku sempat berpikir seseorang akan menyelamatkannya, sampai aku ingat bahwa Aileen tidak memiliki siapa pun di dalam istana. Sejak itulah Aileen dan aku menjadi cukup dekat. Dia sangat polos dan menggemaskan. Bagiku Aileen sudah seperti seorang adik. Dan—meski aku tahu aku seharusnya tidak berpikir begitu—aku merasa harus berterimakasih pada orang tuanya yang menitipkannya pada pelayan istana. Berkat itulah Aileen tidak mewarisi kebusukan ayah dan ibu kandungnya.
Akan tetapi, tentu saja, pada akhirnya mereka mengambil Aileen kembali. Ya, setelah membiarkannya tumbuh sendirian selama dua puluh tahun, mereka membawanya pergi dari istana, memberitahukan mengenai rencana untuk mendapatkan posisi ratu masa depan. Dan dengan keegoisan yang tak tertandingi, mereka memaksakan Aileen untuk menjadi bagian dari rencana itu.
Lima tahun lalu, setelah pesta pertunangan yang digelar dengan kemewahan berlebih untuk merayakan kesuksesan pada fraksi pendukung Aileen, dia mendatangi ruanganku. Aku hanya menghadiri pesta selama satu jam, tidak terlalu peduli dengan semua omong kosong, perayaan dan ucapan selamat yang membanjiri aula utama. Tidak mau menyia-nyiakan waktuku. Tentu saja, Aileen adalah pengecualian.
“Apa kau sungguh tidak keberatan dengan pertunangan ini?” tanya Aileen. Mata biru sapphire-nya tidak sejernih dulu lagi setelah semua beban yang ditimpakan padanya. Jelas sekali kalau dia sendiri keberatan dengan pertunangan kami.
Sementara aku, sejujurnya, tidak terlalu keberatan. Yah, pertunangan tetap akan terjadi dan keputusan tetap akan dibuat oleh Council tanpa melibatkanku. “Aku tidak tahu.”
Aileen menyelidikku selama beberapa detik yang terasa lebih panjang dari biasanya. Menarik napas dalam. “Sepertinya alih-alih keberatan, kau tidak terlalu menghiraukannya.”
Aku menelan ludah. “Ya, maaf. Pekerjaanku menumpuk jadi pikiranku sedikit terpecah,” ujarku berusaha menutupi ketidakpedulianku. “Bagaimana denganmu?”