The Read Aloud Handbook

Noura Publishing
Chapter #3

Pendahuluan

Tugas utama pendidikan adalah untuk menanamkan sebuah keinginan dan fasilitas untuk belajar; bukan untuk menghasilkan orang-orang terpelajar melainkan orang-orang yang terus belajar. Peradaban sejati manusia adalah peradaban pembelajaran, ketika kakek-nenek, orangtua, dan anak-anak sama-sama menjadi murid.

—Eric Hoffer

DALAM TIGA puluh tahun sejak terbitnya edisi pertama buku ini, banyak hal yang berubah dalam pendidikan dunia dan Amerika. Dan begitu pula dengan buku ini.

Pada 1982, ketika edisi pertama buku ini terbit, tidak ada Internet atau e-mail, tidak ada ponsel, pemutar DVD, iTunes, iPod, iPad, Amazon, e-book, Wi-Fi, Facebook, atau Twitter. Hal yang paling mendekati pesan instan adalah ekspresi wajah para ibu saat memberi peringatan kepada anak-anaknya. Mengetik adalah sesuatu yang di­lakukan dengan mesin tik. Pemutar CD pertama baru saja hendak di­pasarkan, Starbucks masih berupa sebuah kedai kopi di Seattle, dan jika kamu bilang “laptop” ke orang-orang, mereka akan berpikir Anda sedang membicarakan baki yang kamu gunakan untuk makan malam di depan televisi.

Dari sekian banyak perbedaan itu, ada beberapa hal yang masih sama. Pada 1982, kondisi perekonomian AS berada dalam resesi ter­buruk sejak Depresi Besar, dan setiap pemimpin bisnis di negeri ini mencari kambing hitam. Kedengarannya tidak asing, kan? Sejak angka SAT terus menurun selama dua puluh tahun terakhir (karena ada banyak sekali murid dengan angka rata-rata dan di bawah rata-rata, dan tidak hanya anak dari keluarga kaya, mengikuti tes itu untuk pertama kalinya), para pemimpin eksekutif di berbagai perusahaan menyalahkan pendidikan sebagai salah satu penyebab resesi dan menuntut reformasi dan pertanggungjawaban di setiap tingkatan—lebih mirip pendekatan bisnis1. (“Seandainya saja sekolah-sekolah kita seperti di Jepang, perekonomian kita pasti akan lebih baik!”)2 Ini men­jadi awal dari hampir tiga dekade pengujian dan reformasi sekolah.

Sementara itu, biaya kuliah mulai naik 400 persen, melebihi pe­ningkatan di bidang pengobatan dan pendapatan keluarga me­nengah3. Pada 2011, pinjaman mahasiswa akan lebih besar dari utang kartu kredit maupun industri kredit mobil di Amerika4.

Sementara itu sekarang ini, dengan segala teknologi baru dan triliun dolar dikeluarkan untuk melaksanakan ujian akhirnya terlaksana, Amerika berhasil membuat peningkatan satu angka di mata pelajaran membaca dari rentang tahun 1971 hingga 2008 (bagan di bawah).

01

Orang gila pun akan bertanya-tanya. “Apa yang salah dengan dunia ini?” Saya harap buku ini dapat menjawab pertanyaan itu, dan juga dapat kita aplikasikan, karena pasti ada cara yang lebih baik dari yang telah kita lakukan sebelumnya.

Dari sekian banyak kesalahan pendidikan, masih ada sisi positif­nya. Dengan ratusan pengalihan menyelimuti anak-anak Amerika selama tiga puluh tahun terakhir ini—20 saluran televisi kabel; kebanyakan anak memiliki televisi di kamarnya (biasanya murid-murid dengan nilai terendah); lebih dari separuh remaja menghabiskan sepanjang hari dengan ponsel; satu dari empat anak dibesarkan oleh orangtua tunggal; dan seorang bayi lahir setiap 60 detik oleh ibu berusia remaja5—sudah luar biasa nilai membacanya naik satu angka alih-alih turun sepuluh atau bahkan lima belas angka. Jika memang itu masalahnya, maka pasti ada sesuatu yang berhasil: buku ini akan mengamati tindakan apa yang berhasil. Mari kita mulai.

Rencana Pengajaran Ideal (dan Paling Murah)

Mari kita mulai dengan keluarga dari pasangan Susan dan Tad Williams dan kedua putra mereka, Christopher dan David.

Dari empat ratus ribu siswa yang ikut ujian ACT pada 2002 bersama Christopher Williams, hanya 57 orang yang berhasil meraih nilai sempurna—Christopher Williams adalah orang yang ke-58. Ke­tika kabar tersebar tentang bagaimana seorang anak dari kota Russel, Kentucky (populasi 3.645 jiwa) ini meraih nilai 36 sempurna, keluarga ini diberondong pertanyaan, yang paling umum adalah “bimbingan tes mana yang dia ikuti? Kaplan? Princeton Review?” Ternyata, yang dilakukan oleh orangtuanya adalah mengikutsertakan dia dalam SATU program gratis sejak dia bayi, bukan kursus privat dengan harga selangit.

Keluarga Williams hanya menanggapi pertanyaan itu dengan berkata—termasuk kepada New York Times6—kalau Christopher tidak ikut bimbingan tes mana pun.

Hal itu, tentu saja tidak sepenuhnya benar. Ayah dan ibunya mem­berinya bimbingan gratis kepadanya dan adiknya sepanjang masa kecil mereka, dari sejak bayi sampai masa remaja: mereka membacakan buku kepada dua anak ini selama 30 menit setiap malam, setiap tahun, bahkan setelah mereka bisa membaca sendiri.

Rumah mereka dipenuhi buku, tetapi tidak ada majalah, televisi, ataupun permainan elektronik. Meskipun Susan Williams adalah guru kelas 4, dia tidak memberikan pelajaran membaca di rumah sampai anak-anaknya memasuki usia sekolah. Dia dan suaminya, Tad, mem­baca­kan buku kepada anak-anak mereka—menanam dan memanen suara, suku kata, akhiran, dan campuran bahasa ke dalam cinta ter­hadap buku. Setiap anak belajar membaca dengan mudah, suka mem­baca, dan melahap semua buku dengan rakusnya. Selain sebagai perekat keluarga, membaca nyaring juga digunakan bukan sebagai bimbingan tes, tetapi sebagai suatu “asuransi”—untuk memastikan kedua bocah ini siap menghadapi apa pun di sekolah. Ditambah de­ngan kegiatan pramuka dan di rumah ibadah, mereka dipastikan siap menghadapi apa pun yang diberikan oleh kehidupan kepada mereka.

Pada 2011, David menjadi lulusan University of Louisville dan be­kerja sebagai insinyur, sementara Christopher tengah merampungkan gelar Ph.D.-nya di Duke untuk bidang biokimia. Terkadang penga­laman membaca pertama Christopher bahkan muncul di departemen bio­kimia, seperti ketika suatu hari dia nyeletuk ke teman makannya usai Duke kalah tanding basket, “Sepertinya sudah tidak ada lagi yang me­nyenangkan di Mudville.” Tidak ada satu murid pun yang menyangka bahwa dia tengah mengutip puisi olahraga klasik karya Ernest Thayer7.

Saya sendiri sudah familier dengan metode membacakan cerita sebagai bimbingan tes sehingga situasi Christopher bukan hal baru. Tom Parker sangat merekomendasikan hal ini. Dia adalah mantan direktur penerimaan di Williams College yang sekarang bekerja di Amherst College, dua lembaga pendidikan paling terkemuka di Amerika. Jawaban Parker atas pertanyaan para orangtua yang merasa cemas mencari tahu cara memperbaiki nilai SAT anak-anak mereka, “Bim­bingan tes SAT yang terbaik di dunia adalah membacakan buku kepada anak-anak Anda sebelum mereka tidur selagi mereka masih kecil. Pada akhirnya, kalau hal tersebut menjadi pengalaman yang indah bagi mereka, mereka akan mulai membaca sendiri.8” Menurut Parker, dia belum pernah bertemu dengan seorang siswa yang me­miliki angka SAT verbal yang tinggi, tetapi tidak suka membaca. Bim­bingan belajar tidak bisa menyertakan dorongan hati semacam itu, tetapi orangtua seperti Susan dan Tad Williams bisa dan Anda pun dapat melakukannya.

Dalam sejarah bangsa Amerika, belum pernah ada begitu ba­nyak hal ditulis tentang membaca seperti yang ada dalam waktu dua dekade terakhir. Belum pernah sebelumnya ada begitu banyak dana dihabiskan untuk menguji siswa dalam subjek apa pun, dan belum pernah ada sebelumnya begitu banyak aturan dan regulasi tentang membaca diterapkan di sekolah-sekolah—dengan sedikit atau tanpa perkembangan yang ditunjukkan9.

Empat puluh tahun lalu, anak-anak menghabiskan waktu sepulang sekolah mereka dengan kursus menari dan latihan sepak bola, orang­tua zaman sekarang ini berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka di berbagai les sepulang sekolah. Paranoia daerah ping­giran kota terhadap tes telah menggelembungkan bisnis les menjadi satu industri bernilai 4 miliar dolar, dan bukan hanya untuk anak-anak usia sekolah. Pada 2005, Sylvan Learning Centers mengumumkan pem­bukaan 1.200 pusat untuk anak-anak usia 4 tahun, sementara Kumon me­nerima anak usia 2 tahun. Meskipun dulunya pusat-pusat se­macam ini diutamakan untuk perbaikan, setengah dari anak yang mendaftar berasal dari keluarga yang ingin memberi anak-anak mereka kelebihan lain—seperti seorang ibu yang berkata kepada Wall Street Journal kalau dia mendaftarkan anaknya yang berusia 4 tahun karena kemampuan menggunting si anak tidak sesuai standar. Bagai­mana dengan orangtua yang menyewa konsultan untuk mem­bantu anak-anak mereka melakukan “kontak mata” yang lebih baik dan mendemonstrasikan “kualitas kepemimpinan” di hadapan direktur pra-sekolah agar dipertimbangkan untuk masuk lembaga pra-sekolah itu?10”

Seperti halnya ketika mereka menyewa pelatih untuk diri mereka sendiri, para orangtua ambisius menyewa penasihat kampus bagi anak-anak mereka, biayanya antara USD3.000 dan USD6.000. Para penasihat itu ditekankan untuk memastikan pilihan sekolah-sekolah yang “tepat” dan tugas-tugasnya dikerjakan tepat waktu11.

Semua ini menggugah seorang psikolog klinis Wendy Mogel me­nyarankan agar para orangtua ini suatu hari nanti akan dituntut oleh anak-anak mereka karena telah “mencuri masa kanak-kanak mereka12”.

Bukan hanya orangtua yang bertingkah laku ekstrem macam ini. Ada banyak sekali orang di kalangan Dewan Sekolah dan politisi berperingkat tinggi yang berpikir kalau Anda “memperbaiki sekolah, mereka akan memperbaiki anak-anak.” Jadi, di Gadsden, Alabama, para pejabat sekolah menghilangkan waktu tidur siang anak-anak pada 2003 agar mereka punya lebih banyak waktu untuk mengikuti bimbingan tes.13

Di kota lain, Atlanta, para pejabat sekolah berpendapat bahwa dengan menghapus jam istirahat, anak-anak akan belajar lebih banyak. Dan, sebagai tindakan pencegahan terhadap guru-guru yang tetap berusaha memasukkan jam istirahat di jadwal sekolah, Atlanta mulai membangun sekolah tanpa halaman bermain. “Kami ingin memper­baiki kinerja akademis,” kata pengawas sekolah ini. “Anda tidak bisa melakukan itu ketika anak-anak bergelayutan di permainan mereka.”14

Beberapa tahun kemudian, ketika tampaknya strategi antiwaktu istirahat tidak mampu mengatrol perolehan angka, Atlanta yang baru menciptakan sesuatu yang disebut tim penyidik negara sebagai “budaya takut dan konspirasi hening” dalam rangka meraih skor yang lebih tinggi. Skor tersebut meningkat dan bonus pun dianugerahkan, tetapi penyelidikan negara bagian mengungkap skandal ujian yang ter­standardisasi terbesar di Amerika, yang melibatkan aksi mencontek oleh 170 pendidik, termasuk 38 kepala sekolah15.

42724.png

Waktu dan ruang untuk anak-anak bermain sepertinya semakin menyusut setiap harinya

Pada essai di laman online New York Times tentang perbedaan waktu istirahat dan bermain, David Bornstein membandingkan dengan kurikulum yang berbasis ujian saat ini dengan novel karya Dickens berjudul Hard Times dan secara tepat menyebut nama seorang guru, Thomas Gradgrind. “Rata-rata anak-anak Amerika hanya menda­pat­kan 26 menit waktu istirahat untuk setiap kelas berdurasi 45 menit, termasuk jam makan siang—dan anak-anak dari keluarga ber­peng­hasilan rendah mendapatkan jam istirahat yang lebih sebentar dari itu,” tulis Bornstein16. (Negara dengan nilai tinggi seperti Finlandia mendapatkan 15 menit waktu istirahat untuk setiap 45 menit pelajaran, tetapi saya akan melanjutkan tentang Finlandia nanti).

Pada tingkat sekolah menengah atas, kepala sekolah baru di SMA New England ternama di Needham, Massachusetts, telah sangat diperingatkan tentang tingkat stres murid-muridnya, lalu dia mem­ben­­tuk komite untuk mengembangkan strategi-strategi untuk meng­atasi hal ini. Hasil akhirnya adalah kelas yoga untuk para senior. Dia juga menantang akan mengakhiri publikasi peran kehormatan sekolah di koran setempat dan mendorong mengurangi jumlah PR. Kedua hal ini memicu kemarahan orangtua dan dalam satu tahun, dia me­nerima pekerjaan sebagai kepala di American School di London17.

Meskipun demikian, empat tahun kemudian, kelas yoga masih ada sebagai bagian dari usaha sekolah guna membangun ketahanan siswa, PR dibatasi hanya saat liburan, dan pemberitahuan peng­hargaan peran kehormatan kini cukup sebuah surat dari kepala sekolah untuk para orangtua, alih-alih dipublikasikan lewat koran setempat. Pada SMA terpilih lainnya harus mewajibkan waktu makan siang karena banyak siswa yang merasa setiap periode sekolah dalam satu hari harus diisi sesuatu yang dapat tertulis dengan bagus di aplikasi kuliah mereka, dan terkadang menurut mereka makan siang itu tidak penting18. Ketika dahulu hanya institusi semacam University of Chicago yang menyan­dang sebutan sebagai tempat “di mana kesenangan mati”, maka se­karang hal itu dapat kita lihat di sekolah-sekolah menengah atas elit.

Para petugas penerimaan kampus dan para penasihatnya juga merasa tertekan untuk alasan yang berbeda. Di Harvard, universitas tertua di negeri ini dan penerima jumlah penempatan siswa terbesar, seorang veteran di kantor penerimaan siswa mengatakan kalau siswa sekarang ini “seperti orang-orang dengan tatapan nanar yang baru saja selamat dari kamp konsentrasi seumur hidup” dan dia memberi peringatan, “Jika keadaan tidak berubah, kita akan kehilangan mereka. Banyak.” Ketika kita mengejar nilai yang semakin tinggi, katanya, “Jalinan kehidupan keluarga pun hancur.”19

Pasti ada cara bagaimana cara membesarkan seorang pembaca dan juga siswa yang berdaya tanpa menciptakan seseorang yang tertekan dan berwajah hampa. Tentu saja, bagi setiap orangtua yang menekan tombol stres pada anak, ada yang lebih ekstrem—mereka yang berpikir bahwa tugas pendidikan adalah tanggung jawab guru. Orangtua semacam ini jumlahnya jauh lebih besar dari orangtua pe­nuntut, dan mereka menciptakan masalah lain, Oleh karena sudut pandang ini, saya mengatur diskusi ini berdasarkan pertanyaan-per­tanyaan yang saya terima dari para orangtua dan pendidik. Misalnya dari orangtua yang sangat bertolak belakang dari “mengendalikan”.

Menurut Anda, Apakah Urusan Membaca Ini

Merupakan Tugas Orangtua?

Saya Kira Itu Tanggung Jawab Sekolah.

Hal ini mengacu pada “faktor penyerapan” yang dicontohkan oleh seorang wanita muda bernama Bianca Cotton. Pertama kali saya berjumpa dengannya di suatu pagi pada 2002 ketika Tyler, cucu saya, mulai bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Keluarga siswa diundang pada awal masa belajar untuk berkenalan. Saya sedang memotret Tyler dan seorang teman barunya ketika saya perlahan-lahan menyadari ada perbincangan panjang yang sedang berlangsung di belakang saya. Ketika saya membalikkan badan, ternyata Bianca sedang berpura-pura masak di atas tungku imajiner dan pada saat yang sama ia juga berpura-pura sedang berbicara di telepon. Seperti yang bisa Anda lihat di foto yang saya ambil saat itu, dia punya semua bahasa tubuh seperti orang yang sedang berbicara di telepon dan memasak pada saat yang bersamaan.

42789.png

Bianca Cotton

Lihat selengkapnya