The Reason Why I Give Up

batiar
Chapter #1

Surat.

Pagi ini aku bangun dengan perasaan tidak biasa.

"San, yuk, sarapan. Ibuk udah bikinin kamu telur dadar," ucap ibu begitu aku muncul di ruang makan. Seperti biasa, tiga kursi lainnya sudah terisi: ibu, ayah, dan juga Septi, kakakku.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, lalu duduk di satu-satunya kursi yang tersisa.

Perasaan tidak enak bagaimana?

Entahlah. Rasanya seperti hari ini berbeda dari kemarin.

"Buk, minta tolong ambilin kecap," ujarku, mengangkat tangan untuk mengambil kecap yang baru saja ibu ambil di dekatnya. "Makasih."

Aku sibuk menghabiskan sisa telur dadarku ketika Septi tiba-tiba bicara, memberitahuku sesuatu yang sontak membuatku mengernyit heran.

"Emangnya, ke mana motor, lo?" tanyaku sesaat setelah meneguk separuh gelas air putih di atas meja.

Septi memamerkan gigi putihnya padaku, lantas terkekeh sebelum akhirnya bangkit membawa serta piring miliknya ke wastafel di belakangnya. "Motor gue mogok lagi, San. Jadi, hari ini, gue pinjem motor lo, ya, buat ke kampus. Hari ini aja, ya. Ntar kita berangkatnya barengan, deh," jawabnya tanpa membalik punggung, menghadapku.

Aku berdecak sebal. "Ya iyalah, bareng berangkatnya. Kalo lo pinjem terus nyuruh gue berangkat sekolah naik angkot, itu sih, namanya KETERLALUAN!" Aku sengaja menekankan kata terakhir supaya Septi paham. Alih-alih sungkan, dia kembali terkekeh pelan.

"Tapi..." Mendengar itu, mendadak berbagai kemungkinan buruk menyerangku, memenuhi pikiranku. Baik telinga maupun mulutku sudah siap siaga--siap mendengar kemungkinan terburuk yang akan Septi katakan dan, siap menghujani Septi dengan berbagai macam makian. "... Lo, pulangnya naik angkot aja, ya."

KAN!

Kembali aku berdecak sebal. Menatap tajam Septi yang sekarang sibuk mengecek perlengkapannya di dalam tote bag.

"Pulangnya malem banget ini, pasti! Gue males, ya, kalo ntar lo gedor-gedor jendela gue pas gue udah tidur nyenyak!" kesalku, mengerucutkan bibir jengkel. Teringat kejadian beberapa waktu lalu saat Septi pulang larut.

Dia menggeleng cepat. "Enggak! Enak aja. Emang lo kira gue kupu-kupu malem apa, pulangnya malem terus."

Ibu yang baru selesai mencuci piring milik ayah, ikut bergabung ke dalam obrolan. "Iya, Septi. Kamu kan bisa telepon atau ketuk pintu depan. Palingan juga Ayah yang bukain pintu. Kasihan adik kamu."

Septi tidak menjawab, terlihat tidak suka. Tapi aku tidak peduli. Aku pun ikut mengecek buku-buku di dalam tasku--antisipasi kalau aku melupakan sesuatu. Aku tidak mau harus berurusan dengan guru. Ribet, dan seringnya membuat telinga panas. Aku mengecek: lks, buku catatan, kotak pensil. Lks, buku catatan, kotak pensil. Lengkap. Semua yang aku perlukan sudah ada di dalam tas. Kecuali buku paket yang memang sengaja aku tinggalkan di loker sekolah. Tidak. Aku tidak suka membawa beban berat di pagi hari, selain hanya kantuk masalahnya.

Kututup ritsleting tasku begitu melihat Septi selesai, lantas kuserahkan kunci sepeda motorku padanya seraya berpamitan kepada kedua orangtua kami.

Tidak banyak topik yang kami perbincangkan selama di perjalanan. Dan, selama itu Septi hanya bercerita tentang salah seorang teman laki-lakinya yang mengalami patah hati. Sesekali Septi bertanya tentang sekolahku, juga perkembangan belajarku. Tidak banyak yang kujawab. Karena aku tahu itu hanya sekadar alibi Septi agar bisa mengadukanku ke ibu. Sial.

Sesampainya di depan gerbang, aku langsung melompat turun dari jok belakang, memberikan helmku kepada Septi yang dia kaitkan di gantungan di dekat kakinya. Tatapanku masih tajam seperti sebelumnya.

"Ikhlas, nggak, sih?" Septi mengembuskan napas lelah. Dan, sebisa mungkin aku menahan agar tidak tertawa.

"Ikhlas, kalo pulang-pulang ini motor bensinnya full!" jawabku, membuatnya berdecak kesal.

"Dasar!" Aku tertawa melihatnya. "Ya udah, gue berangkat dulu, ya, San."

Aku mengangguk. "Hati-hati!" Dan, setelah memastikan Septi sudah pergi jauh, aku langsung masuk bersama yang lain ke dalam sekolah.

Ramai. Seperti biasa. Tapi, entah kenapa ada secuil rasa aneh di dalam dadaku. Seperti saat kalian akan mengerjakan ujian matematika dadakan. Degdegan, cemas, campur aduk.

Tubuhku terlonjak begitu Ratih menepuk bahuku cukup keras dan, tidak hanya itu, suaranya sampai membuat beberapa anak di sekitar kami menoleh lantaran ikut kaget. Aku berdecak kesal.

"Bisa nggak, sih, nggak ngagetin?" kesalku, tapi Ratih seakan tidak peduli. Alih-alih meminta maaf, dia malah menengadahkan salah satu tangannya padaku, sambil mengguncang pelan lenganku.

"San, gue pinjem lks bahasa Inggris, dong. Lo pasti udah ngerjain PR, kan?" tanyanya, wajahnya merah karena panik.

Mataku membelalak mendengarnya, lalu menepuk jidatku cukup keras seketika.

Lihat selengkapnya