The Reason Why I Give Up

batiar
Chapter #4

The Reason Why I Give Up #1

Hai.

Benar. Mika di sini.

Jangan takut. Buat diri kalian se-relaks mungkin. Sana, pergi ambil cemilan dan minum dulu, supaya kalian nggak bosan pas baca cerita yang, ya, bisa dibilang tentang gue.

Ya. Tentang gue.

Kalian nggak salah baca, kok. Kali ini, bukan fiksi belaka, melainkan kisah nyata, dari kejadian yang gue alami sendiri.

Tenang. Seperti kata gue tadi. Buat diri kalian se-relaks mungkin.

Di sini, gue nggak ada maksud buat nakut-nakutin kalian atau semacamnya. Yang jelas, gue cuma berharap kalian bisa simak baik-baik cerita ini. Karena, gue yakin, kalian yang pernah melihatnya langsung, pun nggak akan nyangka apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua sikap yang gue dapat selama di sekolah.

Dan, kalaupun kalian orang baru yang nggak sengaja nemuin cerita ini di tempat rekomendasi--ok, gue bakal mulai dari awal. Dari yang tadinya nggak saling kenal, jadi tau siapa gue sebenarnya.

Hai, kenalin, nama gue Mika. Mika Surya Pratama. Lahir di Surabaya, 18 Juni belasan tahun silam. Zodiak Gemini, dan paling suka dengerin musik K-Pop, terutama SNSD. Sekarang pukul sembilan lewat sepuluh malam dan, setelah mikirin banyak hal, nggak lama lagi (atau lebih tepatnya, di tiga jam kurang sepuluh menit lagi) gue bakal pergi. Pergi jauh sekali. Sampai nggak ada seorangpun yang bakal bisa ngejar gue lagi. Gue bakal mati.

Silakan. Ketawa aja sepuas kalian. Karena udah nggak ada lagi yang musti gue peduliin. Terutama tawa bodoh kalian di sepanjang koridor.

Kenapa? Merasa inget sesuatu?

Baiklah-baiklah. Kalian boleh ngelamun sepuas kalian. Sebanyak apa pun, gue nggak akan ngelarang. Gimana mungkin, kan, gue udah mati. Paling juga duduk di samping kalian, pelototin kalian waktu baca ini cerita.

Hahaha... sumpah, gue bayanginnya aja udah ngakak duluan. Apalagi kalo kejadian beneran. Kalian enak-enak baca, tiba-tiba bulu kuduk meremang dan, pas kalian menoleh ke samping kanan, boom! gue ada di sana, duduk sambil ngomong: "Bukain tali pocong gue, dong!"

Gue bisa bayangin kalian pelototin gue balik, lalu bilang: "Bercanda lo nggak lucu!" Dan, gue bakal bilang, "Sorry, nggak maksud." Padahal, sebenarnya, gue tau, kalo kalian hanya butuh pengalih perhatian. Kalian nggak mau terlihat takut atau semacamnya di depan orang lain, dan milih buat kesel ataupun jengkel atau marah. Tapi, tetep aja gue bakal bilang, "Sorry, nggak maksud."

Ok. Mungkin udah terlalu panjang. Jadi, gimana kalo kita mulai sekarang?

Semua berawal dari tahun lalu, saat gue masih jadi anak baru. Tapi, sebelum itu, gue mau tanya ke kalian yang baca cerita ini. Siapa, di antara kalian semua yang ngerasa, atau seenggaknya pernah ngerasa kalo gue musti banget berubah di sekolah baru gue. Intinya, lo ngedoktrin diri lo sendiri, kalo lo harus jadi orang lain di sekolah baru lo nanti.

Yup. Dugaan kalian benar. Gue pernah ngerasain hal itu. Pengin berubah jadi orang lain. Atau seenggaknya jadi lebih baik dari diri gue yang sebelumnya. Memang. Itu terjadi. Dan, awal MOS tahun lalu adalah harinya.

Saat itu gue masuk dengan berbagai macam atribut yang, ya, bisa dibilang aneh dan jadul: topi bola, name tag kardus, pakai seragam SMP Rabu-Kamis selama kegiatan MOS berlangsung. Gue akui, gue cukup senang bisa masuk ke sekolah ini. Sekolah yang udah gue idam-idamin selama masih duduk di bangku SMP. SMA Trisakti. Tempat di mana lo bisa ngeraih mimpi. Sekolah ini sangat besar, dengan tiga jurusan sebagai pilihan: IPA, IPS, dan Bahasa tentunya. Gue udah punya planing pengin masuk ke jurusan mana, terus ngambil ekskul apa dan bakal jadi apa jika gue udah lulus dari sini.

Emang begitu, bukan, ekspektasinya? Menyenangkan. Bodohnya, gue lupa, kalo yang namanya ekspektasi itu suka memperdaya pikiran manusia, yang jatuhnya ke sesuatu yang mengecewakan, nggak bermakna, sia-sia. Atau, itu cuma sekadar pemikiran gue doang? Entahlah. Gimana sama pendapat kalian? Coba komen di kolom komentar. Gue pengin tau.

Ya, memang. Ekspektasinya emang seperti itu. Gue bebas nentuin apa yang pengin gue capai, tanpa tau kalo sebenernya Tuhan-lah dalang di balik semuanya. Tanpa persetujuannya, gue bukan apa-apa. Dan, nyatanya, Tuhan emang udah punya rencana lain buat gue. Rencana yang nggak lebih dari bencana buat gue.

Gue mau tanya lagi ke kalian, berapa persen tingkat kegembiraan kalian saat tau teman seangkatan kalian semasa SMP juga masuk ke SMA yang sama dengan kalian? Kalo gue, 0%. Kenapa? Karena bagi gue, jauh di dalam lubuk hati gue, gue nggak seharusnya ketemu sama dia lagi. Dan yang bikin gue heran, dari sekian banyak sekolah yang tersebar di Jakarta, kenapa dia harus milih sekolah ini?

Lihat selengkapnya